x

Iklan

Asep Ruhyani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Juni 2020

Sabtu, 20 Juni 2020 06:35 WIB

Tuhan Yang Berbudaya, Perbedaan Antara Ide Soekarno dan RUU HIP

Ide tentang Ketuhanan Yang Berkebudayaan dulu lahir dari pemikiran Soekarno. Ia memiliki misi besar membebaskan pemahaman umat beragama dari sekat-sekat religi dan batas-batas golongan ke dalam Rumah Besar Indonesia. Harus diakui kedalaman nilai filosofis dan fungsionalitas Soekarno itu. Namun geliat munculnya konsepsi Ketuhanan Yang Berkebudayaan era kini dan tercantum dalam RUU HIP memiliki motivasi berbeda. Apakah niatan yang tak sejalan dengan Soekarno itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ide tentang Ketuhanan Yang Berkebudayaan lahir dari pemikiran Soekarno, sebagai salah satu opsi lain Pancasila yang bernama Ekasila. Opsi lainnya adalah Trisila.

Tuhan Yang Berkebudayaan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Soekarno menyampaikan Pancasila, Trisila dan Ekasila pada tahun 1945 dalam sebuah rapat BPUPKI. Pada akhirnya rapat tersebut menyepakati Pancasila menjadi dasar negara Indonesia. Ide Trisila dan Ekasila hilang.
Sekarang ide tentang Trisila dan Ekasila ramai kembali seiring pembahasan RUU HIP. Terjadi kontroversi. Masyarakat heboh. Salah satu klausul yang paling ramai adalah tentang konsep Ketuhanan Yang Berkebudayaan.

Sebetulnya apa yang dimaksud Ketuhanan Yang Berkebudayaan?

Narasi megah Ketuhanan Yang Berkebudayaan adalah sebuah konsep cemerlang dalam alam pikiran pemimpin pemikir seperti Soekarno. Kita harus mengakui kedalaman nilai filosofis dan fungsionalitas dari narasi Ketuhanan Yang Berkebudayaan.

Dalam pengertian singkat, padat dan sederhana Ketuhanan Yang Berkebudayaan dapat diartikan sebagai upaya mentransformasikan nilai-nilai ketuhanan (spiritualisme) dari yang bersifat pribadi (kesalehan diri) menjadi bersifat sosial (kesalehan sosial). Implementasinya merubah pemahaman spiritualisme menjadi pengamalan atau tindakan keagamaan dalam konteks sosial.

Secara filosofis luar biasa, dan dalam pandangan Seokarno cocok dengan kultur Bangsa Indonesia yang heterogen dan juga sesuai kebutuhan. Bagi sebuah negara majemuk yang baru merdeka dan sangat rentan pecah gagasan seperti itu terlihat logis dan memiliki semangat nasionalisme yang sangat tegas.

Ketuhanan Yang Berkebudayaan memiliki misi besar untuk membebaskan pemahaman umat beragama dari sekat-sekat religi dan batas-batas golongan ke dalam Rumah Besar Indonesia. Negeri Indonesia tidak butuh dominasi teologi tertentu, jadi teologi tersebut apakah itu yang bermuara dari Islam, Kristen, Hindu dan Budha harus di-budaya-kan (disesuakan dengan karakteristik Bangsa Indonesia).

Dari sini terlihat bahwa Ketuhanan Berkebudayaan memiliki muatan hampir senapas dengan narasi Islam Nusantara, jika konteksnya Islam. Itu sebabnya prinsip Piagam Jakarta dianggap tidak relevan oleh sebagian orang pada saat itu.

Dalam konsep Ketuhanan Yang Berkebudayaan, semua peng-implementasian narasi keagamaan harus dibuat meng-induk pada dimensi kebudayaan lokal sebagai "sunatullah" di Bumi Nusantara. Bukan budaya yang tunduk pada agama seperti halnya di negara teokrasi, tapi sebaliknya. Bagi pemikir besar seperti Soekarno hal itu merupakan sebuah opsi logis bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Karena bagi Soekarno, persatuan dan kemandirian bangsa Indonesia di atas segalanya, termasuk di atas dominasi keyakinan tertentu. Prinsip Nasakom (Nasionalisme Agama Komunis) lahir dari arus pemikiran seperti ini.

Namun geliat munculnya konsepsi Ketuhanan Yang Berkebudayaan belakangan ini memiliki motivasi yang berbeda. Soekarno memunculkan gagasan seperti itu berlatar cinta dan didorong semangat menjaga persatuan bangsa. Dia tidak memiliki kekhawatiran berlebihan terhadap kubu keagamaan tertentu (Islam). Hal itu yang berbeda dengan para pewaris biologis-nya.

Kebudayaan Yang Berketuhanan

Tapi orang sekarang memunculkan gagasan ketuhanan Yang Berkebudayaan hanya karena berlatar benci pada kelompok tertentu dan terdorong oleh kekhawatiran menyaksikan menguatnya kelompok tersebut di ranah publik. Utamanya resistensi terhadap rezim. Alasan NKRI Harga Mati dan Persatuan Bangsa nampaknya hanyalah argumen pengemasan.

Itulah sebabnya gagasan Ketuhanan Yang Berkebudayaan tercetus dari aspirasi gerbong yang selama ini cenderung bersebrangan dengan kelompok keagamaan dan sering mengeluarkan aspirasi-aspirasi yang menyinggung kelompok Islam. Faktanya seperti itu. Benar, bahwa mereka bicara tentang kekhawatiran akan persatuan bangsa. Tapi terlihat tidak tulus dan dibikin-bikin karena sejatinya kelompok Islam-pun selama ini tidak pernah menjadi ancaman bagi NKRI.

Saya lebih menyukai terminologi Kebudayaan Yang Berketuhanan daripada Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Serupa tapi tidak sama. Konsepsi Kebudayaan Yang Berketuhanan lebih cocok dengan sejarah bangsa. Sejarah masa lalu bangsa kita adalah fragmen kehidupan berbudaya yang selalu bersumber pada insp[irasi ketuhanan.

Saya ambil contoh Kebudayaan Sunda. Semua kebudayaan Sunda adalah bentuk Kebudayaan Yang Berketuhanan. Misalnya Kebudayaan Sunda dari asfek agraris. Proses dari mulai bikin area sawah, tanam bibit, merawat sawah, panen hingga memindahkan padi ke lumbung (leuit) semuanya tersaji dalam konteks Ketuhanan atau orientasi spiritualisme pada Sanghiyang Tunggal dan pembantu-pembantunya seperti Kuwerabakti dan Sri Pohaci.

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa tidak mengancam NKRI, tidak mengancam kebudayaan dan juga tidak mengancam pemeluk agama lain. Satu-satunya pihak yang terancam dengan Ketuhanan Yang Maha Esa hanyalah ideologi Komunisme atau PKI. Tapi katanya sudah PKI sudah tidak ada di Indonesia. Lalu, siapa dong yang getol memperjuangkan ingin merubah Ketuhanan Yang Maha Esa? Virus corona?

Ikuti tulisan menarik Asep Ruhyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler