x

Kesenian wayang kulit pada jaman Wali Songo dulu jadi salah satu sarana dakwah di Tanah Jawa. Tempo/Aris Novia H

Iklan

Asep Ruhyani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Juni 2020

Jumat, 12 Juni 2020 16:59 WIB

Dua Kisah Terpopuler Nasionalisme di Dunia Wayang

Kisah Nasionalisme Kumbakarna dan Bisma Dewa Brata

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belakangan ini isu nasionalisme selalu muncul di negeri kita. Pemicunya bisa mulai dari penetrasi pengaruh Tiongkok pada pemerintahan kita, ancaman ideologi tertentu sampai potensi separatis.

Wayang Kumbakarna Nasionalis Alengka

Bicara isu nasionalisme membuat saya teringat pada beberapa fragmen cerita wayang. Ini kisah kegalauan para nasionalis. Tidak ada sikap nasionalisme serumit Kumbakarna dan Bisma. Saya hapal cerita Bisma dari episode awal sinetron Mahabarata produksi India. Kalau Kumbakarna saya tahu dari pentas wayang golek di kampung sebelah waktu SMP.

Kumbakarna adalah sosok raksasa dari Alengka. Dia adik Dasamuka atau Rahwana, raja terbesar Kerajaan Alengka. Rahwana dianggap bersalah karena melarikan Sinta yang merupakan istri sah Rama, pangeran Kerajaan Ayodya. Peristiwa penculikan Sinta membuat Rama murka. Satria titisan Dewa Wisnu itu kemudian menyerang Alengka dengan dibantu pasukan kera pimpinan Hanoman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai seorang satria Alengka, Kumbakarna tidak tinggal diam ketika negerinya diserang. Saya ingat lembaran buku Ramayana favorit waktu SMP. Saat akan turun ke medan perang Kumbakarna berkata “Aku berperang bukan karena membela kejahatan saudaraku Rahwana, tapi aku berperang karena membela negeriku yang diserang musuh.”

Sebagai satria berhati lurus Kumbakarna galau bukan main saat akan melawan pasukan Rama. Kumbakarna tahu bahwa saudaranya telah bersalah. Melawan Rama sama dengan menempatkan dirinya sebagai pembela kejahatan.

Kumbakarna akhirnya memilih turun ke medan perang. Pertimbangannya karena dia ingin membela negerinya yang diserang pihak luar. Kumbakarna berperang dengan gagah berani. Banyak musuh binasa oleh Kumbakarna. Tapi akhirnya satria bertubuh sebesar gunung itu tewas oleh saudara Rama yang bernama Lesmana, setelah sebelumnya ribuan kera mengeroyoknya hingga terluka dan kelelahan.

Wayang Bisma Nasionalis Wangsa Barata

Sementara itu nun di padang Kurusetra, guru semua Pandawa dan Kurawa yang bernama Bisma Dewa Barata, terpasung gelisah. Di hadapannya berdiri putera-putera Pandawa beserta puluhan ribu prajurit gabungannya. Semua orang yang hari itu menjadi lawannya adalah darah keturunannya sebagai Keluarga Barata. Mereka seperti anak-anaknya sendiri. Sebagai seorang berilmu Bisma sadar dia berada di pihak yang salah. Perebutan tahta antara Pandawa dan Kurawa adalah sebuah peperangan antara kebenaran dan kejahatan. Tahta Astina adalah hak Pandawa sebagai keturunan Pandu. Jadi bagaimana bisa seorang resi seperti Bisma membela Kurawa?

Pada akhirnya Bisma harus memilih. Dia maju sebagai senapati Kurawa. Semua satria Pandawa tidak ada yang berani melawannya karena bagaimanapun Bisma adalah kakek mereka yang sangat dihormati. Akhirnya majulah Srikandi, orang di luar keturunan Barata. Srikandi tidak punya beban psikologis seperti para Pandawa. Sebaliknya Srikandi menyimpan sebuah dendam lama kepada Bisma. Srikandi pernah dipermalukan Bisma dalam sebuah sayembara perkawinan.

Pertempuran terjadi antara Bisma dan Srikandi. Bisma kalah. “Aku melawan Pandawa bukan karena mereka pihak yang salah dan aku membela Kurawa bukan karena mereka pihak yg benar. Tapi aku berperang karena sudah bersumpah membela negeri, meski aku tahu negeri itu dipimpin oleh kejahatan Kurawa,” ujar Bisma sebelum tubuhnya dihujani 1000 panah Srikandi. Dibalik semua itu tertawa lah Sengkuni, sosok yang dicitrakan Nasionalis Sejati Hastina. Kepentingannya untuk balas dendam kepada Keluarga Barata dengan memakai sejuta strategi licik terbalaskan. Dia berhasil mengadudomba keturunan Barata. Seumur hidupnya dia menggelorakan cinta negara untuk menutupi niat busuknya menghancurkan Negeri Astina.

Kumbakarna dan Bisma adalah tipikal nasionalis sejati yang senapas dengan filosofi nasionalisme tua ala Inggris: Wright or wrong is my country. Benar atau salah adalah negeriku. Harus dan layak dibela, terlepas seperti apa pun penguasanya.

Pilihan untuk menjadi seperti Kumbakarna dan Bisma tidak selalu mudah. Mereka harus berperang dengan prinsip, kata hati dan nilai-nilai kebenaran. Tapi seperti itulah nasionalisme. Sekarang ini para nasionalis tidak bisa membedakan dirinya sendiri: Apakah dia itu Kumbakarna, Bisma, atau malah sesungguhnya Sengkuni? Itulah yang membuat isu nasionalisme di negeri kita sekarang ini, utamanya di kalangan para pejabat, nampak seperti dagelan politik maha busuk. //ARS

Ikuti tulisan menarik Asep Ruhyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler