x

Salah satu adegan dalam film

Iklan

Yogi Prasetya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Agustus 2020

Senin, 24 Agustus 2020 05:46 WIB

Wage Rudolf Supratman, Pahlawan Besar yang Tak Sempat Merasakan Kemerdekaan

"Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya, toh, sudah beramal, berjuang dengan caraku. Dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka," pesan WR Supratman kepada Urip Kasansengari, sebelum meninggal. Pencipta lagu Indonesia Raya ini akhirnya berpulang pasda 17 Agustus 1938 pada usia 35 tahun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah RI mengajak masyarakat untuk menghentikan aktivitas sejenak selama tiga menit di hari peringatan kemerdekaan Indonesia, Senin 17 Agustus 2020 pukul 10.17 sampai 10.20 WIB. Imbauan penghentian aktivitas dilakukan pada saat pengibaran bendera pusaka Merah Putih (replika) dan dikumandangkannya lagu Indonesia Raya itu disampaikan Kementerian Sekretariat Negara.

Berbicara mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya, tentu tidak bisa dilepaskan dari sosok Wage Rudolf Supratman. Dia adalah pencipta lagu tersebut, sekaligus maestro musik yang besar asal Indonesia. Lantas, seperti apa perjalanan hidup WR Supratman?

WR Supratman lahir pada 9 Maret 1903 dari seorang ayah yang bernama sersan KNIL Djoemeno Senen Sastrosoehardjo dan ibu Siti Senen. Dituliskan Harian Kompas pada 18 Agustus 1990, Supratman terkenal sebagai seorang komponis dan banyak menciptakan lagu-lagu perjuangan. Syair dari lagu-lagu Wage Rudolf Supratman di dokumentasikan dengan baik dan dapat diakses pada situs lagudaerah.id.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak banyak diketahui, profesi aslinya adalah seorang wartawan dan penulis buku. Lagu-lagu perjuangan yang ia tulis tak lepas dari jalinan persahabatannya dengan para tokoh pergerakan.

Lagu perjuangan pertama karya WR Supratman berjudul Dari Barat sampai ke Timur. Dia menciptakan lagu itu karena bersemangat setelah mendengar akan ada penyelenggaraan Kongres Pemuda I 30 April-2 Mei 1926.

Di kongres pemuda itu, Supratman terkesan dengan pidato yang disampaikan tokoh pergerakan nasional, M Tabrani dan Sumarto, yang berisikan cita-cita "Satu Nusa Satu Bangsa" yang digelari Indonesia Raya.

Dia kemudian menyampaikan keinginann kepada dua tokoh itu untuk membuat lagu sesuai isi pidato mereka dengan judul Indonesia Raya. Lagu Indonesia Raya akhirnya berkumandang untuk pertama kalinya pada malam penutupan Kongres Pemuda II yang bertepatan pada tanggal 28 Oktober 1928.

Untuk menghindari tekanan dari Belanda, lagu itu dimainkan hanya dengan instrumental biola WR Supratman tanpa lirik. Namun, teks lirik itu telah dibagikan kepada para hadirin sebelumnya.

Lirik lagu Indonesia Raya baru bisa didengar ketika rapat pembubaran panitia Kongres Pemuda II pada Desember 1928. Lagu ini dinyanyikan kembali oleh sebuah koor, dan WR Supratman mengiringinya dengan bermain biola.

Biola WR Supratman yang menjadi ikon Museum Sumpah Pemuda terpajang rapi di dalam kaca. WR Supratman akhirnya berhasil mewujudkan cita-citanya untuk menciptakan lagu kebangsaan saat Kongres Partai Nasional Indonesia pada 30 Desember 1929. Dalam kongres itu lagu Indonesia Raya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia.

Hingga kini, lagu WR Supratman itu masih menjadi lagu kebangsaan Indonesia yang selalu berkumandang di setiap upacara bendera dan acara-acara resmi.

Pada 1930, Belanda mengeluarkan larangan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya karena alasan mengganggu ketertiban dan keamanan.

Mereka juga terganggu dengan adanya lirik yang menggunakan kata "merdeka". WR Supratman selaku pencipta lagu itu akhirnya diinterogasi oleh Belanda.

Di depan pihak Belanda, WR Supratman mengaku tidak pernah menggunakan kata "merdeka" dalam lagu itu.

Pada teks aslinya, kata yang ia gunakan adalah "mulia". Namun, ia menyebut bahwa lirik itu diganti oleh para pemuda menjadi "merdeka".

Setelah sempat terjadi polemik, akhirnya lagu Indonesia Raya boleh dikumandangkan lagi, dengan syarat hanya pada ruangan tertutup saja.

Untuk mengenang WR Supratman, penggubah lagu Indonesia Raya, dibangun sebuah monumen di depan rumah tempat wafatnya di Jl Mangga 21 Tambaksari, Surabaya. 

Tidak sedikit orang berkata bahwa lagu Indonesia Raya karya WR Supratman memiliki kemiripan dengan lagu La Marseille karya Rouget de L'isle (1922).

Hal itu bukan tanpa alasan, WR Supratman mengakui sangat terkesan dengan gairah lagu kebangsaan Perancis itu ketika pertama kali mendengar.

Pada 7 Agustus 1938, WR Supratman ditangkap pihak Belanda karena lagu terakhirnya yang berjudul Matahari Terbit.

Penyebabnya, pihak Belanda menafsirkan lagu itu sebagai dukungan terhadap kebangkitan kekaisaran Jepang, yang memiliki julukan sebagai Negeri Matahari Terbit.

Namun, tuduhan tersebut tidak terbukti, dan WR Supratman pun akhirnya dibebaskan dari penjara.

Tidak lama setelah penahanannya, Supratman mengalami sakit keras yang membuatnya meninggal dunia.

"Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka," pesan WR Supratman kepada Urip Kasansengari, sebelum meninggal.

WR Supratman meninggal pada 17 Agustus 1938 di usia muda, 35 tahun.

Tujuh tahun setelah kematiannya, keyakinan WR Supratman terbukti, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tanggal yang sama dengan berpulangnya Supratman.

Selain lagu Indonesia Raya, Supratman juga menciptakan beberapa lagu lain, seperti Dari Barat Sampai ke Timur, Bendera Kita, Bangunlah Hai Kawan, Ibu Kita Kartini, Indonesia Hai Ibuku, hingga Matahari Terbit.

Atas jasa dan pengabdiannya bagi Indonesia, WR Supratman dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 10 November 1971.

Ikuti tulisan menarik Yogi Prasetya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler