x

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 8 September 2020 14:14 WIB

BJ Habibie dan Problem Kesinambungan Industri Dirgantara (Oleh Ricky Rachmadi, SH, MH)

BJ Habibie telah meletakkan dasar yang kuat agar bangsa ini memiliki industri kedirgantraan yang kuat. Akan tetapi, saat ini kita menghadapi problem pelik political will pemerintah dalam memanfaatkan potensi-potensi terbaik anak bangsa. Banyak anak bangsa terbaik yang enggan kembali ke Indonesia bukan karena tidak ingin mengabdi ke negerinya, tetapi mereka tidak mendapatkan kejelasan peran dan posisi apa yang bisa dilakukan bila harus kembali ke tanah air.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Penulis adalah mantan Pemimpin Redaksi HU Suara Karya. Saat ini Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi DPP Partai Golkar

Ricky Rahmadi bersama BJ Habibie

Tulisan ini dipersiapkan guna mengenang satu tahun wafatnya (Alm) Prof Dr Ing BJ Habibie yang telah pergi meninggalkan bangsa ini kurang lebih setahun lalu, yaitu pada 11 September 2019. Bangsa ini tentu sangat berduka atas kepergian almarhum karena jasa-jasanya yang besar dan luar biasa semasa hidup dalam meletakkan kiprah industri dirgantara di tanah air. Negeri ini memiliki mimpi untuk memiliki pesawat sendiri yang diciptakan putra-putri bangsa dengan perencanaan teknologi mutakhir. Almarhum mmeiliki kemampuan dan kepemimpinan yang gigih gigih untuk mewujudkan cita-cita itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

BJ Habibie pantas mendapat semua penghargaan tertinggi. Menurut UU No. 20 Th 2009 bahwa Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan dengan tujuan untuk menghargai jasa setiap orang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi yang telah mendarmabaktikan diri termasuk berjasa besar dalam berbagai bidang kehidupan berbanga dan bernegara. Tanda Kehormatan itu diberikan untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan, kepatriotan, dan kejuangan bagi setiap orang untuk mengembangkan kemajuan dan kejayaan bangsa atau negara.

Menurut Pasal 1 UU tersebut, bintang adalah tanda kehormatan tertinggi. Sementara dalam Pasal 25, disebutkan syarat umum yang harus dipenuhi bila orang ingin mendapatkannya, bahwa orang yang bersangkutan haruslah WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah NKRI, memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, juga tidak pernah dipenjara berdasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara singkat 5 tahun.

Berkaitan dengan itu maka BJ. Habibie adalah orang yang mendapatkan semua tanda kehormatan bintang (sipil maupun militer) dengan kelas tertinggi; Bintang Repubik Indonesia Adipurna, Bintang Republik Indonesia Adipradana, Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Mahaputra Adipradana, Bintang Jasa Utama, Bintang Budaya Parama Dharma, Bintang Bhayangkara Utama, Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama.

Bintang-bintang di atas diberikan negara dalam kiprah almarhum di Indonesia. Namun demikian, dunia internasional pun mengakui kontribusi Presiden Indonesia Ke-3 ini. Dalam kapasitasnya sebagai pakar pesawat, negara-negara maju yang mempunyai perhatian sangat besar pada dunia dirgantara seperti Amerika, Prancis, Inggris, Jerman mendudukkan Habibie sebagai Anggota Kehormatan di berbagai komunitas akademik dan profesional Aeuronautika. Bahkan Jepang dan Malaysia mencantumkannya sebagai anggota kehormatan di Persatuan Insinyur Malaysia dan Japanese Academy of Engineering.

Penghargaan nasional dan internasional di atas hanyalah bagian dari penghargaan formal dan penghargaan yang bisa diungkapkan.

Selain itu banyak penghargaan yang tidak bisa diungkap, yakni Habibie adalah figur yang mendapat penghargaan di hampir benak setiap orang tua di Indonesia. Bagi banyak orang tua di Indonesia, nama Habibie selalu berkorelasi erat dengan kecerdasan. Karenanya bagi banyak orang tua di Indonesia, penyebutan nama Habibie bukan hanya sekadar penyebutan sebuah nama, tapi juga doa. Mereka selalu berharap bahwa anak-anaknya kelak akan seperti Habibie yang pintar dan sukses. Karena itu tidak heran banyak anak yang bermimpi ingin menjadi hebat dan pintar dengan mengatakan mereka ingin seperti Habibie.

Riwayat Habibie pun memang berkaitan erat dengan kepintaran dan kecerdasan. Gelar doktor aeronatika di RWTH Aachen Jerman Barat, diraih dengan predikat Summa Cum Laude.

Habibie adalah Menteri Riset dan Teknologi terlama di negara ini selama 20 tahun. Tidak terlupakan julukannya sebagai Mr Crack, setelah dunia Aeronatika buntu menghadapi problem retakan pesawat yang mengancam keselamatan penerbangan, maka Habibie datang dengan kemampuan rumusan menghitung rambatan.

Rumusan Habibie itu adalah yang sangat detail tentang “Crack” yaitu penghitungan sampai tingkat atom, yang bukan hanya bisa memprediksi pergerakan retakan pesawat dan menghindarkannya dari kecelakaan penerbangan, tetapi juga bisa merumuskan langkah-langkah memperpanjang umur pesawat.

Namun dibalik sinonimnya nama besar Habibie dengan kecerdasan dan telah menginspirasi banyak orang tua di Indonesia, justru disini juga letak permasalahannya. Banyak orang dan pengambil kebijakan pemerintah seolah menganggap segala hal yang diraih Habibie murni berkaitan dengan kecerdasan. Mereka lupa melihat bahwa Habibie muncul dan menjadi ikon pengembangan Iptek di Indonesia itu berkaitan dengan adanya komitmen, dedikasi, dan political will para pengambil kebijakan negara.

Bila kita kembali ke masa-masa awal pengembangan dunia dirgantara di Indonesia, maka kita akan melihat Habibie sebagai figur yang tidak diperhatikan. Bila titik tolak dunia dirgantara Indonesia ditandai dengan peristiwa gotong royongnya masyarakat Aceh mengumpulkan emas untuk membeli Dakota RI-001 Seulawah pada 16 Juni 1948, maka pada tahun yang sama orang yang dikirim Soekarno ke FEATI (Far Eastern Air Transport Incorporated) Filipina untuk mempelajari dunia dirgantara adalah Nurtanio Pringgoadisuryo.

Tujuh tahun berikutnya, 1955, ketika Presiden Soekarno membiayai banyak anak bangsa untuk bersekolah ke luar negeri, Habibie adalah rombongan kedua yang khusus di kirim ke Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule untuk belajar di jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang.

Namun, toh, Habibie belajar ke Jerman atas biaya sendiri, bukan melalui beasiswa penuh dari pemerintah sebagaimana pelajar Indonesia lainnya. Karenanya Habibie mesti menyandingkan kecerdasan yang dimilikinya dengan kerja keras untuk membiayai studinya. Dan karena kecerdasan dan kerja keras inilah Habibie sanggup meraih predikat Summa Cum Laude dengan nilai rata-rata 9,5 dari Aachen.

Selanjutnya: Kenapa tidak muncul Habibie baru?

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler