x

Toxic Boss

Iklan

Dialektika Ruang Publik

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Oktober 2020

Selasa, 24 November 2020 14:58 WIB

Toxic Bos dan Dilema Para Pegawai Bicara di Ruang Publik

Didalam era serba digital ini setiap orang mempunyai hakn berbicara mengungkapkan gagasan, opini, kritik dan saran. Dimulai dengan bentuk argumentasi keci-kecil (bawah), opini argumentasi (kelompok menengah) dan menjadi atau mengarah pada argumen-argumen besar atau mega argumentasi (atas). Tentju dengan mempertimbangkan kekuatan data empiris, rasio subjektif maupun objektif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semua bentuk bicara itu telah tertuang haknya didalam pasal 28 UUD 1945. Maka, seharusnya tidak berdampak pada penyudutan seseorang seperti soal tendensi pribadi, hoaks, SARA, dan sebagainya. Ada sebagian orang yang tidak bisa mengungkapkan rasa kegelisahan, kecemasan, kejengkelan, ketakutan, kemarahan, dari sesuatu yang baginya “tidak adil”. Bentuk-bentuk alasan itu tidak dapat di salurkan melalui suara-suara mereka yang ingin mengungkapkan norma-norma etis kejujuran, kebenaran dan keadilan. 

Pandangan mereka tersumbat karena tidak bisa atau tidak pandai berbicara di depan orang atau dimuka umum. Mereka hanya bisa bercerita di kantin-kantin, pojok-pojok dengan segelas kopi dan permainan catur untuk membincangkan isu-isu panas yang terjadi dikantor. Belum lagi mereka dibebani ketakutan dengan adanya UU ITE yang membuat mereka semakin ciut. Saya khawatir sekali trigger ini akan menjadi fitnah.

Atas segala kegelisahan yang terjadi, maka perlu adanya sarana perbincangan-perbincangan agar tersalur. Diskursus yang terjadi harus memiliki wadah prosedur diskursus yang dinamakan ruang publik. Dilemanya adalah ASN, karyawan BUMN dan karyawan swasta merasa kesulitan karena tidak memiliki sarana ruang publik untuk bicara dan menulis segala kegelisahan itu. Seperti sesuatu yang tabu, berbahaya terhadap dirinya bila membicarakan para atasan yang telah melakukan tindakan diluar batas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di pemerintahan misalnya seluruh staf, pegawai tidak tetap, honorer, karyawan outsourcing, kontrak, dst ada istilah telaah staf yang berfungsi memberi saran kepada atasan. Biasanya telaah staf digunakan oleh staf yang berfikir radikal memberanikan diri untuk bicara tentang fenomena yang terjadi di K/L. Sementara karyawan outsourcing, honorer sulit untuk memberi telaahnya. Mereka sadar Kalau terlalu kritis dan tidak mengenai keinginan-keinginan atasan, imbasnya adalah pemberhentian atau pemecatan. Karyawan BUMN pun hampir sama narasinya dengan karyawan di pemerintahan.

Begitu pula dengan karyawan swasta baik karyawan outsoucing atau karyawan kontrak yang kritis melihat keadaan sekitarnya, mereka takut diberhentikan dengan tidak hormat yang artinya tidak mendapat pesangon sepeserpun. Itu akan berdampak black list dan sulit  melamar pekerjaan pada organisasi-organisasi berikutnya.

Anak Buah vs Atasan

Pernahkah kita melihat percekcokan pimpinan dan karyawan yang disebabkan oleh berbagai macam hal dari ketidak-sukaan pimpinan terhadap karyawan mengakibatkan penurunan jabatan, non job, pemotongan pesangon, pemutasian, bahkan pemberhentian atau pemecatan?

Semua berawal dari suka tidak-sukanya pimpinan. Pemicunya bisa kritik karyawan yang biasa saja sampai kritik yang sangat tajam. Bisa karena bos menganggap kinerja karyawan rendah. Bisa juga bos takut terhambat atau tersaingi dengan bawahan karena bawahan dianggap cukup pandai dan pintar. Semua itu disebut toxic boss (atasan/bos beracun).

Kualitas yang berkontribusi menjadi toxic atasan adalah tidak penyayang. Dia tidak peduli dengan kebaikan hati dan kehidupan karyawan. Orang yang penyayang akan berusaha mensejahterakan. Dalam menyejahterakan dia harus berlaku adil. Untuk membuat adil yang proporsional itu maka dia harus jujur. Dia tidak bisa adil kalau tidak jujur. Karena dia adil dan jujur, dia berani mengatakan kamu tidak berkontribusi yang cukup. Atasan yang berani menjadi tegas. Tegas itu pembangun hormat karena anak buah paling tidak sabaran dengan orang besar berkuasa tidak tegas.

Kalau diurut, orang tidak tegas itu berarti penakut, kalau penakut berarti tidak jujur dan tidak adil berarti tidak penyayang. Kalau orang tidak penyayang perhatiannya hanya kepentingannya sendiri. Saya begitu heran mengapa dia membutakan mata hatinya sendiri?

Bagaimana dengan atasan yang pilih kasih? Ada 3 kualitas dari atasan yaitu: 1. Kekuasaan, 2. Ketidak-mampuan, 3. Sifat buruk. Tidak mampu berkuasa, dia mencegah orang terlihat pandai. Dia mengorbankan organisasi asal kepentingannya selamat. Sifat yang buruk tidak ada yang bisa mengubah dia kecuali keinsafan. 

Ternyata kantor kementerian pusat dan universitas lebih banyak toxic boss nya daripada tingkat lainnya. Bagaimana mungkin seorang karyawan memberikan perlawanan agrumentasinya sementara mereka (toxic boss) berlapis-lapis dari eseon IV, III dan II dalam membuat keputusan-keputusan politis? Justru mereka (eselon IV,III, II ) menghukum karyawan tersebut hanya karena mengkritik keputusan yang tidak normatif. Kita sebagai bawahan (melihat itu) tetap berfokus bukan pada atasan bermasalah, tetapi tetap berfokus pada diri kita yang harus sejahtera didalam seburuk-buruknya kepemimpinan.

Melihat fenomena sistemik yang begitu lama tersumbat di kantor, kemudian timbul satu pertanyaan besar pada benak kita sebagai anak buah: Apa yang harus diperbuat suatu organisasi agar opini tidak tersumbat dan terakomodasi secara netral?

Jangan Pernah Takut Jika Itu Benar

Bagi karyawan, teman-teman seperjuangan, janganlah pernah takut untuk mengungkapkan suatu kebenaran tentang kesejahteraan dan keadilan. Biarkan matahatimu mengalir dengan jernih. Boleh jadi anda diejek teman, boleh jadi anda dibilang bodoh, belo’on atau goblok, tapi ada sebagian hati orang yang mengatakan bahwa anda adalah karyawan sejati untuk kami. Anda adalah karyawan pembela teman-teman yang tertindas. Anda adalah karyawan yang gagah berani untuk kami teladani. Anda telah memberikan sikap, menerobos kebijakan yang salah/keliru. Akhirnya teman-teman bilang, “Gue bangga ama luh. Yuk ah kita ke kantin ngopi-ngopi”. Sambil berangkulan dipundak-pundak mereka.

Tuhan tidak akan membinasakan orang-orang yang pemikirannya radikal positif. Ada pepatah mengatakan “rezeki tidak akan tertukar, Jika kamu menanam kebaikan, maka kamu akan menui kebaikan-kebaikan itu”. Meskipun akhirnya dimutasi, diberhentikan atau dipecat, kita masih bisa mencari rezeki ditempat lain, mungkin lebih bagus tempat kita nanti daripada tempat yang sekarang ini karena Tuhan telah berjanji didalam kesulitan, ada kemudahan-kemudahan, kemuliaan dan kebahagiaan. Sangat mudah Tuhan merubah, membolak balikkan hati manusia. Saya percaya itu.

Bos Harus Berfikir Positif

Kadang pimpinan berbeda pemikiran dengan kita sebagai karyawan. Ada circum stansis  dimana situasi dan kondisi tidak memungkinkan pimpinan untuk bertindak. Ada aturan, kebijakan yang menghadang. Aturan yang menyumbat keadilan dan kesejahteraan. Tidak adanya aturan tentang kopetensi absolut setiap karyawan. Semua reward and punishment dibuat berdasarkan rasa suka dan tidak suka melalui baperjakat yang tertuang dalam PP nomor 100 tahun 2000 tentang pengangkatan PNS dalam jabatan struktural. Pasal 14 berbunyi untuk menjamin kualitas dan obyektifitas dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan structural Eselon II ke bawah di setiap instransi dibentuk Badan Jabatan dan Kepangkatan selanjutnya disebut Baperjakat. Ini hanya retorika pemerintah. Berbeda saat diputuskan oleh Baperjakat.

Untuk karyawan outsourcing, honor dan kontrak bisa langsung diberhentikan pimpinan jika tidak patuh pada aturan. Mungkin di swasta lebih kejam dan sadis. Keputusan sepihak kelompok atau seorang pimpinan bisa memberhentikan karyawan yang dianggap tidak loyal kepada atasan. Setidaknya pimpinan bisa menimbang-nimbang dengan rasa, pikiran positif apa yang terjadi dengan anak buahnya. Walau terbentur dengan aturan yang mengikat setidaknya ada kebijaksanaan pimpinan dalam menyelesaikan kasus-kasus terhadap anak buahnya. Masih ada jalan bijak untuk karyawan agar tidak dikeluarkan atau di pindahkan. Kadang saya berpikir bahwa rule of the game ini sudah dibuat secara sistematis menjadi sistemik. Sudah turun-temurun dari zaman firaun.

Satu sisi ada perasaan kasihan karena ada kebaikan, prestasi bawahan, disisi lain aturan yang mengharuskan sesuatu menjadi tindakan. Kadang ada tumpang tindih antara aturan dan kebijakan ketika pimpinan membuat buzzer dan influencer untuk memata-matai anak buah yang radikal. Suka dan tidak suka pimpinan adalah penyakit akut yang sudah terlalu lama terjadi terbentuk sistematik menjadi sistemik dalam organisasi tersebut. Karyawan ketakutan karena atasan saling bersekutu satu sama lain.

Bagaimana ini bisa sejahtera/adil yang terus bertahun-tahun? Begitu mengerikan ketika pimpinan merasa sombong dengan kewenangan, kekuasaan yang dimiliki, bertindak semena-mena padahal mereka sadar atau tidak sadar pada usia 58-60 tahun mereka harus pensiun dan pimpinanpun berganti. Untuk itu positif thinking sangat perlu untuk mendapat komunikasi yang baik dan hasil keputusan yang jernih.

Sebagai Pertimbangan Istana/Presiden

Bagamana cara menciptakan adil dan sejahtera itu? Ketika bertemu dialog antara atasan dan bawahan, maka telah terpenuhi syarat diskursus untuk mencapai kesepakatan. Keluh kesah terasa berkurang. Hak-hak dapat dipenuhi walau secara bertahap. Kewajiban sebagai pelaksana dapat diketahui lebih jelas pakem-pakemnya. Bila seandainya saja itu sudah dilakukan dari dulu, mungkin presiden dengan sangat mudah membaca situasi kementerian/lembaganya. Bahkan dengan mudahnya terpantau dan cepat mendapat informasi terkait aspirasi K/L Seluruh Indonesia.

Presiden tahu betul isu, percekcokan Pejabat A versus Pejabat B. Pejabat A,B versus Karyawan A,B,C dst. Sehingga presiden dapat berasumsi apakah pejabat A,B yang benar atau kritik karyawan A,B,C dst yang masuk akal dan berkontribusi. Presiden dapat menilai langsung mana yang benar dan tidak benar, baik dan buruk, layak atau tidak layak menjadi bos. Bahkan presiden bisa menukar/membalik posisi ASN tersebut. Presiden tidak bisa dibohongi dengan isu di K/L.

Beban fikiran presiden sudah berkurang 1 langkah karena bisa memastikan masalah keributan dan mencari solusi apa yang harus dilakukan. Sangat mempermudah dan bermanfaat untuk presiden. Presiden pun tidak ingin gagal dalam merawat suasana demokrasi deliberative rakyatnya termasuk suasana demokrasi deliberative didalam masalah-masalah organisasi.

Prosedural Diskursus Organisasi

Adanya kasus-kasus yang bermasalah tertahan, terendap, banyak terjadi baik itu dalam bentuk administratif maupun teknis harus ditemukan solusi melalui kompromi kedua belah pihak. Sebut saja masalah birokrasi yang berbelit-belit, korupsi, penyalahgunaan instrumen strategis dalam bentuk proyek-proyek strategis dan biasa, dst adalah masalah-masalah yang selalu terjadi di dalam organisasi. Karyawan enggan untuk membicarakan hal-hal yang sensitif itu apalagi yang berhubungan dengan atasan. Karyawan juga takut untuk membicarakan hak-haknya yang diamputasi. Masalah reward dan punishment pun menjadi pembicaraan kecil karyawan karena adanya ketidakadilan. 

Ini adalah contoh-contoh masalah yang meng-akar tidak ada solusi. Semua dingin seperti tidak ada masalah. Semua masalah ini harus dibuka secara terang-benderang dengan cara berdialog. Bentuk ketidakpatuhan adalah suatu protes terpendam yang terus bergejolak dan berjalan tanpa ada penyelesaian. Untuk itu Kementerian/Lembaga/Perusahaan harus memberi prosedural norma dan teknis yang tertuang didalam ruang publik organisasi.

Ruang Publik Diskursus Bagi Yang Fasih Berbicara

Pada saat ruang publik bicara itu tercipta, maka segala argumentasi, opini, kritik dan saran tumpah ruah dalam suatu ruangan. Debatpun terjadi. Pimpinan sebenarnya butuh kritisisme karyawan yang dibangun untuk menciptakan check and balances. Kritik bawahan adalah asset organisasi dan intelektual sumber daya manusia. 

Check and balances membuat organisasi menjadi lebih kuat, berbobot dan berwibawa yang membawa kearah inovasi, kreasi dan kepuasan para pelanggan. Tanpa check and balances mustahil suatu organisasi akan menjadi hebat. Setidaknya sebelum bocor ke publik di luar organisasi, perdebatan itu berlangsung didalam sehingga hal-hal yang tidak diinginkan seperti demo aksi ke senayan dapat diredam dan diatasi. Menteri/pimpinan perusahaan kan tidak ingin ada demo seperti demo aksi anarkis tentang UU Sapujagat Cipta kerja yang terjadi pada bulan lalu.

Ruang Publik Menulis Bagi Yang Sulit Berbicara

Check and balances pun dapat tercipta nggak hanya bicara melulu, akan tetapi bisa dilakukan dengan cara yang lebih arif dan santun. Lebih terfikir dan jernih yaitu melalui tulisan. Ada kontrol fikiran dan nafsu didalam tulisan. Ruang publik menulis sudah banyak terjadi di media-media online bahkan media-media cetak. Tapi apa salahnya kalau ada ruang publik menulis dalam bentuk misalnya blogger intern di K/L/Perusahaan. 

Seandainya jika sulit mencari titik temu dalam bicara, tulisan adalah solusi serius yang perlu dipertimbangkan atasan/pimpinan karena tulisan lebih terstruktur dan teranalisis. Mereka (atasan) juga tidak malu bila dihajar dengan kritikan sangat tajam dari bawahan dalam bentuk artikel/tulisan. Mungkin Biro/bagian humas sebagai pusat yang mengurus dan proses pelaksanaan blogger intern tersebut.

Akhir kata, Ruang Publik organisasi adalah proses membentuk opini-opini menjadi opini bersama, gagasan ideal organisasi dan terobosan-terobosan penting tak terfikir oleh bos. Realitanya website tajuk opini sudah muncul di K/L yang mengangkat isu, topik narasi secara umum dan terakses ke publik luar. Contoh tentang isu dan tindakan K/L tentang pandemic Covid 19, tantangan yang dihadapi, cara yang dilakukan K/L, good looking dan radikalisme K/L, dst.

Isu semua itu adalah masalah yang sudah terjadi dan sudah diketahui di ruang publik luar. Sementara masalah penting dan akut bertahun-tahun didalam yang harus dibenahi K/L/S sebenarnya adalah isu keributan apple to apple personal didalam organisasi, apakah itu soal kepegawaian/HRD, pengadaan, tindakan instrumental, strategis organisasi, dst. Untuk itu ruang publik intern K/L akses to Istana/presiden menjadi suatu hal yang jauh lebih penting untuk menjaga rasa aman, kenyamanan, keberlangsungan organisasi. 

Perlu ada ruang pubik organisasi yang diciptakan dalam bentuk dokumentasi ketika ada debat diskursus publik intern organisasi (ruang public bicara) dan blog-blog intern dari tingkat bawah sampai tingkat atas (ruang publik menulis). Dari sub direktorat teknis, sub biro administratif tingkat pusat terhubung/tersalur ke tingkat direktorat jenderal atau sekretariat jenderal. Begitu juga di tingkat Kanwil, Universitas, Pusdiklat, Puslitbang, Balai Diklat, dst, from down to top. Seluruh blog blog K/L/S terhubung ke istana/presiden sehingga opini brilian seorang staf/karyawan bisa terakomodasi dan terbaca oleh atasan/pimpinan bahkan istana. Atau ada juga blog yang terhubung langsung ke istana tanpa diketahui atasan sehingga pimpinan eselon tidak seenaknya saja mengambil keputusan politik yang merugikan karyawan dan organisasi. 

Ada pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Sebagai manusia, kita berpolitik baik dalam kehidupan sehari-hari, bekerja, bersosilisasi dengan masyarakat. Tidak benar seandainya pemerintah melarang staf dan pejabat untuk memaknai politik menjadi negatif karena ia mencari makan untuk keluarga dengan bekerja itu adalah politik. Istri mereka juga berpolitik untuk mengatur uang keluarga.

Akan tetapi ada yang jauh lebih penting dari pemaknaan itu. Tidak ada yang lebih penting dari kata politik kecuali tentang kemanusiaan. Banyak pekerja kantor yang realitanya berpolitik menjadi tidak manusia, menjadi buas bahkan sangat buas karena uang dan jabatan. K/L ternyata lebih mengerikan dari pada swasta karena disana politik identitas bersemayam. Pendidikan memudahkan jalan itu menjadi buas, ketika menjadi seseorang mereka lupa akan nilai-nilai kemanusiaan.

Ruang publik intern organisasi dapat tercipta melalui prosedural etis baik dibidang teknis maupun administratif. Prosedural etis itu yang menghasikan norma-norma kesepakatan mayoritas yang akan diputuskan untuk mencapai kesejahteraan dan mewujudkan keadilan organisasi.

Ikuti tulisan menarik Dialektika Ruang Publik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler