x

Golput Depok

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 17 Desember 2020 06:37 WIB

Pilkada Tak Menarik, Golput di Kota Depok Ungguli Pemenang

Ternyata, Pilkada sudah bukan menjadi barang yang menarik dan membikin tertarik rakyat untuk memilih pemimpin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bila rakyat sudah tak peduli siapa pemimpinnya, apa Artinya? Itulah fenomena nyata yang kini terjadi di Kota Depok dalam Pilkada di Indonesia yang dilaksanakan serentak pada 9 Desember 2020.Harus bilang apa coba?  Di Kota Depok pemenang Pikadanya adalah si golput (golongan putih) bukan paslon nomor urut 1 maupun nomor urut 2.

Apa pun alasan si golput, meski juga karena pandemi corona jelas ini menjadi catatan dan prestasi tersendiri. Kira-kira apakah ada daerah lain di Indonesia yang mampu menandingi si golput Kota Depok?

Diketahui, hingga Rapat Pleno terbuka rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat kota pada Selasa (15/12), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok mencatat si golput di Kota Depok lebih unggul suara di banding Paslon 1 dan Paslon 2. Luar biasa, padahal si golput tak mengusung Paslon.

Jumlah golput dalam hasil rekapitulasi final KPU Kota Depok mencapai 481.016 atau 39,12 persen dari total 1.229.362 daftar pemilih tetap (DPT). Jumlah itu terdiri atas akumulasi dari jumlah suara tidak sah sebanyak 29.391 suara dan pemilih yang tak mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 451.652 warga pemilik hak pilih.

Jumlah itu ternyata tak mampu disaingi oleh Paslon wali kota dan wakil wali kota nomor urut 2, Mohamad Idris-Imam Budihartono yang memperoleh 415.657 suara atau 55,54 persen dan Paslon wali kota dan wakil wali kota Depok nomor urut 1, Pradi Supriyatna-Afifah Alia yang memperoleh 332.689 suara atau 44,45 persen.

Pada akhirnya, Idris-Imam, wakil petahana yang didukung oleh tiga partai koalisi, PKS, Demokrat, dan PPP, menggungguli Pradi-Afifah yang didukung oleh koalisi Gerindra, PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan PSI, meski Paslon keduanya tetap kalah dari si golput yang tak mengusung Paslon.

Si golput tak ada pidana

Sejatinya, fakta bahwa golput di Kota Depok lebih unggul daripada pemilih yang mencoblos Paslon nomor 1 dan 2 banyak membikin masyarakat prihatin. Sebabnya, bagaimana pun para golput ini bisa dibilang tak memiliki sikap peduli, empati dan simpati, meski ber-KTP dan tinggal serta tidur di Kota Depok, namun tak bergeming dan tak mau tahu siapa pun Wali Kota Depok, sekalipun ada alasan corona. 

Bahkan banyak masyarakat menyebut, Depok hanya dijadikan tempat tidur oleh warga pendatang sebab hanya numpang tinggal meski sudah dapat KTP Depok. Ini tak lepas dari fakta bahwa sebagian besar warga Depok bekerja di luar Depok, Jabotabek, berangkat pagi pulang petang/malam.

Maka tak ayal, ada sebanyak 451.652 warga pemilik hak pilih yang cuek dengan Pilkada, bahkan tak mendatangi TPS, sementara pemenang Pilkada Kota Depok, yaitu Paslon urut 2 hanya meraup 415.657 suara, maka si golput ini bisa kita analisis sebagai masyarakat jenis apa di Indonesia.

Sikap golput bisa menandakan berbagai hal pada orang bersangkutan. Bisa orang tersebut kecewa dengan alasan tertentu karena situasi politik Indonesia sudah sandiwara dan "dibeli". Atau orang tersebut masa bodoh, atau memang dasarnya orang tersebut memiliki jiwa anti sosial (ansos) tak peduli, tak empati, tak simpati, tapi tetap mau jadi warga.

Namun, gara-gara si golput ini, gambaran pemimpin Kota Depok yang baru jadi samar. Meski secara sah Paslon nomor urut 2 unggul dari Paslon urut 1, namun kemenangan Paslon nomor urut 2 jadi kurang berasa, karena si golput malah lebih unggul dari yang memilih Paslon nomor 2.

Andai semua orang memanfaatkan hak suaranya, maka kemenangan Paslon 2 atau ssbaliknya bisa jadi Paslon nomor 1 yang menang akan menjadi berkualitas karena kemenangan mereka sepenuhnya atas kepercayaan rakyat yang memilih.

Sekarang, meski menang, tentu Paslon nomor urut 2 kurang merasa afdol, karena  rakyat Kota Depok yang tak memilihnya lebih banyak dibanding yang mencoblos saat Pilkada. Atau jangan-jangan, semua si golput di Kota Depok hatinya mengikuti pemimpin yang memperoleh suara nyata lebih banyak? Atau sebaliknya? Kita tidak tahu.

Mengapa si golput di Kota Depok sampai menang? Apa biang keladinya? Jawabnya, karena si golput akan tetap bebas dari sanksi pidana.

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyatakan tidak ada sanksi pidana bagi individu yang golput dalam pemilu dan KPU optimistis potensi golput masih bisa diatasi oleh penyelenggara dan peserta pemilu.

Bila di Kota Depok sudah kejadian si golput yang menang Pilkada, di mana pertanggungjawaban rasa opitimis KPU itu?

Sebelumnya, pada Kamis (28/3/2019) kepada awak media, Komisioner KPU Hasyim Asy'ari menegaskan soal sanksi pidana untuk golput tidak diatur dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. "Kalau tidak ada pasalnya, lantas mau dijerat menggunakan apa? Memilih itu adalah hak," ujar Hasyim.

Selain Hasyim, Komisioner KPU Viryan Azis juga menyatakan wacana memberikan sanksi pidana untuk individu yang golput sebaiknya tidak dilakukan. Selain tidak memiliki dasar aturan yang jelas, dirinya masih menilai potensi golput masih bisa diatasi.

"Sebaiknya tidak usah (dipidana), sebab dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak mengatur hal itu. Sehingga lebih baik, mengatasi golput dengan cara seperti saat ini saja, yakni mengoptimalkan edukasi kepada masyarakat," ujar Viryan kepada awak media di kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2019).

Sayang, apa yang dinyatakan oleh dua Komisioner KPU itu tak terbukti, faktanya golput malah menjadi pemenang Pilkada di Kota Depok.  Bagaimana dengan Solo dan Kota/Kabupaten lain di Indonesia?

Ternyata, Pilkada sudah bukan menjadi barang yang menarik dan membikin tertarik rakyat untuk memilih pemimpin.

Karena golput tak ada sanski maupun pidana, inilah fenomena yang terjadi. Dan rasanya, yang golput pun kini tak ada pihak yang menghasut, mengalir dari diri pemikiran dan hati sendiri. Apalagi disubutkan bahwa bila ada pihak yang mengajak masyarakat untuk menjadi golongan putih (golput) dapat dikenakan sanksi hukuman karena merupakan tindakan yang mengacau yang bisa dijerat UU Pemilu, UU ITE, KUHP, hingga UU Terorisme.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler