x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 21 Desember 2020 06:05 WIB

Ketika Bung Hatta Tak Mau Bocorkan Informasi Meski Membuat Tabungan Bu Rahmi Tinggal Separo

Bung Hatta dan Pak Syafruddin memberi teladan standar moral yang tinggi bagi pejabat publik. Mereka bahkan tidak memberi tahu isteri dan anak-anak mereka tentang keputusan penting yang mereka buat meski itu membuat tabungan keluarga tinggal separo nilainya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Saling mengenal antara pebisnis dan pejabat publik memang hal yang lumrah dan jamak sejak dulu. Pejabat publik tingkat tinggi, menteri misalnya, tidak ubahnya gula yang manis. Aroma manisnya mampu tercium dari jarak jauh oleh penciuman tajam para pebisnis, karena itu para pebisnis akan mendekati gula manis dengan berbagai cara. Sangat penting bagi pebisnis untuk memiliki akses terdekat kepada berbagai sumber daya, dan akses itu umumnya hanya bisa diperoleh bila pebisnis dekat dengan pengambil keputusan.

Kedekatan dengan pengambil keputusan hanya mungkin dijalin melalui perkenalan yang sebaik-baiknya ataupun sikap saling memahami kepentingan masing-masing—jangan dikira bahwa pejabat publik tidak memiliki kepentingan pribadi di balik penampilan yang seakan-akan ‘pelayan masyarakat tulen’. Kedekatan dengan orang-orang yang memiliki motif ekonomi serta adanya kepentingan pribadi inilah yang kerap mendorong terjadinya konflik kepentingan pada diri pejabat publik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Misalnya saja, pejabat publik yang terpilih melalui mekanisme pemilu merasa berutang budi kepada orang yang menyokong pencalonannya. Secara sukarela ataupun terpaksa, ia kemudian membalas budi dengan memudahkan penyokongnya memperoleh akses terhadap sumber-sumber daya. Akses itu dapat berupa izin, misalnya izin ekspor atau impor, izin mendirikan perusahaan yang memonopoli kegiatan bisnis tertentu umpamanya logistik, atau bahkan akses kepada informasi mengenai sebuah keputusan yang belum dipublikasikan secara resmi kepada warga masyarakat.

Informasi jelas merupakan sumber daya yang sangat berharga, sebab dari sinilah keputusan, sikap, maupun tindakan diambil. Tanpa informasi yang akurat, seluruh langka berikutnya berpotensi keliru. Semakin dengan pengambil keputusan di lingkaran pertama dan terdalam, semakin mungkin suatu informasi itu akurat. Karena itulah, orang-orang berlomba untuk mendekati lingkaran terdalam pengambilan keputusan agar memperoleh informasi penting yang akurat sesegera mungkin, bahkan sebelum keputusan itu diumumkan kepada khalayak.

Dalam konteks relasi penguasa dan pebisnis, atau apalagi penguasa yang sekaligus juga pebisnis—dalam arti memiliki saham pada perusahaan, informasi akurat yang diperoleh secara cepat dari sumber terdalam merupakan keunggulan atau advantage yang bernilai penting. Ketika kebanyakan orang belum mengetahui keputusan itu, sebab belum diumumkan, ia telah mengambil tindakan dan langkah. Ketika publik baru mengetahui keputusan itu, ia sudah berjalan sekian puluh kilometer barangkali.

Konflik kepentingan menjadi kemungkinan yang mudah terjadi manakala pebisnis begitu dekat relasinya dengan penguasa atau pengambil keputusan pemerintahan. Terlebih lagi jika penguasa itu adalah pemilik perusahaan yang dijalankan pebisnis, atau memiliki relasi tertentu, umpamanya kekerabatan. Misalnya, suami menjadi walikota dan isteri menjadi pengusaha, lalu di tempat tidur sang suami membocorkan rencana keputusannya yang berdampak pada bisnis isterinya.

Standar moral sebagai pejabat publik menjadi penting untuk mengatasi konflik kepentingan, dan kita dapat belajar dari teladan yang sangat baik dari tokoh-tokoh di masa lalu. Suatu ketika pada tanggal 10 Maret 1950, mulai pukul 20.00 WIB, Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara—sebagai pejabat pemerintah dalam Kabinet Hatta II—memberlakukan kebijakan keuangan yang kemudian terkenal dengan julukan Gunting Syafruddin. Untuk mengatasi persoalan ekonomi masa itu, Syafruddin menyatakan bahwa ‘uang merah’ [uang NICA] dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua—secara fisik, uang kertas ini memang benar-benar digunting, bukan hanya nilainya yang jadi separo.

Nah, guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah tapi dengan nilai separo dari nilai semula, dan ketentuan ini berlaku hingga 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret hingga 16 April, bagian kiri uang merah tersebut harus ditukar dengan uang kertas baru. Sementara itu, bagian kanan uang merah dinyatakan tidak berlaku, namun dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar separo dari nilai semula dan akan dibayar 30 tahun kemudian dengan bunga 3% per tahun.

Apa yang kemudian dapat menjadi teladan ialah bahwa Bung Hatta selaku perdana menteri dan Syafruddin Prawiranegara sebagai menteri keuangan menyimpan keputusan mengenai rencana pemotongan nilai rupiah itu secara ketat. Mereka tidak membagi informasi penting itu bahkan kepada isteri mereka sekalipun.

Ketika pemerintah mengumumkan keputusan sanering atau potong nilai uang tersebut, Bu Rahmi Hatta  terkejut karena mendapati tabungannya yang tidak seberapa itu kini hanya bernilai separonya. Mendadak jeblok. Bu Rahmi dikisahkan melancarkan protes kepada suaminya, Bung Hatta, kok tidak diberitahu informasi sepenting itu, padahal ia kan isterinya. Bung Hatta kabarnya menjawab protes isterinya itu: “Bu, itu kan rahasia negara... Kalau bapak kasih tahu ibu, namanya bukan rahasia lagi.” Akibatnya, Bu Rahmi tak bisa membeli mesin jahit yang ia perlukan untuk menghemat pengeluaran keluarga. Dengan menjahit sendiri, ia tak perlu membeli pakaian jadi untuk keluarganya.

Keluarga Syafruddin tidak kalah terkejutnya. Keluarga Syafruddin juga baru mengetahui keputusan pemotongan nilai uang itu setelah resmi diumumkan pemerintah, padahal Syafruddin dan Hatta yang memutuskan. Sama seperti Bu Rahmi, keluarga Syafruddin juga protes kok tidak diberitahu lebih dulu. Dengan ringan, Syafruddin menjawab protes itu: “Masa hanya rakyat yang kena.” Ia tidak mau memberi tahu keluarganya, sebab jika diberitahu mungkin uang mereka akan segera dibelikan barang-barang agar nilainya tidak merosot hingga separonya. Bagi Syafruddin, jika uang yang dimiliki rakyat terpotong separonya, uang keluarganya pun bukan pengecualian.

Mendengar penjelasan Bung Hatta dan Pak Syafruddin, keluarga mereka dapat memahami bahwa sebagai keluarga pejabat tinggi tidak berarti bahwa mereka berhak memperoleh keistimewaan, bahkan untuk sekedar memperoleh informasi lebih dahulu dibanding masyarakat. Jangankan kerabat jauh, adik atau keponakan dan menantu, bahkan anak dan isteri pun tidak diberitahu perihal keputusan penting yang akan ditetapkan pemerintah. Kedua tokoh itu memperlakukan keluarganya setara dengan rakyat lainnya.

Begitulah, Bung Hatta dan Pak Syafruddin telah menetapkan standar moral yang tinggi sebagai pejabat publik, sesuatu yang langka di waktu sekarang. Teladan mereka konkret, bukan slogan, bukan imbauan, tapi contoh nyata dan sangat relevan untuk dipraktekkan sekarang. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler