x

sumber foto: nalar.id

Iklan

Sri Kandhi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2020

Sabtu, 13 Februari 2021 06:31 WIB

Benarkah Penambang Lokal Belum Sepenuhnya Diperhatikan?

Ketika Indonesia sudah berjalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi pemain di era kendaraan listrik, masalah datang. Salah satu wakil rakyat pernah menyampaikan suaranya terkait tata niaga nikel yang kacau. Benarkah dalam kekacauan ini berdampak pada penambang lokal?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Wakil rakyat Indonesia” julukannya. Beberapa waktu yang lalu, salah satu wakil rakyat menyampaikan suaranya tentang perusahaan smelter yang merugikan penambang-penambang kecil. Kehadiran beleid harga patokan mineral (HPM) yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara menjadi landasannya.

Aturan yang berlaku sejak bulan Mei 2020 digunakan sebagai acuan jual-beli antara pihak penambang dan perusahaan smelter, wakil rakyat tersebut merasa masih banyak pihak yang melanggar aturan. Menurutnya, masalah bagi penambang-penambang kecil yang merasa dirugikan dimulai sejak adanya regulasi larangan ekspor nikel yang berlaku pada awal tahun 2020.

Larangan ekspor nikel dinilai membuat tata niaga nikel menjadi kacau dan tidak adil, baginya. Apakah pernyataan wakil rakyat tersebut benar adanya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dilansir dari CNBC Indonesia  pada Oktober 2019, Bahlil Lahadalia selaku Kepala BKPM pernah menjelaskan bahwa pengusaha pabrik smelter harus menyerap bijih nikel dalam negeri. Pengusaha dipastikan menyanggupinya dan akan membeli bijih nikel sesuai harga ekspor yang biasanya dikirim ke luar negeri.

PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menanggapi keputusan pemerintah, salah satu perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia itu tidak merasa keberatan. Pihaknya mengatakan bahwa IMIP siap menampung bijih nikel lokal yang artinya dari penambang lokal. 

"Jadi apapun yang disampaikan pemerintah akan jadi kebaikan. Kalau sudah jadi kebaikan siapa lagi yang kita patuhi kalau bukan pemerintah," ujar Alexander Barus selaku CEO PT IMIP yang dikutip dari detik.com (28/10/2019). 

Alexander menambahkan, IMIP membutuhkan puluhan juta metriks ton bijih nikel untuk diolah, hal tersebut sudah diperhitungkan. Pernyataan tersebut dapat memberikan kesimpulan bahwa adanya peluang yang besar untuk penambang-penambang kecil bekerjasama dengan perusahaan smelter. 

Untuk terus memantau kepatuhan aturan HPM, pada pertengahan Agustus 2020 lalu, pemerintah membentuk tim pengawas tata niaga nikel. Selama tim pengawas melakukan tugasnya di bulan September 2020, Ridwan Djamaluddin selaku Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menjelaskan tidak ditemui perusahaan yang melanggar HPM. Namun, pada bulan Oktober 2020 sebanyak 40 persen perusahaan yang belum patuh, hanya dalam kurun dua bulan saja berkurang menjadi 11 persen. Nantinya, angka persentase tersebut akan tidak ada lagi. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah mampu menunjukkan progres yang baik. 

Dengan penjelasan di atas, apakah wakil rakyat tersebut tahu bahwa perusahaan smelter sudah mengulurkan tangannya untuk penambang kecil? Apakah wakil rakyat tersebut melihat ketegasan pemerintah dalam memberantas pihak yang melanggar HPM?

Dan yang tidak kalah pentingnya: ketika wakil rakyat tersebut meributkan sesuatu hal yang sebenarnya tidak lagi valid, sudahkah dirinya melihat ekonomi di daerah Sulawesi, Maluku, dan Papua menunjukkan pertumbuhan baik berkat produksi mineral mereka?

Ikuti tulisan menarik Sri Kandhi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler