Emma menggerutu di grup Facebook gegara tumpukan sampah di sebuah sungai, di kawasan Depok, Jawa Barat. "Gimana nggak banjir kalau buang sampah ke kali seenaknya," ujar dia, dilengkapi unggahan video yang membuktikan alasannya marah-marah.
Lebih dari tiga ratus komentar memberi tanggapan. Sebagian besar menyayangkan lambannya tindakan dinas terkait untuk mengeruk sampah yang terlihat sudah teronggok berbulan-bulan. Ada pula yang mempertanyakan ketegasan memberi sanksi kepada pelaku. Dalam Perda Depok Nomor 16 Tahun 2012 disebutkan pembuang sampah sembarangan dapat dikenakan denda Rp. 25 juta. Namun, apakah regulasi ini benar-benar dilaksanakan? Mbuh, belum ada beritanya hingga saat ini.
Kalaupun ada denda, ternyata besaran denda tidak mengacu isi Perda. Contoh, di Bantul, Yogyakarta ada Perda (nomor dan tahun silakan gugling, saya nggak mau cerita ini jadi kebanyakan angka hehehe) yang memberi denda sebesar Rp. 50 juta bagi pelaku, tetapi kenyataannya yang tertangkap tangan hanya dikenakan sanksi Rp. 250 ribu. Hal ini terjadi beberapa hari lalu, sekitar 14-15 Maret. Lurah yang mengepalai kawasan di Bantul tersebut bilang, si pelaku sudah minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Ealaaah, kok mudah banget Pak Lurah percaya sama janji. Apa karena malu ya, pernah janji ke masyarakat saat pemilihan dan nggak ditepati, sehingga sekarang ya sudahlah, membiasakan hidup dengan janji. Kalaupun nanti ingkar, anggap saja karma hahaha...
Sebenarnya ada kasus serupa di beberapa daerah lain yang mirip, artinya besaran denda yang diberikan tak sesuai dengan regulasi. Kebiasaan permisif seperti ini berbahaya. Kalau kita kaitkam dengan SDGS, itu loh tujuan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya "SigapMembangunNegeri, maka akan sulit rencana mulia yang ramah lingkungan bakal terwujud. Belum lagi ancaman Pulau Jawa akan krisis air bersih pada 2040 yang pernah digaungkan Pusat Litbang Sumber Daya Air Kementerian PUPR . Wah, tinggal 19 tahun lagi loh. Sepertinya, kekhawatiran tersebut calon terjadi.
Penyebab krisis air bersih bukan hanya terjadi karena sulitnya air tanah (air dalam), tetapi juga karena semakin tercemarnya kali, atau sungai. Sebagai air permukaan, air di sungai ada yang merembes ke dalam tanah tidak semuanya bermuara ke laut. Nah, kalau air di permukaan sudah tidak sehat, pasti berpengaruh pada mutu air tanah. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) juga memanfaatkan sungai sebagai sumber pengairan ke rumah-rumah warga, selain dari mata air, danau, dan lainnya. Upaya PDAM sebagai satu dari sekian cara #MengelolaAirUntukNegeri. Jika sungai tercemar, semakin tinggi dosis klor dan tawas untuk proses pemurnian. Memang kalian mau memakai air PDAM untuk minum? Wong, ibu-ibu saja mengeluh kok setiap mencium aroma klorin dari air PDAM.
Tugas menjaga kebersihan sungai memang tanggung jawab bersama. Kita, sebagai masyarakat mesti sadar dalam menjaga kesucian sungai. Namun, ketegasan pemerintah (pusat dan daerah) sama pentingnya, wajib berani menindak tegas pelaku nyampah sembarangan. Tanpa ketegasan, semakin jauh deh mimpi menjadikan sungai sebagai tempat wisata seperti di negara-negara Eropa. Ok, lupakan dulu mimpi tentang pariwisata air. Setidaknya, jadikan dulu sungai yang bersih sehingga layak dipakai untuk pengairan ke tiap rumah. Apa bisa? Ya, saya kembalikan kepada Anda, wahai peminpin kami. Semoga, dengan #HariAirDuniaXXIX2021 kesadaran kalian tersentuh.
Tabik!
Ikuti tulisan menarik Sandi Prastanto lainnya di sini.