x

cover buku Musim Semi Lupa Singgah di Shizi

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 25 Mei 2021 05:50 WIB

Musim Semi Lupa Singgah di Shizi

Bisakah seorang istri yang sudah menikah dan bahagia jatuh cinta kepada pria lain? Bagaimana jika terjadi? Apa yang harus dilakukan olehnya untuk mengatasi ketegangan antara setia dan cinta? “Musim Semi Lupa Singgah di Shizi” adalah novel yang membahas isu perasaan cinta seorang perempuan yang sudah menikah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Musim Semi Lupa Singgah di Shizi

Penulis: Naning Pranoto

Tahun Terbit: 2003

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Prima Media Pustaka                                                                            

Tebal: 152

ISBN: 979-696-180-6

Bisakah seorang istri yang sudah menikah dan bahagia jatuh cinta kepada pria lain? Bagaimana jika terjadi? Apa yang harus dilakukan olehnya untuk mengatasi ketegangan antara setia dan cinta? “Musim Semi Lupa Singgah di Shizi” adalah novel yang membahas isu perasaan cinta seorang perempuan yang sudah menikah.

Lasiyem adalah seorang gadis dari Desa Tuwuh di Gunungkidul. Ia hidup dengan neneknya di Yogyakarta. Sebab ia sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Di Yogya, ia membantu neneknya bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Bringharjo. Meski anak orang miskin dan hidup susah, tetapi Lasiyem mempunyai semangat belajar yang tinggi. Ia ikut belajar membaca dan menulis yang diselenggarakan oleh aktifis di sore hari.

Hidup Lasiyem berubah total karena ia terpilih menjadi model lukisan dari seorang lelaki asal Australia – Nicholas Evans. Melalui bayaran yang diberikan oleh Nick, Lasiyem bisa menyelesaikan sekolah sampai lulus SPG. Pada saat wisuda kelulusan, Nick datang dan melamarnya untuk menjadi istrinya. Sejak itu Layisem menjadi Nyonya Las Evans.

Mereka hidup dalam pernikahan yang berbahagia. Hanya satu hal yang disesalkan oleh Lasiyem. Ternyata Nick tidak berkeinginan mempunyai anak. Pengalaman masa kecilnya yang ditelantarkan oleh orangtuanya, membuat Nick melakukan vasektomi. Lasiyem baru tahu hal tersebut setelah mereka menikah.

Kisah novel ini diawali di sebuah kota tua bernama Shizi. Shizi terletak antara Beijing dan Shanghai. Nick memutuskan untuk tinggal di Shizi karena ia ingin belajar melukis kaligrafi Tiongkok. Sementara Las menemaninya. Mereka tinggal di apartemen yang nyaman. Supaya Las bisa bersosialisasi dan menikmati kota indah tersebut, Nick mencarikannya guru Bahasa Mandarin. Dengan belajar Bahasa Mandarin, maka Las bisa bebas menikmati kota penghasil sutera tersebut.

Nama guru mandarin Lasiyem bernama Wang Jinshu, alias Teddy. Teddy adalah seorang American born Chinese. Ia tinggal di California tetapi memilih untuk kuliah di Tiongkok. Di universitas di Shizi. Buyut Teddy berasal dari Kota Solo, Indonesia. Buyut perempuan Teddy meninggalkan Indonesia karena mengalami shock di masa G30S. Suaminya meninggal karena serangan jantung saat menyaksikan teman-teman tionghoanya dibunuh di tahun 1965. Nenek buyut Teddy meninggalkan Indonesia dan balik ke Beijing. Tetapi saat ia tinggal di Beijing, terjadilah Revolusi Kebudayaan yang membuat hidupnya menjadi semakin susah. Akhirnya nenek buyut Teddy meninggal kan Beijing dan menjadi pembantu rumah tangga di sebuah keluarga Eropa di Singapura. Itulah sebabnya Teddy mempunyai pengetahuan tentang Indonesia, khususnya Solo dan beberapa jenis masakan. Teddy bisa berbahasa Indonesia cukup lancar.

Teddy adalah seorang pemuda yang ganteng dengan kulit yang bersih. Ia seorang guru yang penuh simpati dan bisa memotivasi Las untuk belajar dengan lebih semangat. Las jatuh cinta kepada Teddy. Ia baru menyadari bahwa ia mencintai pemuda yang - jika ia punya anak akan, seumuran dengan Teddy. Ia merasakan getaran-getaran aneh saat berdekatan dengan Teddy.

Di sinilah Naning Pranoto menggambarkan kegelisahan Las. Las menyadari bahwa ia sangat menghormati Nick dan mengetahui bahwa Nick sangat mencintainya. Ia menghormati Nick sebagai orang yang telah mengangkatnya dari kemiskinan. Nick adalah orang baik. Suami yang baik. Tetapi Las tidak merasakan cinta eros dengan Nick. Selama ini hanya menjalankan kewajibannya sebagai istri yang baik, termasuk dalam hal seksual. Las tidak pernah mendapatkan getaran aneh saat berhubungan badan dengan Nick. Tetapi ia merasakan perasaan yang berbeda saat berdekatan dengan Teddy.

Bagaimana Las bisa mengubah cintanya kepada Teddy dari cinta eros menjadi cinta platonic? Cinta yang berisi kekaguman, walaupun tidak akan memilikinya?

Saat Las mulai bisa mengalihkan cintanya kepada Teddy dari cinta eros ke cinta platonic, Las diajak untuk menghadiri sebuah pertunjukan teater, dimana Teddy menjadi pemeran utamanya. Saat Las dan Nick akan menemui Teddy seusai pertunjukkan, ternyata Teddy sedang berciuman dengan seorang gadis muda yang cantik. Las tiba-tiba merasa pusing dan jatuh. Kepalanya terbentur besi. Las dibawa ke rumah sakit dan meninggal. Di saat-saat akhir di rumah sakit, Las ditemani oleh Nick dan Teddy.

Naning Pranoto menggambarkan dengan indah perasaan Las. Las merasakan suasana yang begitu akrab dengan Teddy. Ia merasa Teddy menggenggam tangannya dan memberi pengakuan bahwa Teddy sebenarnya memiliki persaaan cinta yang sama seperti yang dirasakan oleh Las. “Ibu, Ibu, cobalah buka matamu dalam sekejap saja, agar Ibu bisa membaca isi hatiku yang terpancar dari relung-relung perasaanku bahwa aku mencintai Ibu dengan tulus. Aku jatuh cinta pada Ibu sejak pandangan pertama … Ibu, tapi, aaa…maafkan aku. Karena aku tidak mampu menjabarkan perasaan cintaku kepadamu dengan benar. Karena aku takut mendengarkan kata hatiku yang sebenarnya…Di taman itu kita nikmati aroma musim semi di Shizi. Bila kau pergi Ibu, musim semi pasti lupa singgah di Shizi…”

Saya mengenal Naning Pranoto sebagai seorang penulis novel dengan latar belakang orang-orang Tionghoa di Indonesia. Novelnya yang berjudul “Mei Merah 1998” dan “Miss Lu” sangat jelas menggambarkan derita masyarakat Tionghoa di Indonesia. Khususnya para perempuannya. Novel ini sungguh menarik dari sisi pergumulan cinta seorang perempuan. Tetapi sebagai novel yang mengusung tema Tionghoa, rasanya novel ini hanya menyerempet saja. Singgungan dengan tema Tionghoa hanya sekelumit tentang nenek buyut Teddy yang berasal dari Solo dan terpaksa meninggalkan Indonesia karena kerusuhan 1965.

Seandainya Naning Pranoto mengelaborasi perjalanan hidup Sang Nenek Buyut dengan lebih mendalam, maka kita akan mendapatkan kisah penderitaan perempuan Tionghoa Indonesia seperti yang ada di dua novelnya yang saya sebutkan di atas. 594

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler