x

cover buku Bimala

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 10 Juni 2021 18:14 WIB

Bimala - Pergumulan Intelektual India dalam Memilih Cara Kemerdekaan

Bimala adalah novel karya Rabindranath Tagore yang menggambarkan pergumulan cendewiawan India dalam memilih cara kemerdekaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Bimala

Penulis: Rabindranath Tagore

Penterjemah: Hartono Hadikusumo

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2017

Penerbit: Narasi – Pustaka Promethea   

Tebal: xviii + 290

ISBN: 978-979-168-505-4

Buku karya Rabindranath Tagore yang berjudul “Bimala” ini telah menimbulkan kehebohan ketika pertama kali diterbitkan. Banyak pihak yang menghujatnya dan menganggap Tagore sebagai pengecut yang hanya peduli kepada kepentingannya sendiri. Bahkan ada yang menganggap Tagore sebagai pengkhianat bangsa yang sedang berupaya mencari kemerdekaan dari Inggris.

Mengapa reaksi publik nasional dan Internasional begitu keras atas terbitnya Bimala? Padahal Tagore adalah seorang sastrawan besar yang memegang nobel sastra?

Pengantar buku ini memberikan paparan yang sangat menarik mengapa buku ini mendapat kecaman yang luar biasa keras dari George Lucas. Juga dari EM Foster. Selanjutnya di pengantar dijelaskan hubungan antara novel ini dengan kondisi India saat novel ini ditulis. Seandainya saya tidak membaca bagian pengantar ini lebih dulu, maka saya yakin saya hanya akan menikmati cerita roman orang pergerakan dengan untaian diksi yang sangat indah. Karya-karya Tagore memang selalu indah diksinya.

Novel ini sebenarnya menggambarkan pergumulan batin Tagore sebagai seorang cendekiawan India. Pada awalnya dia sangat mendukung upaya Swadeshi dengan cara memboikot produk-produk Inggris dan menggantikannya dengan produk-produk lokal. Gerakan itu dibungkus dengan semangat Bande Mataram. Para elite secara demonstratif melakukan pembakaran produk-produk Inggris, tetapi di rumah mereka tetap menggunakannya. Gerakan elite yang demokratis ini diikuti oleh para pemuda dengan cara yang lebih kejam. Para pemuda menyita barang-barang buatan Inggris di pasar-pasar dan di toko-toko. Semangat Bande Matara mini menimbulkan korban di rakyat jelata. Sebab barang-barang produksi Inggris yang berkualitas tersebut tak bisa digantikan oleh produk lokal. Memang ada upaya untuk membuat sabun dan kain secara lokal. Tetapi kualitasnya sangat jelek dan harganya mahal karena proses produksi yang belum sempurna. Rakyat tak mampu membeli produk lokal tetapi tidak berani menggunakan produk Inggris. Sebab kalau sampai ketahuan menggunakan produk Inggris maka rakyat jelata ini akan menghadapi para pemuda yang beringas.

Di titik inilah Tagore menjadi ragu akan Gerakan Swadeshi. Di satu sisi boikot akan memberi tekanan kepada Inggris, tetapi akibat boikot rakyat menjadi menderita. Keraguannya yang dituangkan dalam novel ini membuat dia dianggap sedang memihak Inggris demi kepentingan dirinya sendiri. Tagore dianggap sedang mencari muka kepada pemerintahan Inggris di India.

Tagore menggunakan metafora hubungan para intelektual dengan negaranya dengan percintaan segitiga Bimala-Nikhil-Sandip. Metafora ini sungguh sangat indah dan mengena. Bimala digambarkan sebagai Ibu Pertiwi yang sedang bergejolak dari nilai-nilai lamanya kepada nilai-nilai baru yang penuh kebebasan tetapi sekaligus penuh bahaya menjadi egois mementingkan diri sendiri. Sementara Nikhil (merupakan personifikasi dari Tagore?) digambarkan sebagai intelektual yang sangat cinta kepada negara tetapi juga sangat cinta kepada kemanusiaan. Sandip adalah gambaran dari pemimpin negara yang mempunyai gagasan besar tetapi menghalalkan segala cara. Termasuk mengekploitasi negara demi kepentingan mencapai tujuannya.

Bimala menikah dengan Nakhil. Sebagai seorang perempuan Benggala, Bimala betul-betul sempurna. Dia dikasihi oleh mertuanya karena dianggap mampu memberikan pelayanan kepada Nikhil – suaminya, sehingga Nikhil tidak menjadi pemuda yang sering keluar rumah dan mabuk-mabukan. Ini sangat berbeda dengan saudara lelaki Nikhil yang tidak betah di rumah.

Sebagai seorang cendekiawan yang mencintai kebebasan, Nikhil berupaya mendorong Bimala untuk bisa mendapatkan pengalaman di luar sebagai seorang istri. Bimala yang awalnya ragu, kemudian malah menikmati peran barunya sebagai perempuan bebas. Bilama yang tersanjung karena dianggap sebagai sumber semangat oleh Sandip semakin giat di dunia pergerakan. Bimala sangat terpesona dengan semangat dan cara Sandip dalam memperjuangkan kemerdekaan India melalui Swadeshi dengan semangat Bande Mataram.

Sandip dan Nakhil mempunyai pandangan yang berbeda tentang bagaimana harus berjuang. Sandip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Termasuk meminta uang kepada Bimala untuk membiayai perjuangannya. Sementara Nikhil lebih humanis. Sandip merasa bahwa Nikhil terlalu dikuasai oleh gagasan-gagasan besar yang utopis tetapi tidak praktis. Sedangkan Nikhil menganggap Sandip tidak peka kepada penderitaan rakyat. Pertentangan keduanya membuat Bimala menjadi bingung. Di satu sisi Bimala sangat terkesan dengan cara-cara Sandip yang lebih macho, di sisi lain Bimala menghormati Nikhil sebagai suaminya.

Melihat bahwa Bimala terombang-ambing dengan situasinya, Nikhil malah memberi kebebasan kepada Bimala untuk memilih antara dirinya dan Sandip. Pilihan bebas yang diberikan oleh Nikhil kepada Bimala sama sekali tidak didasarkan pada rasa cemburu atau rasa kalah. Tetapi didasarkan kepada konsistensi sikapnya untuk memberi kebebasan kepada Bimala, istrinya.

Novel ini sangat bagus dalam menggambarkan dinamika para cendekiawan India dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Pergumulan batin tentang cara mencapai kemerdekaan digambarkan dengan sangat apik melalui percintaan segitiga yang dewasa. Persoalan-persoalan nyata yang dihadapi rakyat dan bangsa juga terungkap jelas dalam kisah Nikhil-Bimala-Sandip. Pergumulan antara nilai-nilai tradisi, kemodernan, kebangsaan dan kemanusiaan tertuang dengan mendalam dalam kisah yang dibangun oleh Tagore.

Kisah Bimala memang mengambil latar sejarah India. Namun pergumulan para cendekiawan dalam memilih cara untuk memerdekakan bangsanya sepertinya terjadi di semua bangsa. Termasuk Indonesia. Bukankah pertentangan cara perjuangan memerdekakan bangsa juga terjadi dalam sejarah para pemimpin Indonesia menjelang kemerdekaan? Shahrir, Sukarno, Hatta, Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX, Tan Malaka dan tokoh-tokoh kemerdekaan lainnya juga mempunyai gagasan yang berbeda-beda dalam memilih cara untuk memerdekakan Indonesia. 598

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler