x

cover buku \x22Panggil Aku Pheng Hwa\x22

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 21 Juni 2021 15:07 WIB

Panggil Aku Pheng Hwa

Cerpen-cerpen Veven Sp. Wardhana yang menggambarkan isu liyan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Panggil Aku Pheng Hwa

Penulis: Veven Sp. Wardhana

Tahun Terbit: 2002

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia           

Tebal: xiii + 202

ISBN: 979-9023-70-X

 

“Memang, sejak lima-enam bulan yang lalu Jur tak lagi kerja sebagai wartawan. Jur telah beralih profesi. Dia menjadi penyanyi. Dia telah menjadi penyanyi, sejak kawin lagi dengan seorang penyanyi. Dangdut…” Kutipan paragraf penutup cerpen berjudul “Perempuan Dangdut” itu benar-benar menunjukkan betapa Veven Sp. Wardhana betul-betul menyetubuhi isu para liyan.

Veven adalah seorang wartawan. Ia banyak menulis cerpen dengan tema orang-orang yang menjadi liyan. Salah satu kumpulan cerpennya yang membicarakan isu liyan adalah buku ini. “Panggil Aku Pheng Hwa.” Saking mendalamnya pergumulan Veven, sampai-sampai ia sendiri menceburkan diri menjadi bagian dari ilyan tersebut.

Bagi Veven, liyan bukanlah persoalan pribadi. Liyan adalah persoalan sosial. Itulah sebabnya Veven secara sengaja (atau tidak?) menggunakan nama-nama sekenanya untuk tokoh-tokoh cerpennya. Soal nama-nama yang semenjana ini diakuinya di bagian pengantar buku. Kecuali nama Pheng Hwa, nama-nama toloh dalam cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku kumpulan ini sungguh sepele. Nama-nama Res, Nur, Jur, Krit dipakai oleh Veven untuk menunjukkan bahwa ke-liyan-an bukanlah sekadar masalah pribadi. Bahkan kadang tokohnya tak Bernama sama sekali. Nama Pheng Hwa pun sebenarnya pilihan yang menurut saya ngawur. Sebab Veven menggunakan nama Pheng Hwa untuk seorang lelaki. Padahal Pheng Hwa lazimnya adalah nama untuk perempuan.

“Panggil Aku Pheng Hwa” terdiri dari 20 cerpen yang dihimpun dalam 3 kelompok. Bagian pertama dijudulinya dengan judul salah satu cerpen yang juga menjadi judul buku, “Panggil Aku Pheng Hwa.” Tujuh cerpen yang berada di bagian pertama berkisar dengan isu Tionghoa sebagai liyan. Dalam cerpen “Panggil Aku Pheng Hwa, Veven mengutarakan bagaimana seorang liyan merasa terasing akan dirinya sendiri. Ia justru menemukan jati dirinya sebagai manusia Indonesia saat ia berada di luar negeri. Namun saat ia kembali lagi ke Indonesia, ia kembali merasa tersingkirkan dan bahkan tidak tahu ia berada di masa yang mana.

Pheng Hwa adalah seorang tionghoa. Karena tuntutan sosial, ia berupaya untuk menjadi sosok Effendi Wardhana. Sebab ia harus berganti nama. Di sekolah, di tempat kerja ia harus menjadi Effendi. Namun saat berada di Paris dan bertemu dengan beberapa teman kecilnya, ia merasa kembali menjadi Peng Hwa. “Di negeri asing ini…, aku tak lagi merasa asing atas diriku sendiri…”

Tentang perasaan sebagai manusia Indonsia seutuhnya ini juga pernah dialami oleh Margaretha Astaman. Dalam bukunya “Excuse-moi,” Margie begitu patriotik membela Indonesia saat ia bersekolah di Singapura. Namun ia mengalami situasi seperti yang digambarkan oleh Veven dalam sosok Pheng Hwa saat berada di negerinya sendiri. Memang demikianlah orang-orang yang di-liyan-kan di negeri sendiri tetapi sesungguhnya ia sangat mencintai tanah air yang menjadi tempat lahirnya.

Veven melengkapi perenungannya tentang orang-orang tionghoa dengan beberapa cerpen lain. Orang-orang tionghoa di perantauan yang masih membawa budaya dan kenangan mendalam akan negeri yang pernah ditempati dan dicintainya. “Déjà vu: Kathmandu” berkisah tentang sepasang pemuda-pemudi yang merasa pernah saling bertemu di masa lalu. Sang pemuda adalah orang Indonesia dan sang pemudi adalah seorang ras Cina. “Banjaran Hsiao Tsing” menceritakan seorang penyanyi yang menyanyikan lagi mandarin yang hanya dikenal di salah satu kabupaten di Jawa di masa 1965. “Yang Liu van Keukenhof” juga mengisahkan seorang perempuan tiongha yang meninggalkan Indonesia karena tragedy 1965. “Memburu Waktu Demi Waktu” berkisah tentang perempuan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia karena tragedy Mei 1998.

Veven tidak hanya membahas tionghoa sebagai liyan. Sebab di bagian kedua buku ini, ia justru membabarkan cerpen-cerpen tentang perempuan yang menjadi liyan. Bagian kedua buku ini yang dijudulinya dengan “Perempuan Bawah Tanah” mengungkapkan para imigran Timur Tengah di Paris. Veven mengambil peristiwa pengeboman kereta api untuk membangun cerita tentang perempuan yang membawa tas biola berisi bom.

Di bagian ketiga – yang diberi judul “Perempuan Dangdut” Veven membahas tema liyan dengan berbagai tokoh. Bagian ketiga ini diawali dengan cerpen berjudul “Sang Pemahat.” Seorang pemahat yang begitu berbakat merasa kehilangan jatidiri karena hanya berkarya sesuai pesanan para pejabat. Ia tak bisa berkreasi sesuai dengan idealismenya. Sampai akirnya ia bunuh diri dan menjadikan tubuhnya sebagai kreasi terakhir untuk memenuhi pesanan dari seorang Ro,o yang dari sisi uang sungguh tak berarti.

Cerpen berjudul “Perempuan Dangdut” adalah cerpen yang menurut saya menggambarkan pergumulan Veven dalam menggeluti isu liyan. Jur – sang tokoh akhirnya memilih untuk meninggalkan profesinya sebagai wartawan dan menjadi penyanyi dangdut setelah menikahi seorang penyanyi dangdut. Jur yang awalnya secara tidak sengaja mewawancarai seorang penyanyi dangdut. Hubungan Jur dan Laela, sang penyanyi dangdut menjadi semakin akrab. Karena keakraban inilah Jur menjadi tahu perasaan seorang penyanyi dangdut, yang sesungguhnya adalah perempuan dangdut. Gara-gara tulisan Jur, Laela menjadi semakin terkenal sampai manca negara. Bahkan Laela kemudian menikah dan tinggal dengan suaminya di Los Angeles. Sedangkan Jur malah terbawa dengan isu ke-liyan-an Laela dan menceburkan diri menjadi bagian dari liyan itu sendiri.

 

Membaca cerpen-cerpen Veven sangatlah mengasyikkan. Sebab Veven membangun alurnya dengan pelan dan detail, sehingga saya merasa sudah cukup memahami konflik yang ingin disuguhkannya. Namun di bagian akhir tiba-tiba Veven memberi paragraph-paragraf penutup yang mengejutkan. Paragraf-paragraf penutupnya ini membuat kisah yang berarus tenang melaju, tiba-tiba masuk kepada arus berpusaran deras yang mematikan. Mengejutkan, menengangkan tetapi mengasyikkan. 601

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler