x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Sabtu, 17 Juli 2021 06:37 WIB

Main Gawai 6 Jam Membaca 1 Jam, Mau Kemana Gerakan Literasi Indonesia?

Orang Indonesia ya. Main gawai kuat 6 jam, membaca kurang dari 1 jam. Mau kemana gerakan literasi di Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PPKM darurat masih berlangsung. Apakah orang Indonesia kian gemar membaca saat #DiRumahAja? Terus gimana, gerakan literasi di Indonesia ke depannya?

 

Membaca buku di masa pandemi Covid-19, saat PPKM darurat? Belum tentu juga sih. Karena faktanya, orang Indonesia yang membaca hanya 30-59 menit per hari. Alias kurang dari 1 jam. Tapi hebatnya, orang Indonesia mampu menghabiskan waktu bermain gawai hingga 5,5 jam sehari. Jadi, bila begitu apa artinya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Artinya suka tidak suka, tradisi membaca dan budaya literasi orang Indonesia masih memprihatinkan. Bila tidak mau dibilang rendah. Maka wajar hoaks sering terjadi, ujaran kebencian masif, dan gemar terlibat pada perdebatan yang tidak produktif. Bolehlah disebut yidak literat. Alias sulit menerima realitas dan gagal memampukan diri untuk adaptasi terhadap kenyataan. Maunya berdebat, maunya saling argument untuk membenarkan dirinya sendiri. Akhirnya, merecoki orang lain. Banyak yang lupa, budaya literasi itu bisa tercipta bila punya sikap untuk memahami dan memampukan keadaan. Mau mengerti atas kondisi yang terjadi, bukan sebaliknya.  

 

Memang, membaca bukan satu-satunya indikator. Tapi membaca adalah landasan penting dalam menegakkan budaya literasi. Tapi bila membaca kurang dari 1 jam sehari, sementara main gawai bisa 5-6 jam sehari. Mau bagaimana ke depan? Sebagai pembanding, di negara lain, rata-rata durasi membaca bisa 6-8 jam per hari. Sementara standar UNESCO menyebut waktu membaca diharapkan tiap orang adalah 4-6 jam per hari.

 

Pendidikan makin tinggi, teknologi makin melek. Tapi itu tidak menjamin tradisi membaca dan budaya literasi makin baik. Orang makin kaya belum tentu makin peduli pada budaya literasi. Orang makin intelek pun bukan jaminan tradisi baca membaik. Bahkan bila ditilik, tidak sedikit orang-orang pintar yang malah meninggalkan kegiatan literasi. Minimal, makin malas membaca, makin malas menulis.

 

Bak “angan-angan setinggi langit”. Maka ada orang yang bilang, membangun tradisi baca dan budaya literasi di Indonesia seperti angan-angan. Memang benar, budaya literasi kian berat. Ketika banyak orang lebih senang menonton TV daripada membaca. Lebih gemar main gawai daripada menulis. Akhirnya budaya literasi lebih sering diseminarkan daripada dipraktikkan. Maka harusnya sederhana, tradisi baca dan budaya literasi itu perilaku, sebuah aksi nyata. Apalagi bisa jadi gaya hidup, keren pastinya.

 

Tradisi baca, bolehlah dibilang memprihatinkan. Karean itu, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak hingga kini terus berjuang keras untuk menghidupkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak kampung. Agar anak-anak usia sekolah tetap dapat menikmati akses bacaan di saat PJJ tidak efektif. Agar anakanak tetap akrab dengan buku bacaan. Alhasil, kini TBM Lentera Pustaka punya 168 anak pembaca aktif yang 3 kali seminggu membaca. Dan menariknya, kini tiap anak mampu membaca 5-8 buku per minggu.

 

Berbekal pengalaman itulah, TBM Lentera Pustaka menyarankan 6 (enam) tahapan yang harus ditempuh untuk membangkitkan tradisi baca dan budaya literasi di era digital, yaitu:

  1. Jadikan membaca sebagai kegiatan yang asyik dan menyenangkan.
  2. Membaca harus jadi perilaku dan praktik baik bukan lagi bahan seminar.
  3. Taman bacaan mengambil peran terdepan dalam tradisi baca dan budaya literasi masyarakat.
  4. Aktivitas membaca harus berbasis kawasan dan bersifat inklusif.
  5. Siapapun harus peduli pada aktivitas membaca dan budaya literasi, baik relawan, korporasi maupun pemerintah daerah
  6. Promosikan aktivitas membaca dan semua kegiatan di taman bacaan di media sosial. Agar orang tahu membaca itu harus dilakukan, bukan diinginkan.

 

Maka pegiat literasi di mana pun. Jangan malu untuk menyuarakan aktivitas membaca dan gerakan literasi yang dijalankan. Tebarkan terus praktik baik di taman bacaan. Agar taman bacaan tidak diremehkan atau dipandang sebelah mata. Sementara orang-orang lain di luar sana berani memampang kulineran dan liburan di media sosial. Padahal tidak ada manfaatnya untuk orang lain. Kecuali pamer belaka. Kenapa taman bacaan harus malu? Dan mau ke mana gerakan literasi Indonesia?

 

Tradisi baca dan budaya literasi adalah peradaban. Dan semua aktivitas di taman bacaan adalah kebaikan dan kemanfaatan. Maka wujudkan praktik baik di taman bacaan. Karena sejatinya, tidak ada cinta tanpa kepedulian terhadap tradisi baca dan budaya literasi. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi #TradisiBaca #BacaBukanMaen

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler