x

Seorang artis mural sedang menggarap dinding.

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 18 Agustus 2021 06:28 WIB

De-mural-isasi? Cukup Senyumi Sajalah

Seperti kata orang arif bijaksana, mural tak perlu ditanggapi dengan kebaperan yang berlebihan, anggaplah itu sentilan seperti dilakukan gareng, petruk dan bagong, atau di panggung ludruk Suroboyoan. Kita tangkap pesannya dengan senyum tanpa perlu melakukan de-mural-isasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Lukisan mural dengan tulisan ‘404 Not Found’ di sebuah dinding di Tangerang mendadak viral. Mungkin sebelumnya, lukisan itu dalam keadaan tenang-tenang saja, tapi viralitas gegara media sosial menjadikannya pusat perhatian, bahkan perhatian aparat. Mungkin saja, warga yang lewat melihat mural itu sambil lalu tanpa paham apa maksudnya. Yang mengerti internet mungkin melihat sepintar sambil tersenyum, tak ada jejak pesan yang melekat di benaknya. Tapi, ketika perhatian aparat tertuju ke mural itu, bisa jadi kesadaran warga malah muncul: “Loh, kenapa ya gambar itu kok dihapus?”

Ada yang berkomentar bahwa mural di dinding-dinding perkotaan itu ekspresi pendapat dari warga masyarakat yang tidak memiliki akses untuk menyuarakan pikirannya. Mereka punya aspirasi mengenai hidup mereka, tapi tak pernah diajak ngobrol oleh, misalnya anggota parlemen daerah atau walikota atau bupati. Para yang menyebut diri wakil rakyat tak terlihat sepenuh hati mewakili rakyat, sehingga sebagian rakyat mencari medium yang dapat dijangkau untuk mengekspresikan jeritan hidupnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di berbagai kota di seluruh bumi, mural jadi sarana publik warga untuk menyuarakan, sebab forum dan institusi resmi seperti parlemen tidak mampu mereka jangkau. Sebagian warga tidak punya akses untuk berbicara dengan pemegang kekuasaan—tidak mesti yang duduk di pemerintahan, tapi juga mereka yang berpengaruh walaupun di luar pemerintahan, atau anggota parlemen sangat jarang menjumpai warga untuk menyerap aspirasi mereka. Terlebih lagi ketika media mainstream, seperti televisi, koran, majalah, termasuk internet, dikuasai oleh segelintir orang. Jadilah mural sebuah pilihan untuk berekspresi.

Apapun halnya, mural ‘404 Not Found’ dengan wajah yang dianggap mirip blio itu dapat pula ditafsirkan sebagai ekspresi kerinduan warga kepadanya. Bila blio hadir di sana, warga bisa bertemu dan menyampaikan harapannya, tentu disertai doa agar blio sukses. Akan lebih arif bijaksana apabila siapapun yang merasa disentil, atau yang mewakilinya, dapat memandang mural itu sebagai ungkapan kerinduan warga kepada blio, yang kalau ditulis dalam kalimat lain barangkali akan berbunyi ‘andaikan kau ada di sini’. Andaikan kau ada di sini, vaksinasi akan lebih cepat dan merata; andaikan kau ada di sini, bansos akan kami terima dengan selamat. Barangkali seperti itu.

Sebenarnya, mural di dinding-dinding kolong jembatan atau bangunan yang terbengkalai sudah lama ada di negeri ini, bahkan sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Jika kita menonton film-film perjuangan, kita memperoleh gambaran bagaimana seniman masa itu menggambar mural untuk mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajah. Di foto-foto zaman dulu kita bisa lihat mural bergambar pejuang dengan ikat kepala merah putih, membawa bambu runcing, dan di atasnya tertulis besar-besar: ‘Merdeka ataoe Mati’. [Yang kita tidak tahu apakah polisi kolonial masa itu buru-buru mengecat dinding itu untuk menutupi mural perjuangan].

Hingga di masa sekarang, mural juga menjadi medium perjuangan jalanan bagi para supir dan kenek truk. Jika kita sedang berkendara di belakang truk yang diwarnai lukisan bagus di bagian belakang, kita bisa bacar mural-mural yang membuat kita tersenyum. Ada bak truk yang bergambar wajah wanita tersenyum, di sampingnya tertulis: ‘Senyumu [huruf ‘m’-nya hanya satu, bukan dua sesuai EYD] semangat kerjaku’. Bahkan wajah alim KH Mustofa Bisri pun jadi lukisan mural di bak truk, disertai tulisan: ‘Juara sejati orang yang mampu mengalahkan diri sendiri.’ Mungkin itu sekedar mengingatkan supir-supir di belakangnya agar berkendara dengan tenang, jangan gampang emosian.

Cobalah baca baik-baik mural berupa tulisan ‘Tuhan, aku lapar’ yang juga viral. Mengapa mural ini dihapus, adakah pihak yang merasa tersentuh oleh tulisan ini? Padahal mungkin saja tulisan itu adalah ekspresi penulis mural yang mengadu kepada Tuhan dan memohon kepada-Nya agar diberi hidangan yang lezat. Mural itu ditulis persis di pagar kebun pisang yang kelihatannya—sejauh terlihat dari foto yang beredar di berbagai media—berpotensi mengenyangkan, entah siapa.

Seperti kata orang arif bijaksana, mural tak perlu ditanggapi dengan kebaperan yang berlebihan, anggaplah itu sentilan seperti dilakukan gareng, petruk dan bagong, atau di panggung ludruk Suroboyoan. Kita tangkap pesannya dengan senyum tanpa perlu melakukan de-mural-isasi. >>

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler