x

Pemerintah memperpanjang PPKM Mikro kembali

Iklan

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Agustus 2019

Rabu, 25 Agustus 2021 08:36 WIB

Lemahnya Koordinasi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional

Sekarang walau sudah diberlakukan banyak Undang–undang bersama ratusan peraturan turunan ternyata kinerja dan keberhasilan pengelolaan sumber daya alam masih belum memadai. Dampak pembangunan yang kurang terkoordinir antar sektor, antar wilayah, dengan penataan dan pemanfaatan ruang, berakibat terjadinya kerusakan dan pengrusakan ekosistem fisik lingkungan hidup Nusantara. Celakanya, keruskaan itu terjadi secara intensif dan meluas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pembangunan ekonomi nasional yang sehat dan berkelanjutan hanya mungkin dengan tersedianya modal dasar sumber daya manusia yang kompeten dan kolaboratif. Sumber daya seperti itu dibutuhkan dalam menerapkan Iptek dan  Keterampiran guna mengelola modal sumber daya alam (SDAlam) terbarukan dan SDAlam tidak terbarukan. Sarananya bisa melalui pembangunan sistem infrastruktur sipil di bidang komunikasi, transportasi, energi, air/sumber air, daerah terbangun / perkotaan, dan pengelolaan limbah.

Pengelolaan atau ekstraksi SDAlam tidak terbarukan mencakup migas, minerba dan galian C, termasuk sektor pertambangan. Pengelolaan SDAlam terbarukan mencakup: (i) pengelolaan sektor-sektor Kehutanan/perkayuan, Budidaya Pertanian Pangan, Perkebunan, hortikultura, dan industrinya; (ii) Pengelolaan Sumber Daya Air (SDAir) dan Biodiversity terdiri atas: sector-sektor Sumber Daya Air Perikanan darat / laut, Biodiversity, Budidaya Air, Fauna, Peternakan dan industrinya.

Semua upaya dan kegiatan terkait pengelolaan SDAlam tersebut sudah dan terus akan menghasilkan berbagai produk komodidti ekonomi untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dan ekspor ke luar negeri. Devisa yang dipeorleh bisa untuk mengimpor komoditi yang tidak diproduksi atau yang kekurangan di dalam negeri. Untuk jelasnya lihat Tampilan 1.1 Peran Sumber Daya Alam dan Infrastruktur dalam Pembangunan, Pengelolaan Sumber Daya Alam Terpadu, Basis Pembangunan Berkelanjutan olen Marhurar Napitupulu, Terbitan Kemiraan Air Indonesia Oktober 2007.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Guna mengatur tanggung jawab dan kewenangan serta pelaksanaan tugas dan fungsi emerintahan negara dalam pembangunan ekonomi nasional, pemerintah telah menerbitkan berbagai Undang-Undang Republik Indonesia (UU). Hal itu berlangsung sejak era Orde baru hingga era Reformasi sekarang. Semuanya mengacu pada pasal-pasal yang relevan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, DPR dan 

Antara lain dari UU tersebut adalah: UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air; UU No. 27/07 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Jo. UU No. 1/2014; UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana; UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah; UU 11 /2020 tentang Cipta Kerja.

Terkait Pengelolaan Sumber Daya Alam meliputi: UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, Jo UU No. Jo UU 19/2004; UU No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air; UU No. 22/2009 tentang Sistem Budi Daya Pertanian, UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, Perubahan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; terkait Pertambangan: UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara; UU No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (masuk proleknas DPR 2021); Terkait Infrastruktur: UU No. 22 /2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, UU No. 38/2004 tentang Jalan; dll.

Koordinasi masih lemah. Sekarang ini, walau sudah begitu banyak UU bersama ratusan peraturan turunan UU (Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri), ternyata kinerja dan keberhasilan Pengelolaan SDAlam terbarukan dan tidak terbarukan masih belum memadai.

Dampak pembangunan yang kurang terkoordinir / terpadu antar sektor, antar wilayah, dengan penataan & pemanfaatan ruang, berakibat terjadinya kerusakan dan pengrusakan ekosistem fisik lingkungan hidup nusantara dan / atau SDAlam yaitu kerusakan hutan, lahan/tanah, air/sumber air secara intensif dan meluas.

Akibatnya pada banyak Wilayah Sungai (WS) terlebih di Pulau Jawa, tahun demi tahun makin meningkat dan meluas kejadian banjir, banjir bandang, tanah longsor pada musim hujan diperberat dengan banjir rob di wilayah pesisir; diikuti kekeringan sumur, mata air dan sungai hingga terjadi kelangkaan dan kesulitan air rumah tangga, industri, dan air irigasi untuk tanaman pada musim kemarau; serta air kotor oleh berbagai limbah rumah tangga, kota, industri, dan pertanian / perkebunan yang tidak diolah masuk ke badan air sungai, waduk dan danau sepanjang tahun.

Lemahnya koordinasi penyediaan air untuk irigasi budidaya pertanian pangan, peternakan dan perikanan, serta pertanahan berujung lemahnya kemandirian pangan nasional. Besar sekali volume impor berbagai jenis bahan pangan (gandum 14 juta ton, beras 0,5 juta ton, jagung  3 juta ton, kedele, bawang putih/merah, buah-buahan, gula, garam, daging sapi, ayam ras, susu segar 80 %, dsb).

Penggunaan air untuk pertanian beririgasi, rumah tangga dan industri masih boros. Untuk jelasnya dapat dilihat: Tampilan 1.2. Dampak pembangunan terhadap SDAir, ‘Pengelolaan Sumber Daya Alam Terpadu, Basis Pembangunan Berkelanjutan olen Marhurar Napitupulu, penerbit Kemitraan Air Indonesia Oktober 2007’.

Mari kita urai persoalan koordinasi dan sinkronisasi tentang: perencanaan, pelaksanaan, pengendalian pemanfaatan ruang, dan monitoring pembangunan antar/lintas sektor, dan antar/lintas wilayah.

Pertama, melihat apa Tugas dan Fungsi Kementerian atau Lembaga (K/L) Negara. Tugas K/L adalah: (i) Mengikuti dan mengkoordinasi pelaksanaan kebijakan dan program yang sudah diletakkan pada bidang tertentu yang menjadi ranah dan tanggung jawabnya. (ii) Menampung berbagai masalah yang muncul dan mengusahakan penyelesaian masalah dengan mengikuti semua perkembangan keadaan di bidang yang membutuhkan koordinasi. (iii) Melakukan koordinasi dengan berbagai direktur jenderal dan pemimpin lembaga lain untuk bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai masalah.

Untuk merealisasikan Tugas tersebut tiap K/L mempunyai Fungsi: (i) Koordinasi dan sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan K/L yang terkait dengan isu di bidangnya. (ii) Pengendalian pelaksanaan kebijakan kementerian atau lembaga yang terkait dengan isu di bidangnya. (iii) Berkoordinasi melaksanakan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan bidangnya. (iv) Pengelolaan barang milik atau kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab bidangnya. (v) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan bidangnya.-(vi)-Pelaksanaan-fungsi-lain-yang-diberikan-oleh-Presiden.

Uraian tugas dan fungsi K/L tersebut menyatakan bahwa setiap K/L hanyalah menangani atau mengurusi sektor pembangunan yang menjadi tanggung jawabnya. Demi mencapai kinerja maksimal dalam sektor pembangunan yang ditanganinya adalah wajar jika setiap K/L akan mendahulukan/mementingkan sektor yang ditanganinya. Suasana inilah yang sering dinyatakan sebagai ego sektor yang berujung pada kurang optimalnya kinerja pembangunan ekonomi nasional. Padahal setiap sektor pembangunan pasti ada kaitannya dengan sektor lain, juga pasti terkait dengan wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota serta pemanfaatan ruang.

Kedua, dalam uraian tugas dan fungsi K/L di atas memang ada kewajiban melakukan koordinasi dengan pemimpin lembaga lain untuk bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai masalah; namun tidak secara rinci mewajibkan adanya keterpaduan antar sektor, antar wilayah dan penataan & pemanfaatan ruang. Namun begitu apabila kita menyimak beberapa hal yang tersurat dalam: (i) Menimbang dan mengingat untuk memutuskan dan menetapkan suatu UU, (ii) Ketentuan umum memuat pengertian-pengertian, dan (iii) Azas, Tujuan dan Ruang Lingkup dari setiap UU; dapat disimpulkan bahwa dari semua UU tersebut ada hanya 4 (empat) UU yang mempunyai azas, tujuan, dan ruang lingkup yang bersifat lintas sektor, dan lintas wilayah .

Sejalan dengan cakupan dan fungsi penting dari 4 (empat) UU tersebut, perlu dipetakan kekuatan hukumnya dengan memahami urutan hirarhi dan posisi yang tepat masing-masing UU dimaksud yaitu:

(1) Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LH), adalah paling tinggi, penting dan dasar dari 3 (tiga) UU penting berikutnya, serta semua UU terkait lainnya. Kita tahu Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Karena itu semua pemangku kepentingan pembangunan harus berupaya melestarikan fungsi LH agar kelangsungan daya dukung dan daya tampung LH bisa terpelihara.

(2) Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, adalah yang penting kedua, mempunyai posisi kunci yang berfungsi menjembatani “semua batasan-batasan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup” dengan “kebutuhan / permintaan” berbagai sektor pembangunan, melalui penyusunan secara kolaboratif “rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional, pulau, provins, kabupaten/kota dan kawasan strategis tertentu”.

(3) Undang-undang No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air, adalah yang penting ketiga, mempunyai dua fungsi: (i) sebagai UU lintas sector dan lintas wilayah dalam Pengelolaan Sumber Daya Air dan (ii) sebagai UU Sektoral Pengelolaan Sumber Daya Air. Dalam fungsinya yang bersifat lintas sector dan lintas wilayah maka “Pengelolaan SDA Wilayah Sungai” (tertuang dalam Pola dan Rencana Pengelolaan SDAir WS sebagai penerapan UU Sumber Daya Air) berfungsi menjembatani Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pengelolaan Sumber Daya Air lintas sector dan lintas wilayah.   

(4) Undang-undang No. 27/07 Jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah yang penting keempat, sebagai UU yang bersifat lintas sector dan lintas wilayah, penting diperhatikan dalam pemafaatan sumber daya alam wilayah pesisir, peralihan daratan dan perairan laut, serta penanganan / pengamanan daerah pantai dari banjir Rob dan gelombang laut ekstrim. Untuk jelasnya lihat Figure 3.2: Administrative mapping of the concept if Integrated Water Management, halaman 41 buku Water Resources in Mexico, Ursula Oswald Spring Editor, Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2011.

Ketiga, kesehatan “Sumber Daya Air Wilayah Sungai (SDA-WS)” di Indonesia terlebih di Pulau Jawa  ibarat pasien kondisinya sudah krisis, memerlukan operasi besar-besaran dalam penataan tata kelola dan pembangunannya secara benar di segala aspek. Supaya operasi si pasien yang krisis berhasil, dibutuhkan tim dokter yang memiliki “suasana dan hubungan kerja sama” yang didasari (i) persahabatan yang melahirkan komunikasi intensif, (ii) kepemimpinan yang mengupayakan koordinasi keterpaduan, (iii) kepercayaan yang membuahkan kerja sama yang bersinergi, dan (iv) keahlian yang kompeten memecahkan berbagai masalah yang kompleks. Demikian juga dalam reformasi tata kelola Pengelolaan SDA-WS, mutlak diperlukan “suasana dan hubungan kerja sama” untuk berhasil tersebut di atas. Dalam bahasa kelembagaan “suasana dan hubungan kerja sama yang dapat membawa keberhasilan“ disebut “kemitraan” (partnership).

Penulis John C Maxwell menyatakan Kemitraan sama dengan: (i) Persahabatan (friendship) + (ii) kepemimpinan (leadership) + kepercayaan (trust) + keahlian (expertise). Lebih jauh, Neil S Grigg (1966) dalam buku Water Resources Management mengatakan bahwa semua masalah Public Sector, terlebih Pengelolaan Sumber Daya Air selalu mengandung kompleksitas tinggi dan banyak konflik kepentingan. Untuk kedua kendala tersebut, beliau menyarankan perlunya Collaborative leadersip dengan consep a Six C model dalam peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Air yaitu:  “competency to overcome complexity”, dan “cooperation, coordination, and communication to overcome conflict”.

Dua resep koordinasi. Sejauh ini dengan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kinerja dan keberhasilan PSDAir-WS dan/atau PSDAlam, ada dua rumus atau resep “koordinasi keterpaduan” yang wajip diterapkan / ditaati oleh para pemangku kepentingan tiap-tiap UU yaitu: (1). Memahami dan menaati hirarhi kekuatan hukum 4 (empat) UU lintas sektor dan lintas wilayah tersebut di atas, serta (2). Memahami dan menciptakan “suasana dan hubungan kerja sama yang dapat membawa keberhasilan“ yaitu Resep “Kemitraan dan Collaborative leadership dengan Model 6 C”.

 Sampai di sini para pembaca pasti bertanya, bagaimana caranya para pemangku /pemilik kepentingan menerapkan dua resep Koordinasi Keterpaduan Pengelolaan Sumber Daya Air ini di lapangan. Jawabannya ada pada UU Sumber Daya Air No 17/2019, BAB XII KOORDINASI, pasal 64, pasal 65 dan pasal 66. Disuratkan: Pengelolaan SDAir mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat Air dan Sumber Air; dilakukan melalui “koordinasi” dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan dalam bidang Sumber Daya Air. Koordinasi PSDAir dilakukan pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan Wilayah Sungai.

Koordinasi pada tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN), ditetapkan oleh Presiden, beranggotakan wakil pemerintah sebagai anggota tetap dan wakil nonpemerintah sebagai anggota tidak tetap. Koordinasi pada tingkat provinsi atau kabupaten/ kota dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air daerah, dibentuk sesuai kebutuhan, beranggotakan wakil Pemerintah Daerah sebagai anggota tetap dan wakil non-Pemerintah sebagai anggota tidak tetap.

Koordinasi pada tingkat Wilayah Sungai dilakukan oleh suatu wadah koordinasi tingkat Wilayah Sungai, (Tim Koordinasi PSDAir WS) beranggotakan wakil instansi pemerintah dan masyarakat yang mewakili para pemilik kepentingan SDAir pada Wilayah Sungai yang bersangkutan.

Harapan. Dengan (1) menaati hirarhi kekuatan hukum 4 UU lintas sektor &  lintas wilayah, dan (2) penerapan “Kemitraan dan Collaborative leadership dengan Model 6 C” dalam koordinasi sesuai UU 17 / 2019 tentang SDA, mencakup: “(i) tingkat nasional pada Pasal 65 ayat (2) oleh pimpinan dan para anggota DSDAN, (ii) tingkat provinsi pada  Pasal 65 ayat (7) oleh pimpinan dan para anggota DSDAP, dan (iii) tingkat Wilayah Sungai pada Pasal 66 ayat (2) oleh pimpinan dan para anggota Tim Koordinasi PSDAir WS”; maka Penyelenggaraan Target Tugas Koordinasi akan dapat terwujud dengan tepat waktu dan mutu, guna meningkatkan kinerja dan keberhasilan PSDAir-WS. Keluarannya adalah bencana banjir/air berlebih, dan kekeringan/air sulit/langka serta air kotor oleh limbah dapat diminimalkan di setiap WS. Dampak positipnya semua sektor pembangunan akan berjalan lancar dan sehat sehingga bisa bermuara pada peningkatan dan pemerataan PDB daerah dan nasional sebagai outcome-nya. SEKIAN.

Ikuti tulisan menarik Napitupulu Na07 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler