Baliho, Menjadikan Rakyat sebagai Objek
Jumat, 27 Agustus 2021 11:32 WIBBaliho adalah sarana komunikasi satu arah: elite berbicara dan rakyat diminta mendengarkan/membaca. Melalui baliho, elite politik menjadikan rakyat sebagai objek.
Sekalipun masyarakat luas mengritik pemasangan baliho beraroma pilpres 2024, mengapa para politisi jalan terus? Baliho-baliho itu tetap terpajang di jalan-jalan seakan keadaan masyarakat sedang baik-baik saja. Para politisi memperlihatkan diri betapa mereka sangat menaruh hasrat pada kompetisi pemilihan presiden 2024. Bagi mereka, tiga tahun itu jangka waktu yang pendek untuk mempersiapkan diri, sehingga mereka mengayun langkah sedini mungkin.
Ketika elite politik sudah berkehendak memasang baliho-baliho di masa pandemi, siapa yang mampu menghalangi kendati dunia kita jadi terasa sumpek. Ruang-ruang publik, yang kita ingin menikmati sedikit kelegaan dari dominasi iklan promosi komersial, kini terisi oleh promosi politis. Potret wajah politisi berukuran besar dengan slogan-slogan yang aduhai itu tidak ubahnya wajah-wajah model iklan yang terlihat penuh gemerlap. Jargon mereka tak ubahnya copy writing yang menggoda namun kerap tak nyata.
Apa sebenarnya yang dipikirkan dan dirasakan politisi tentang masyarakatnya? Sebaliknya, rakyat sangat jarang mengetahui apa yang politisi pikirkan tentang masa depan negeri ini dan bagaimana mereka membawa rakyat untuk mencapainya. Mereka sering berbicara tentang janji, tapi jarang menunjukkan cara mewujudkan janji itu. Lebih membingungkan lagi, realitas ternyata jauh berbeda dari janji.
Dengan memasang ratusan hingga ribuan baliho itu, apakah elite politik memang melihat rakyat sebagai objek politik semata? Baliho adalah sarana komunikasi satu arah: elite berbicara dan rakyat diminta mendengarkan/membaca. Rakyat digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi apa saja yang jadi kemauan mereka tanpa mempedulikan apa yang dipikirkan rakyat, yang diinginkan rakyat, yang dicita-citakan rakyat. Mereka hidup bak di alam sendiri yang berjarak dari alam kerakyatan.
Para politisi bukan gagal memahami yang diinginkan rakyat, melainkan tidak peduli dengan harapan dan kehendak rakyat. Orang bisa paham tentang sesuatu, tapi belum tentu ia mempedulikan sesuatu itu. Orang bisa [mengaku] paham mengenai demokrasi kerakyatan, tapi belum tentu ia mempedulikan demokrasi kerakyatan. Orang bisa mengaku paham penderitaan rakyat, tapi ia belum tentu merasakannya—setidaknya dalam wujud empati. Baliho-baliho itu wujudnya.
Dengan memasang baliho di berbagai ruang, mereka tampak sedang mengobjektifikasi masyarakat: menjadikan masyarakat sebagai objek dari hasrat politik dan kuasa mereka. Mereka tidak terlihat sebagai politisi yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat luas. Mereka tidak tampak menjadikan partai politik sebagai alat perjuangan untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Mereka sedang memperjuangkan masa depan kekuasaan mereka sendiri.
Apakah politisi berpikir bahwa menjejali ruang publik dengan baliho berwajah mereka, rakyat akan mengenal lebih dekat dan bersimpati pada hasrat politik mereka? Rakyat telah semakin cerdas memahami perilaku politisi yang diselimuti ke-seolah-olah-an. Rakyat telah paham bagaimana politisi memperlihatkan kedekatan dengan rakyat menjelang pemungutan suara, tapi melupakan rakyat setelah mereka terpilih. Itulah kedekatan yang seolah-olah, kedekatan yang dibuat-buat, bukan kedekatan sejati yang lahir karena saling mengenal dengan baik.
Baliho-baliho berwajah politisi itu telah menyesaki ruang publik dan telah menekan kebebasan rakyat untuk menikmati kelegaan ruang publik yang terbebas dari polutan slogan, jargon, dan janji-janjis manis. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler