Van Gogh dan Jalan Terjal Menuju Skizofrenia
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBNovel biografis karya Irving Stone ini mengantarkan kita menapaki jenjang demi jenjang perjalanan pelukis Vincent van Gogh menuju kegilaan.
Tibalah saat Vincent van Gogh meragukan Tuhan setelah bertahun-tahun ia mengenyampingkan pencarian jati-dirinya untuk memenuhi permintaan ayah dan keluarga besar Van Gogh agar ia jadi pendeta. Momen keraguan itu terjadi di daerah pertambangan Barinage. Galian tambang ambruk dan mengubur hidup-hidup puluhan petambang miskin di bawah muka Bumi.
Kematian memang mengakhiri derita panjang para petambang yang hitam oleh batubara, tapi memperpanjang nestapa istri dan anak-anak mereka. Tak ada santunan dari perusahaan, hanya sebuah misa yang diadakan Vincent di pondoknya yang sempit dan suram. Namun doa tulus bagi yang mati itupun masih dipersoalkan oleh dua atasan Vincent yang datang dari kota sebagai tak pantas dilakukan.
Sejak itu, Tuhan lenyap dari perbendaharaan keyakinan Vincent. Ia pun batal ditetapkan sebagai pendeta—penafikan yang melengkapi penolakan yang sudah ia alami berkali-kali. Di simpang jalan inilah Vincent memilih untuk memburu jati-dirinya. Tinggal di gubuk reot, tanpa dipan, dan kerap meninabobokkan perutnya yang lapar adalah caranya menolak kemunafikan.
Panggilan untuk menggambar kembali memenuhi otaknya, kendati untuk membeli kertas dan pensil ia membutuhkan Theo, adiknya yang jadi pialang lukisan. Ia merasa pantas jadi pelukis—yang dianggap keluarganya sebagai membuang-buang waktu. Kemiskinan tak menghentikan semangatnya untuk berguru pada orang-orang yang dianggap sukses jadi pelukis.
Tanpa uang sepeserpun, Vincent berjalan kaki sejauh 170 km yang memakan sol sepatu satu-satunya, menumbuhlebatkan jambangnya, memeras lemak tubuhnya, dan membuat orang-orang yang berpapasan berpaling muka. Irving Stone berhasil menunjukkan sudut pandang Vincent bahwa apa yang ia lakukan, yang dipandang aneh oleh orang lain, adalah lumrah belaka.
Dengan tekun, lewat diskripsi yang detail, percakapan yang imajinatif, Stone mengajak kita menyusuri perjalanan panjang menuju kegilaan melalui sekian penolakan, penghinaan, nestapa, dan salah pengertian. Hasrat untuk hidup, gairah untuk menemukan jati diri, masih sanggup menghidupkan ruh Vincent. Theo bukan hanya memainkan perannya sebagai penyokong keuangan, tapi juga penopang emosionalitas kakaknya. Kematian Vincent di usia 37 tak sanggup mempertahankan hidup Theo, yang menyusul 6 bulan kemudian. “Dan dalam kematian, mereka tidak terpisahkan.”
Sembari tetap bertumpu pada fakta, Stone memfiksikan detail-detail tertentu dan membangun dialog imajinatif. Stone menghidupkan jiwa Vincent tapi tak hendak mengubah sejarah hidup pelukis ini. Tiga jilid kumpulan surat Vincent kepada Theo membantu Stone menangkap suasana batin dan pikiran Vincent. “Saya menghabiskan beberapa tahun untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh subyek-subyek saya, mendengarkan monolog-monolog internal dalam surat-surat mereka,” kata Stone.
Lust for Life, novel biografis pertama Irving Stone (terbit dalam Bahasa Inggris pertama kali pada tahun 1934, di Indonesia 2012), lahir setelah 17 naskah drama Stone yang ditulis dalam satu tahun tak memperoleh sambutan di negerinya, AS. Ia tinggalkan program doktornya di Berkeley, AS, dan berlayar menuju Paris.
Di ibukota Prancis, pameran karya Vincent di Galeri Rosenberg memantik imajinasinya. “Ini pengalaman emosional paling memaksa dalam hidup saya,” tutur Stone ihwal momen ini. “Meski saya masih terlampau muda, dan merasa tidak punya teknik memadai untuk menulis Van Gogh, tapi saya harus mencoba. Bila saya tidak mengerjakannya, saya tak akan pernah menulis apapun.”
Selama 6 bulan Stone menyusuri jejak-jejak van Gogh di Inggris, Belanda, Belgia, dan Prancis. Akhirnya, karyanya tentang pelukis mashur ini selesai pada 1931, tapi dalam tiga tahun berikutnya tidak satupun dari 16 penerbit yang dihubunginya bersedia mempublikasikan Lust for Life. Hingga kemudian Longmans, Green & Company membuka pintu bagi Stone setelah jumlah halaman naskahnya dipangkas agar, kata editornya, mencapai ‘ukuran keterbacaan’.
Stone, barangkali, terlampau bersemangat menumpahkan segenap emosinya terhadap Vincent. Ia menangkap kobaran hasrat hidup pelukis ini, merasakan setiap sayatan akibat penolakan yang diterima Vincent, dan mengisahkannya kembali dengan begitu imajinatif. Rentang 10 tahun kehidupannya sebagai pelukis sarat oleh drama—gejolak yang mendorong Vincent melahirkan 860 lukisan cat minyak dan lebih dari 1.300 lukisan cat air, sketsa, maupun cetakan
Potret diri. Lanskap. Bunga-bunga. Ladang gandum. Bunga matahari. Sebagian karya terbaik Vincent lahir di rumah sakit St. Remy, tempat ia dirawat untuk waktu cukup lama di tengah orang-orang yang di mata jiwanya terlihat aneh. Stone menghidupkannya dalam novel biografis pertama yang menjulangkan namanya. Tak seperti Vincent, yang tak pernah menikmati kemashuran selagi hidup, kepergian Stone dari Berkeley tidak sia-sia. Lust for Life memang layak dipujikan. **

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Di Musim Corona, Hati-hati Jangan Sampai Menghina
Selasa, 14 April 2020 05:33 WIB
Bila Jatuh, Melentinglah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler