x

Ilustrasi swab test RT-PCR. Sumber foto: Kompas.com

Iklan

Aisyah Hetra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Januari 2021

Kamis, 4 November 2021 10:30 WIB

Begini Kronologi Terkuaknya Bisnis Tes PCR yang Libatkan Menko Luhut

Isu bisnis tes PCR yang dulang triliunan rupiah belakangan ini menjadi ramai diperbincangkan publik, terlebih setelah terkuaknya salah satu pejabat yaitu Menko Luhut Binsar Pandjaitan dalam pusaran bisnis tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pandemi sudah setahun lebih menghantam Indonesia dan juga seluruh dunia. Telah banyak kerugian yang diderita masyarakat. Namun karena hidup ini bukanlah negeri dongeng yang selalu bahagia, tentunya di tengah nestapa masyarakat, tetap saja ada yang mencari celah keuntungan demi kepentingan pribadi. Celah tersebut berbentuk sebuah usaha. Dan, usaha ini dapat mendulang profit triliunan rupiah serta tumbuh besar di masa pagebluk. Ya! bisnis jasa tes usap RT-PCR!

Agar secara tuntas kita memahami bagaimana pusaran bisnis tes usap RT-PCR ini, kita perlu mundur dahulu ke belakang. Layakya efek domino, inilah papan pertama yang membuat runtuh segala penutup-penutup bisnis tes PCR tersebut.

Harga PCR Turun, Tapi Jadi Wajib

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Presiden Jokowi menitahkan agar harga tes PCR menjadi Rp300 ribuan. Nominal ini menjadi ambang tertinggi untuk diimplementasikan. Hal ini kemudian diumumkan secara langsung oleh Menteri Koordinator Kementerian Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, lewat kanal YouTube Sekretariat Presiden, termasuk pula dengan perubahan masa berlaku, “Masa berlakunya 3x24 jam,” kata Luhut kala itu.

Namun, penurunan harga PCR ternyata diikuti dengan kebijakan pemberlakuan bukti negatif swab test RT-PCR di semua moda transportasi. Luhut kemudian menyebutkan bahwa syarat tersebut dibuat guna mencegah penularan akibat mobilitas tinggi di saat libur Nataru. 

Luhut lalu mengungkap data dari Survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan yang telah memprediksi bahwa akan ada 19.9 juta orang yang melakukan perjalanan di area Jawa dan Bali. Sedangkan 4,45 juta lainnya akan melakukan mobilitas horizontal di sekitar Jabodetabek. "Sekarang pun mobilitas di Bali sudah sama dengan libur Natal dan tahun baru 2020," tutur Luhut.

Pun dirinya menjelaskan maksud lain dari pemberlakuan PCR di semua moda transportasi adalah untuk membuat masyarakat berpikir dua kali sebelum bepergian. 

Ketika Publik Mulai Curiga

Kebijakan ini menuai ragam komentar, termasuk salah satunya dari Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi yang menyoroti bahwa kebijakan ini diskriminatif dan menambah beban konsumen.

Ada juga Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono  yang menilai pemerintah terlalu terburu-buru dengan kebijakan tes PCR yang disahkan sebulan sebelum libur natal.

Uniknya, kedua tokoh tersebut merasa kebijakan ini penuh keganjilan dan lainnya mengutarakan, “Aturan yang berlaku saat ini melegalkan kartel bisnis PCR”

Dibalik Harga Tes PCR: Swasta Mendominasi

Entah masyarakat ngeh atau tidak, penyedia jasa swab test RT-PCR sampai sekarang didominasi oleh pihak swasta. Beragam perusahaan-perusahaan laboratorium penguji tes PCR ternama Bumame, GSI, Intibios menguasai bisnis ini.

Senyatanya, Covid-19 adalah masalah nasional bahkan masalah dunia (pandemi), dan sudah seharusnya negara menjadi penyelenggara utama atas semua penanggulangan penyebaran Covid-19.

Lembaga-lembaga pemerintahan bahkan pernah merekomendasikan harga ideal untuk satu kali tes PCR di angka Rp200 ribu. Hal ini sudah disesuaikan dengan modal yang dikeluarkan oleh RS atau laboratorium terkait. Lembaga ini juga menuliskan, “Jika harga turun maka jumlah tes PCR akan bertambah,”. 

Ya, tracing, kan, yang menjadi kunci penting dalam memerangi Covid-19?

Selain lembaga pemerintahan, ada juga uraian dari lembaga lainnya yaitu Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Andani Eka Putra. Menurutnya, harga tes PCR seharusnya tidak setinggi yang dibanderol di pasaran, seperti saat awal-awal pandemi di Indonesia. Andani menjelaskan, bahwa pada awal-awal pandemi, tes usap PCR memiliki mahar Rp1.5 jutaan untuk satu kali tes. Padahal, modal yang dikeluarkan hanya sekitar Rp600 ribu.

Sebenarnya, apa yang harus dipersiapkan oleh fasilitator swab test RT-PCR? Diantaranya adalah mesin PCR dan reagen. Biasanya para pebisnis tes PCR akan bekerja sama dengan importir-importir, misalnya dari China. Mesinnya dibanderol seharga Rp400 juta.

Selain itu ada media penyimpanan spesimen lendir hidung dan tenggorokan dari pasien yaitu viral transport medium atau VTM juga didapat dari importir. Kiranya, jika penyedia fasilitas tes usap RT-PCR membeli reagen seharga Rp60 ribu hingga  Rp1,5 miliar, mereka bisa mendapatkan pendapatan kotor Rp12,4 miliar per 25 ribu orang yang PCR bertarif Rp475 ribu.

Hingga akhirnya, ICW berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan di benak masyarakat akan angka pasti dari keuntungan bisnis PCR. Wana Alamsyah, Peneliti Indonesia Corruption Watch menaksir keuntungan-keuntungan bisnis PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp10,46 triliun dan belum dihitung keuntungan yang didapat importir, “Keuntungan fantastis,” tutur Wana.

Lebih lucunya, Jubir Kementerian yang seharusnya menjadi bintang utama dalam kasus Covid-19 yaitu Kementerian Kesehatan mengatakan tak pernah memonitor jasa-jasa tes PCR ini serta kebijakan kebijakan yang menyangkutnya.

Terlihat negara seperti tidak pernah menyeriusi pandemi Covid-19. Dari kebijakan parsial alias setengah-setengah hingga baru menurunkan harga tes PCR yang mencekik ketika sudah satu tahun lebih Covid-19 berlangsung. Kecurigaan semakin bertambah, apakah ada “pihak-pihak tertentu” yang berandil untuk memainkan momentum pandemi Covid-19 demi sebuah kata, yaitu untung?

Keterlibatan Menko Luhut di Bisnis PCR

Dan, benar saja. Belum lama ini, sebuah kabar burung terkuak. Terdapat dua anak usaha milik Menko Kementerian Kemaritiman dan Investasi yaitu Luhut Binsar Pandjaitan yang terafiliasi dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia (PT GSI), penyedia laboratorium untuk tes PCR. Tak tanggung-tanggung, PT Toba Sejahtra dan PT Toba Bumi Energi, masing-masing mempunyai 242 lembar saham senilai Rp242 juta.

Lewat klarifikasi resmi dari Jubir Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahadi, secara tersirat publik jadi mengetahui dan menghitung secara kasar berapa total keuntungan yang bisa diraup Luhut dari dugaan keterlibatannya di dalam bisnis tes PCR. Kata Jodi, bosnya tak memiliki kontrol perusahaan karena saham yang dimilikinya di bawah 10 persen.

Pun, bila Luhut memiliki saham mentok 10 persen, dirinya tetap bisa meraih keuntungan Rp30 triliun per 1 juta orang yang tes usap PCR dengan harga terbaru, Rp300 ribuan. Nilai itu tetap fantastis, meskipun pundi yang didapatkan turun dibanding kala harga tes PCR masih jutaan.

Tapi seperti kata pepatah, banyak jalan menuju roma, publik berasumsi Luhut berhasil menyelamatkan bisnis tes PCR miliknya dengan membuat kebijakan pemberlakuan PCR di moda transportasi. 

Setelah dipikir-pikir, tidakkah kita seperti berada di satu film dan terkuaknya Luhut sebagai pebisnis PCR merupakan plot twist dari film tersebut? Dia yang bikin kebijakan, ternyata dia juga yang jualan. Hmm, semoga saja itu hanya benar kabar burung. Pertanyaannya satu, jika benar adanya. Apa pendapatmu?

Ikuti tulisan menarik Aisyah Hetra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler