1 Juta Barel: Impian ESDM yang Tak Kunjung Nyata

Rabu, 2 November 2022 18:49 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sayangnya, sektor hulu minyak dan gas bumi Indonesia sedang merosot! Hingga 30 September 2022, lifting minyak hanya mencapai 610.100 barel per hari.

Indonesia kini sedang memiliki tantangan dan fokus kerja yang cukup banyak. Selain sedang transisi energi, kini Indonesia kekurangan akan kebutuhan minyak. Sayangnya, sektor hulu minyak dan gas bumi Indonesia sedang merosot! Menurut data berbagai sumber, hingga 30 September 2022, lifting minyak hanya mencapai 610.100 barel per hari. Capaian ini masih di bawah target APBN 2022 yakni 703.000 per hari. Padahal, Indonesia memiliki target menuju produksi 1 juta barel per hari pada 2030.

Lalu, apa yang menjadi masalah dari tidak tercapainya mimpi 1 juta barel tersebut? Mari kita bedah satu per satu di bawah ini. Kalau kamu doyan pembahasan energi, yuk, simak!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

1. Masalah Teknis dan Sumur yang Sudah Berusia Tua

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memaparkan, turunnya lifting karena masalah operasional. Salah satunya longsor di wilayah kerja ExxonMobil Cepu Ltd di Bojonegoro, Jawa Timur, yang mengakibatkan pipa minyak tidak layak dioperasikan.

Selain itu, sumur-sumur minyak di Indonesia usianya sudah tua dan melewati masa puncak produksinya. Sedangkan, sampai saat ini Indonesia belum menemukan cadangan besar selepas penemuan minyak di Blok Cepu di era 2000-an. 

Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, mengamini kendala dalam mewujudkan target 1 juta barel tersebut. Adanya unplanned shutdown, fasilitas di beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan penurunan produksi alamiah.

2. Teknologi EOR Sulit Diterapkan

Teknologi EOR (enhanced oil recovery/EOR) diklaim bisa menjadi metode pengurasan minyak tingkat lanjut serta meningkatkan produksi. Namun nyatanya, penerapan teknologi EOR ini sulit untuk dilakukan! Hal ini dikarenakan EOR butuh investasi yang tidak sedikit. Keekonomian minyak, bergantung pada kondisi di lapangan, menjadi penting sebelum metode tersebut diterapkan.

Indonesian Petroleum Association (IPA) menjelaskan, selain sulit diterapkan, teknologi EOR butuh waktu yang lama. Hal ini dinyatakan oleh Vice President IPA, bahwa penggunaan EOR membutuhkan proses perencanaan, studi, pencocokan metode dengan karakter sumur minyak dan pengembangan.

Menurutnya, ketika zat kimia EOR disuntikkan ke sumur minyak, produksi tidak secara otomatis langsung meningkat. Sebab, harus menunggu reaksi kimia agar minyak tertangkap dan bisa keluar sumur. 

“Ketika kamu inject tidak akan langsung produksi. Itu perlu waktu. Ada proses dalam tanah agar reaksi kimia supaya minyak terperangkap,” jelasnya. 

3. Cadangan Minyak yang Tidak Segera Dieksplorasi

Teknologi canggih EOR memang sudah dicanangkan, namun apa artinya jika metode tersebut tidak dibarengi dengan eksplorasi lanjut terhadap penemuan cadangan baru?

Dikutip Kompas, pemerintah menyampaikan bahwa sumber daya migas Indonesia masih besar. Hal ini ditandai dengan ditemukannya 74 cekungan hidrokarbon di Indonesia yang belum diteliti. Cekungan tersebut banyak ditemukan di wilayah timur Indonesia dan perairan dalam. Namun, temuan cekungan tersebut tak segera dieksplorasi. Apalagi tahap tersebut butuh sumber daya besar seperti teknologi, riset, dan waktu yang lama mengingat jumlah cekungan lebih dari 70-an. 

Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, menjelaskan kalau target 1 juta barel mustahil terjadi jika kejelasan dari detail program kerjanya belum ada. Salah satunya, lapangan mana saja yang akan jadi target produksi, kapan waktu dieksplorasi, dan siapa yang akan merealisasikan. 

Senada, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, target 1 juta barel susah dicapai tanpa adanya temuan cadangan yang besar. 

4. Iklim Investasi yang Tidak Kondusif

Tak cukup eksplorasi, insentif fiskal dan nonfiskal harus berjalan pula untuk mendongkrak minat investasi hulu migas di Indonesia. Skema bagi hasil yang fleksibel tergantung kondisi ekonomi lapangan diharapkan mampu menarik minat investor. Sebab, seperti kita ketahui, iklim investasi di Indonesia masih semrawut di mata investor gegara masalah perizinan dan birokrasi yang kompleks. 

Mengutip data Wood Mackenzie dan IHS Markit, dari skala 0 sampai 5, nilai Indonesia untuk daya tarik fiskal hulu migas hanya 2,4, ini masih di bawah rata-rata dunia yakni 3,3. Beberapa hal yang harus dibenahi adalah penyederhanaan birokrasi, kontrak bagi hasil yang fleksibel, insentif fiskal dan nonfiskal, serta perbaikan data migas. 

Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan kalau iklim investasi migas RI yang kurang kompetitif membuat target 1 juta barel susah tercapai.

“Untuk bisa mencapai 1 juta barel, secara kalkulasi memerlukan tambahan produksi dari lapangan-lapangan migas skala besar yang di dalam kenyataan, umumnya atau mayoritas dihasilkan dari investasi-investasi skala besar yang dilakukan oleh major international oil companies (IOCs),” terangnya.

Selain iklimnya tidak kondusif, banyaknya perizinan yang tumpang tindih dengan waktu penyelesaian tidak jelas, membuat investor begah ketika hendak berinvestasi di Indonesia.

Impian Indonesia untuk mencapai 1 juta barel per hari sepertinya masih menjadi angan dan mimpi jika masalah di atas tidak segera terselesaikan. Lalu, kita harus bagaimana agar impian tersebut tak sirna oleh waktu? Siapa yang sepatutnya mengambil sikap dan bertanggung jawab untuk menjemput impian itu?

Apalagi ketergantungan terhadap impor yang tinggi, tercatat, sejak 2004 Indonesia masih jadi negara pengimpor bersih minyak! Kebutuhan bahan bakar minyak untuk konsumsi dalam negeri yang mencapai 1,4 juta barel per hari sampai 1,5 juta barel per hari tak sanggup dipenuhi dalam negeri lagi. 

Seharusnya pemerintah terutama Kementerian ESDM yang menaungi sektor energi di Indonesia segera memperbaiki diri agar investor hulu migas berminat investasi di Indonesia. Bukan hanya menyatakan minatnya, namun benar-benar ingin merealisasikannya. Walau kini Indonesia sedang melakukan transisi ke energi baru terbarukan (EBT), tapi tak perlu menafikan bahwa Indonesia masih butuh minyak. Kementerian ESDM, apakah Anda mengetahui pupusnya impian target 1 juta barel tersebut?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Aisyah Hetra

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler