x

Foto menggambarkan seorang ibu mengasuh anak

Iklan

Eko Hartono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 10 November 2021 07:03 WIB

Ibu

cerita pendek yang mengisahkan ibu yang bikin ulah dan membuat anak-anaknya kewalahan mengurusnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

           Ibu sudah tertidur di atas ranjang. Wajahnya tampak pias seperti kapas. Matanya terpejam. Garis-garis keriput tergambar jelas di pipinya. Ibu memang sudah tua. Sudah saatnya beristirahat. Tapi entah, energi apa yang tersimpan dalam dirinya sehingga ia tidak pernah bisa diam. Mungkin tak ada masalah jika energi itu disalurkan untuk kegiatan positif seperti; memelihara bunga, menyulam, menata taman, memasak, atau lainnya yang biasa dilakukan kaum ibu.

            Tapi tidak, Ibu memilih kegiatan yang tak biasa dan cukup aneh. Ibu suka mengukur jalan, maksudnya berjalan tak tentu tujuan. Selain itu suka mengumpulkan barang-barang bekas dan dibawa ke rumah. Bikin rumah jadi kotor dan sumpek. Barang-barang bekas itu cuma ditumpuk saja di sudut ruangan, tidak diapa-apakan. Dijual pun tidak. Jika dibuang oleh anak atau cucunya malah marah-marah. Semua jadi bingung dan pusing menghadapi ulah Ibu.

            “Bagaimana, Mas?” tanya Lina ketika Rustam, suaminya, keluar dari kamar setelah mememberi Ibu dengan obat tidur.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            “Ibu sudah tidur tenang. Biarkan dia istirahat,” jawab Rustam seraya beranjak menuju ke ruang depan.

            Sejenak Lina mengintip ibunya dari balik pintu. Ada perasaan sedih dan prihatin menggetarkan dadanya. Dalam keadaan tidur Ibu menyiratkan sosok yang tenang dan lembut. Dan sejatinya itulah kepribadiannya selama ini. Namun entah, sejak kematian Ayah tiga tahun silam perangainya banyak berubah. Ibu jadi sangat sensitif, mudah marah, dan suka semaunya sendiri. Apa saja yang dilakukan orang-orang didekatnya selalu tak berkenan baginya.

            Lina yang hidup serumah dengan Ibu jadi kewalahan menghadapinya. Jika Ibu sudah punya kemauan tak bisa disanggah atau dicegah. Apa yang diminta harus dipenuhi saat itu juga. Pernah dia minta dibuatkan jus nanas. Karena di kulkas tidak ada buah nanas, Lina mesti ke pasar dulu untuk membeli. Mungkin karena kelamaan pergi ke pasar, Ibu marah-marah. Dia membanting gelas. Giliran sudah dibuatkan, malah tidak diminum.

            Lina sebenarnya sudah cukup sabar menghadapi kelakuan Ibu. Tapi kali ini dia tak bisa menahan diri ketika Ibu bikin keributan di warung Mak Sanimah. Ibu mengambil makanan dan bilang sudah membayar, sementara Mak Sanimah merasa tak menerima uang. Ibu ngotot dan malah mengatai-katai pemilik warung. Betapa malu Lina. Dibantu suaminya Lina menyeret Ibu kembali ke rumah. 

            Lina lalu menghubungi saudara-saudaranya yang lain untuk membicarakan masalah Ibu. Lina tidak bisa sendirian mengatasinya. Ketiga kakak Lina kemudian datang ke rumah. Dan sekarang mereka sedang berkumpul di ruang depan. Mas Jalal, Mbak Retno, dan Mas Dipo. Ketiganya ikut prihatin dengan kondisi Ibu. 

            “Sepertinya Ibu harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa,” cetus Jalal melontarkan sebuah usulan.

            Lina yang baru saja memasuki ruang depan segera menyahut, “Jangan, Mas! Ibu jangan dimasukkan ke rumah sakit jiwa!”

            “Kenapa? Kelakuan Ibu sudah memperlihatkan kalau beliau tidak seperti orang normal lagi.”

            “Tapi Ibu tidak gila, Mas?”

            “Ibu memang tidak gila, Ibu hanya mengalami gangguan jiwa. Untuk itu dia harus diobatkan.”

            “Apa yang dikatakan Mas Jalal betul, Lin!” Retno setuju dengan usul kakak tertua. “Kelakuan yang ditunjukkan Ibu sudah seperti orang tidak waras. Aku punya tetangga yang kelakuannya mirip Ibu. Suka jalan ke mana-mana tanpa jelas tujuan, memunguti barang-barang bekas di jalan, dan suka ngomel sendiri. Ketika diperiksakan ke dokter ternyata dia mengalami gangguan jiwa!”

            “Kupikir Ibu tidak mengalami gangguan jiwa, Mbak. Ibu mungkin hanya pikun. Dan itu tidak perlu harus ke rumah sakit jiwa!” Lina mencoba membantah.

            “Kalau orang pikun bawaannya cuma diam dan suka lupa, tapi Ibu lebih dari pikun, Lin. Ibu tidak bisa diam dan suka bikin ulah di luar akal sehat!”

            “Sudahlah, Lin! Niat kita memasukkan Ibu ke rumah sakit jiwa kan baik, biar Ibu bisa sehat dan normal kembali seperti sedia kala,” kata Dipo ikut memberikan dukungan pada pendapat saudara-saudaranya yang lain.

            “Tapi, Mas…?” Lina ingin menyanggah, tapi lidahnya terasa kelu.

            “Semua ini demi kebaikan keluargamu juga, Lin! Apa kamu nggak kasihan sama suami dan anak-anakmu? Gara-gara ulah Ibu, Rustam sampai harus terganggu pekerjaannya karena mengurusi Ibu. Anak-anakmu juga tidak nyaman tinggal di rumah karena sering diomeli Ibu. Sementara kamu sendiri tidak bisa hidup tenang karena saban hari dapat laporan dari tetangga atas ulah Ibu yang tidak bener!”

            Lina tercenung. Apa yang dikatakan kakaknya itu memang kenyataan. Akibat kelakuan Ibu yang tidak normal itu kehidupan keluarganya jadi ikut terganggu. Rustam berkali-kali menutup tokonya, karena mesti mencari Ibu yang kabur dari rumah. Lina sendiri sering minta ijin dari sekolah tempatnya mengajar karena dilapori ibunya bikin ulah di rumah. Sementara Dedi dan Dini hampir saban hari mengeluh tentang sikap neneknya yang mengesalkan.

            Tapi, mestikah memasukkan Ibu ke rumah sakit jiwa sebagai jalan keluar? Pertanyaan itu menderas laksana anak panah menancap jantung Lina. Tak pernah terlintas dalam pikirannya apalagi membayangkan Ibunya berada di ruang perawatan sakit jiwa. Lina tak yakin ibunya sudah gila!

            “Kamu tak usah khawatir masalah biaya, nanti kita akan menanggungnya bersama-sama. Bukan begitu, Retno, Dipo?” ujar Jalal seraya menoleh kepada dua saudaranya yang lain.

            Retno dan Dipo mengangguk berbarengan.

             “Kalau Ibu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, nanti pandangan orang seakan Ibu kita tidak waras,” ucap Lina lirih.

            “Kalau kenyataannya begitu, apa mau dikata!” sahut Retno.

            “Tidak, Mbak! Ibu kita tidak sakit jiwa. Ibu masih waras. Dia hanya butuh perhatian kita!”

            “Sudah tak kurang kita memberikan perhatian kepada Ibu, Lin. Segala kebutuhan Ibu telah kita cukupi. Makanan, pakaian, perhiasan, plesiran, dan apa saja keinginannya sudah kita penuhi. Ibarat kata Ibu tinggal duduk istirahat dan menikmati hari tua dengan tenang!”

            “Benar apa yang dikatakan Mbak Retno, Lin!” Dipo menyela pembicaraan. “Sebagai anak kita tak kurang menyenangkan Ibu. Dibanding ibu-ibu yang lain, Ibu kita lebih terjamin kehidupannya. Ibu mestinya bersyukur dan bisa menikmati hari tuanya dengan bahagia. Tak perlu susah payah bekerja dan mengurus dirinya!” tegasnya.

            “Kalau menurutmu Ibu tidak harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa, lalu ke mana lagi?” Jalal ganti melontarkan pertanyaan kepada Lina.

            Wanita tigapuluhan tahun itu menggigit bibirnya. Sebenarnya berat terasa baginya mengungkapkan hal ini. Tapi masalah Ibu harus segera diatasi sebelum timbul lagi masalah baru yang lebih merepotkan.

            “Kita titipkan Ibu ke Panti Jompo saja. Mungkin dengan berbaur bersama orang-orang yang sama-sama sudah sepuh hidup Ibu akan lebih tenang. Ibu punya teman yang bisa diajak ngobrol dan berbagi. Selama ini Ibu mungkin sangat kesepian di rumah, karena aku, suamiku, dan anak-anak jarang berada di rumah, sibuk dengan kegiatan masing-masing,” tutur Lina membuat usul lain.

            Semua yang mendengar usulnya saling berpandangan. Sejurus kemudian mengangguk, mengamini pendapatnya. Termasuk juga Rustam. Sementara Lina justru merasa sesak dadanya setelah mengusulkan hal ini. Ada rasa sesal menyelinap, tapi segera disingkirkannya. Karena ia pikir, usul ini lebih baik dan terasa manusiawi dibanding memasukkan Ibu ke rumah sakit jiwa. Lina punya sedikit harapan jika Ibu dimasukkan ke Panti Jompo bisa merubah tabiatnya.

***

            Sudah berjalan hampir satu bulan Ibu ditempatkan di panti Jompo. Suasana di rumah Lina jadi berubah. Tak ada lagi suara teriakan mengomel dan tidak ada lagi suara benda pecah belah dibanting. Keadaan dalam rumah juga lebih rapi dan bersih. Tak ada lagi barang-barang bekas yang berserakan di lantai. Kondisi ini tentu saja membuat lega suami dan anak-anak Lina. Sementara para tetangga juga merasa tenang karena tak ada Ibu yang suka bikin onar.

            Tapi tidak demikian dengan Lina. Entah kenapa, sejak tidak ada Ibu di rumah ada yang tercerabut dari dalam hatinya. Ada yang kosong dan hampa. Bahkan lebih dari itu, ada rasa bersalah menggigit-gigit batinnya. Tindakannya menitipkan Ibu ke panti Jompo seakan sebuah dosa. Lina merasa dirinya durhaka kepada sang Ibu. Terlebih ketika mendapat laporan dari petugas Panti bahwa Ibu kerap mengamuk dan menangis minta pulang pada hari-hari awal berada di Panti.

            Lina hampir-hampir akan berangkat menjemput Ibu dan membawanya kembali ke rumah, tapi ditahan oleh suaminya. Petugas panti juga bilang bahwa apa yang dilakukan Ibu hal wajar dialami orang yang baru pertama kali tinggal di Panti Jompo. Nanti lama-lama kalau sudah terbiasa dengan kehidupan di Panti akan bisa menyesuaikan diri dengan sendirinya. Para penghuni Panti Jompo diberikan banyak kegiatan positif seperti olahraga, kerajinan tangan, pengajian, membaca, dan lain-lain sehingga mereka terhibur dan tidak kesepian.

            “Jika kamu bawa Ibu kembali ke rumah, apakah kamu bisa mengatasi bila nanti Ibu bikin ulah lagi?” Demikian kata Rustam mengingatkan.

            Lina terdiam. Ia tak jadi membawa Ibu pulang. Ia lalu mencoba bersabar. Seperti yang dikatakan petugas Panti, mungkin butuh waktu bagi Ibu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Lina mencoba meyakini hal ini. Tapi entah, semakin ia memikirkan Ibu bertambah rasa sesak dalam dadanya. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengusik hatinya, benarkah tindakannya menitipkan Ibu di Panti Jompo? Pantaskah? Apakah ini bukan wujud halus ketidaksukaannya pada Ibu? Apakah…?

            Perasaan Lina jadi tidak tenang dan terus kepikiran Ibu.

            Suatu hari ia berkunjung ke Panti Jompo untuk menengok Ibu. Kondisi Ibu ternyata baik-baik saja dan sehat. Kata petugas panti, Ibu sudah tidak mengamuk dan menangis lagi. Beliau juga sudah mulai mengikuti beberapa kegiatan di dalam Panti. Hanya saja sikap Ibu berubah pendiam dan suka menyendiri. Ketika Lina datang Ibu hanya diam saja. Dia tidak mau bicara. Tidak mau menyentuh makanan yang dibawa Lina dari rumah. Bahkan Ibu menampakkan raut masam dan menatapnya dengan sorot tidak suka.

            Setiba di rumah Lina masih terus memikirkan Ibu. Sikap Ibu yang tiba-tiba berubah pendiam, tak menjawab pertanyaannya, dan tatapan matanya yang terasa menusuk jantung. Lina merasa Ibu sedang mengecam dan menggugatnya. Rasa bersalah dan berdosa mencabik-cabik batin Lina. Perasaan ini terus berkulminasi hingga mencapai puncak ketika keesokan harinya Lina mendapat kabar bahwa Ibu kabur dari Panti. Petugas mengira Ibu kembali ke rumah, tapi tak ada satupun orang di rumah mengetahui keberadaan Ibu.

            Tanpa membuang waktu lagi Lina mengajak suaminya mencari Ibu. Dengan mengendarai mobil, Lina bersama suaminya menelusuri sudut-sudut kota. Perasaan panik, cemas, dan takut berkelindan dalam hatinya. Tanpa sadar air matanya menitik membasahi pipi. Jika sampai terjadi sesuatu pada Ibu, sungguh Lina tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Lina sadar bahwa semua ini adalah salahnya. Ia yang mencetuskan gagasan memasukkan Ibu ke Panti Jompo.

            Sepanjang perjalanan mencari Ibu, segala kenangan masa lalu tentang Ibu berkelebatan dalam benaknya. Lina masih ingat, Ibu yang lembut dan penyayang tak pernah lalai menjaganya. Jika dirinya jatuh sakit dengan setia Ibu menungguinya di pembaringan, memeluknya dengan hangat seakan ingin menyusupkan energi ke dalam dirinya sehingga ketika Lina kembali sehat ia merasa bukan obat yang telah menyembuhkannya, melainkan pelukan hangat Ibu.

            Bukan semata dirinya anak bungsu perhatian dan kasih sayang Ibu banyak tercurah padanya. Lina yakin, saudara-saudaranya yang lain pernah merasakan sentuhan sama dari Ibu saat masih kecil. Satu hal yang sangat membekas dalam ingatan Lina, Ibu tak pernah mengeluh walaupun ia sering rewel, merajuk, merepotkan dengan tingkah lakunya yang manja dan kolokan. Bahkan Ibu masih sempat-sempatnya mencucikan pakaiannya ketika ia sudah beranjak remaja. Lina tak bisa menghitung lagi berapa banyak kebaikan yang telah Ibu berikan dengan segenap ketulusan dan keikhlasan hatinya.

            Dan sekarang, ketika Ibu sudah tua, balasan apa yang telah diberikannya sebagai anak?  

***

            Setelah seharian berkeliling kota, akhirnya Lina berhasil menemukan Ibu di sudut jalan dekat sebuah tempat sampah. Ibu terlihat sangat kotor, kusut, dan masai. Wanita tua itu sedang mengorek sisa-sisa makanan, mungkin sangat kelaparan. Mata Lina nanar memandangnya. Ia segera menghambur, menarik tangan ibunya untuk diajak pulang. Tapi wanita tua itu memberontak dan menolak. Sepertinya ia tak ingin dikembalikan ke Panti Jompo.

            “Ibu jangan takut. Aku tidak akan membawa Ibu ke Panti Jompo. Aku akan membawa Ibu pulang ke rumah!” ujar Lina meyakinkan.

            Sejenak Ibu menatapnya. Tersirat ketidakpercayaan dalam sorot matanya. Dengan suara lirih beliau berkata, “Apakah aku masih punya keluarga?”

            Pertanyaan itu terasa menohok keras ulu hati Lina. Banjir air mata menderas di pipinya. Lina lalu memeluk ibunya erat. Ia sadar selama ini telah bertindak tidak semestinya pada Ibu. Ia dan saudara-saudaranya beranggapan seakan Ibu mereka adalah beban. Ulah dan kelakuan Ibu dianggap memalukan sehingga merasa perlu diasingkan ke Panti Jompo. Sungguh, itu merupakan pemikiran sempit dan picik seorang anak.

            Apakah tak pernah terpikirkan bila dulu saat masih kecil ulah dan kelakuan mereka lebih merepotkan? Tapi Ibu tak menganggapnya sebagai beban!

            “Maafkan aku, Ibu! Maafkan dosa anakmu yang telah durhaka ini!” Lina mengutarakan rasa penyesalannya yang dalam.

            Lina berjanji, apa pun keadaannya ia akan merawat dan mengurus sendiri Ibunya, sebagaimana dulu Ibu pernah mengurus dan merawatnya hingga dewasa!

Wonogiri, 9 November 2021 

Ikuti tulisan menarik Eko Hartono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB