x

Iklan

Ade Mulyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Juli 2020

Rabu, 10 November 2021 06:07 WIB

Mayat Gadis Kecil di Bawah Poster Calon Presiden


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Petang itu langit Kota Jakarta diguyur hujan dengan lebatnya. Kabut tebal turun menutupi pandangan yang diikuti embusan angin kencang. Para pejalan kaki di trotoar dibuat kocar-kacir tunggang langgang mencari tempat perlindungan.

Di bawah pohon besar yang terpampang poster berukuran jumbo bergambar salah satu peserta calon presiden, tampak sesosok tubuh mungil berdiri menantang deras hujan. Rambutnya sepanjang bahu basah kuyup. Tubuhnya menggigil. Kakinya bergetar. Sandal jepit yang dipakainya tenggelam oleh kubangan air setinggi mata kaki. Dari mulutnya terdengar bunyi gigi yang beradu. Sementara kaos oblong kucel tidak cukup menjadi pelindung bagi badannya yang kurus.

Setelah mematung beberapa saat di bawah pohon, gadis kecil itu menengok kaleng kecil yang dipeluknya. Dari dalam kaleng itu tampak beberapa logam koin lima ratus perak. Tidak puas melihat jeripayahnya yang menghabiskan separuh harinya, gadis kecil itu memberanikan diri menerjang hujan berjalan ke bahu jalan raya sambil memandangi lampu merah yang menyala.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bibirnya yang mungil bergetar saat mengecupkan sekuntum kata sambil tangannya menjulurkan kaleng kecil berisi air hujan, “Om, Tante, aku belum makan.”

Suara lirih yang keluar dari mulut kecilnya kalah nyaring dari suara klakson, deru mesin, dan gelegar suara hujan. Sialnya mobil dan motor melewati dirinya tanpa meninggalkan roti, uang, ataupun kata. Setelah putus asa gadis kecil itu duduk meringkuk di bawah pohon. Dengan cepat ia mendekap kakinya untuk menghalau hawa dingin yang menyergap tubuhnya.

 Di seberang jalan terdapat rumah makan cepat saji yang ramai dengan suara ciuman gelas dan sendok. Di dalam rumah makan itu orang-orang sibuk memenuhi mulutnya dengan chick & cheese, chicken sampler, crispy baked, bread sticks, cinnamon bread sticks, taro milk, peach tea, dan segala aneka makanan mewah lainnya. Dari jendela kaca yang tembus pandang terlihat seorang gadis kecil menitikkan air matanya sambil memegangi perutnya yang panas.

Kurang lebih lima meter dari rumah makan cepat saji, berdiri rumah gedong menjulang seperti gunung bagi mata anak kecil yang menatapnya. Rumah itu seluruhnya berwarna putih, seakan-akan melambangkan kesucian dan kejayaan pemiliknya. Tidak beberapa lama gerbang pintunya terbuka dan Pajero berwarna putih mengkilap berjalan pelan. Dari kaca pintu belakang mobil yang sedikit terbuka terlihat dua anak gadis kecil sedang sibuk; yang satu bermain gadget, satunya lagi sibuk memasukkan hamburger ke dalam mulutnya. Kedua gadis itu mengenakan jaket, dan rambutnya ditutupi topi bulu ala Rusia: ushanka. Sebelum Pajero putih itu meringkik seperti kuda dan hilang ditelan jalan raya, dari sepasang mata dua gadis itu terlihat sesosok gadis kecil yang seumuran dengannya sedang memeluk lututnya. Jelas gadis kecil itu kedinginan. Sesekali jari mungilnya sibuk menyeka air matanya.

“Ayah, apakah tadi melihat gadis kecil di bawah pohon?” tanya gadis kecil yang sedang sibuk menelan hamburger ke dalam perutnya hingga suara tidak begitu jelas.

“Ya, Ayah melihatnya,” jawab ayahnya sambil membolak-balikan majalah otomotif.

“Sepertinya di dapur masih ada banyak makanan.”

“Nak, gadis kecil yang kau lihat tiga menit yang lalu, bukan satu-satunya gadis kecil yang bermandi air hujan di malam hari. Kau tahu artinya?”

Si anak menggelengkan kepala.

“Sekarang dengar baik-baik. Sekalipun rumah, mobil, dan bajumu dijual untuk membeli makanan demi mengenyangkan perut gadis kecil itu, usaha itu tidak akan pernah cukup. Bahkan hanya untuk sekali makan sore.”

“Apakah gadis kecil macam itu begitu banyak?”

“Di Kota Jakarta jumlahnya tidak terhitung. Sebab, setiap tahun selalu bertambah. Sialnya pemerintah tidak mengurusnya. Jakarta bukan kota yang ramah, Nak! Macam tayangan animal yang sering kamu tonton.”

“Maksudnya?”

“Siapa yang kuat akan berkuasa. Yang lemah akan dimakan.”

“Macam singa memakan zebra?”

“Ya!”

Mendengar penjelasan ayahnya, gadis itu diam seribu bahasa sambil memandangi hamburger yang tinggal satu kali suapan lagi. Pemandangan seperti itu acap kali menjadi pengalaman berharga bagi seorang anak kecil yang sudah terbiasa tidur dengan perut kenyang.

Namun, tidak bagi orang yang sedang menderita seribu satu siksaan. Bahkan jalannya jarum jam seakan-akan begitu sangat lambat seperti mobil yang terjebak macet. Suasana itu yang dirasakan oleh gadis kecil di bawah pohon. Ia sedang meratapi nasibnya yang malang. Itulah pengalaman eksistensial penderitaan yang dialami gadis kecil itu.

Dalam hatinya gadis kecil itu ingin pulang, tapi percuma. Karena di rumahnya pun akan menemui keadaan sama dengan deritanya yang sedang dialaminya saat ini. Gadis kecil itu akan tetap kedinginan dan kehujanan. Mengingat seng atap rumahnya sudah banyak yang bolong. Derita itu bukanlah alasan tunggal kenapa gadis kecil itu tetap teguh dan bertahan di bawah pohon. Tidak lain dikarenakan hidung kecilnya paling tidak kuat mencium bau busuk yang menyengat saat hujan turun. Tidak jauh dari rumahnya, kira-kira hanya berjarak lima meter terdapat sungai yang dipenuhi berbagai macam sampah. Jika hujan turun maka sungai itu akan meluap naik ke permukaan. Tidak jarang air sungai yang cokelat itu masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam.

Terlebih ayahnya juga pasti belum pulang. Jika hujan begini, ayah dan adiknya akan tidur di dalam gerobak menunggu hujan reda.

Malam semakin tua meninggi dan sunyi.

Rumah makan cepat saji sudah sepi, gelap, dan terkunci. Motor dan mobil tinggal beberapa saja yang melintas. Langit Kota Jakarta masih gerimis gemercik seperti melagu saat gadis kecil itu menatap kakinya dan membiarkan air matanya tumpah.

“Mama sedang apa di atas langit sana? Apakah Mama melihatku? Aku kangen Mama,” katanya dengan suara bergetar dibarengi deras air matanya yang bercampur air hujan. “Aku kangen masakan Mama. Aku kangen tidur di pelukanmu, Ma,” katanya lagi.

Setengah jam telah berlalu dan gadis kecil itu telah memejamkan matanya untuk menahan air matanya yang seperti laut tak pernah surut. Tiba-tiba seberkas cahaya turun dari langit menjelma sesosok peri bersayap kemudian mendekati gadis kecil itu dan mengelus rambutnya.

“Anak Mama yang manis tidak boleh menangis, anak Mama harus kuat.” Suara lembut yang dulu setiap hari didengarnya itu membangunkan gadis kecil itu. Setelah membuka matanya dengan perlahan, kemudian mengucek matanya, gadis kecil itu kaget melihat mamanya berdiri tepat di depan keningnya.

“Mama...,” teriaknya girang. “Aku kangen Mama,” katanya sambil memeluknya.

“Mama juga kangen kamu sayang. Sebentar lagi hujan reda, kamu harus cepat pulang. Kasihan adikmu sudah menunggu di rumah.”

“Aku mau ikut Mama,” ujar gadis itu sambil menolak melepaskan dirinya dari pelukan Mamanya.

“Tidak bisa sayang. Sekarang Mama tinggal di surga.”

“Apakah di surga banyak makanan?”

“Segalanya tersedia. Semua yang diinginkan ada, sayang.”

“Kalau begitu aku mau ikut ke surga. Di sini aku sering kelaparan, Ma.”

Sesosok peri bersayap yang diketahui Mamanya itu hanya tersenyum mendengar perkataan anaknya sebelum membimbing tangannya dan mengepakkan kedua sayapnya terbang ke langit.

***

Esok harinya saat mentari terbit kembali di ufuk timur langit Kota Jakarta, banyak orang berkerumun di pinggir jalan saling pandang dan bertanya satu sama lainnya. Padahal, pintu rumah makan cepat saji masih terkunci. Menit demi menit bertukar, semakin banyak saja orang yang memenuhi tepi jalan raya tidak jauh dari pohon besar. Keadaan itu membuat petugas kepolisian sibuk melakukan pekerjaannya.

“Ada apa Pak kenapa ramai begini,” tanya seorang pengendara mobil Pajero yang diliputi penasaran. Di lihat dari pakaiannya yang rapi sepertinya ia akan berangkat ke kantor tempat kerjanya.

“Di temukan sesosok tubuh tidak berjiwa di bawah poster calon presiden,” jawab orang itu dengan bahasa yang nyastra. Ia terlihat sibuk memotret objek yang menjadi medan magnet pagi itu. Sesekali ia membetulkan kalung yang membelit lehernya—bertuliskan empat huruf: PERS.

Pengemudi itu tertegun sambil mengingat kejadian semalam. “Gadis kecil yang ditanyakan anaknya tidak disangka akan mengalami nasib tragis,” gumamnya dalam hati. Matanya merah menyesali keangkuhan hatinya yang tidak peduli dengan derita manusia lainnya.

“Pagi ini masyarakat dikagetkan oleh mayat gadis kecil yang sedang meringkuk memeluk kakinya. Gadis itu tak meninggalkan apa pun kecuali hanya sebuah kaleng berisi air hujan. Kini pihak kepolisian sedang melakukan pemeriksaan,” kata seorang perempuan yang sedang menatap kamera.

Saat matahari tepat di atas ubun-ubun kepala, berita kematian gadis kecil yang hanya meninggalkan identitas berupa kaleng kecil berisi air hujan sudah memenuhi layar kaca. Sejumlah pejabat negara, politisi, pendeta, kyai, ulama, artis, dan para pengusaha hanya menggeleng-gelengkan kepala setelah melihat berita di televisi atas apa yang menimpa gadis kecil malang di Kota Jakarta .

 

Ikuti tulisan menarik Ade Mulyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB