Cerpen: Katakan Dengan Isyarat

Rabu, 10 November 2021 06:08 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Orang-orang bahkan sibuk memelajari bahasa asing, sedangkan kau kenapa malah tertarik dengan bahasa isyarat?” Aku terdiam beberapa saat, aku bahkan tidak punya alasan khusus mengapa aku begitu tertarik hingga mempelajarinya sampai saat ini. Tanganku bergerak mengisyaratkan, “Karena aku punya kau sebagai teman tuli.” Dia menyahut dengan jarinya, “Hanya itu?” Aku mengangguk.

 

“Orang-orang bahkan sibuk memelajari bahasa asing, sedangkan kau kenapa malah tertarik dengan bahasa isyarat?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku terdiam beberapa saat, aku bahkan tidak punya alasan khusus mengapa aku begitu tertarik hingga mempelajarinya sampai saat ini. Tanganku bergerak mengisyaratkan, “Karena aku punya kau sebagai teman tuli.”

Dia menyahut dengan jarinya, “Hanya itu?”

Aku mengangguk.

***

Semua ini berawal saat aku telah resmi menjadi mahasiswa baru di kampusku saat ini. Aku yang memiliki kepribadian ekstrovert membuatku mudah untuk mengenal teman-teman baruku. Kecuali dia, seorang laki-laki muda tampan yang suka menyendiri dan enggan berbaur dengan teman sekelasnya. Aku hanya mengenalnya dari papan nama yang ia kenakan saat ospek, namanya Adhie.

            Bukan Vina namanya kalau tidak suka penasaran. Malamnya, saat kami semua sudah masuk dalam grup kelas di WhatsApp, aku menemukan nomornya dan kukirim pesan pribadi pada Adhie, kebetulan saat itu dia tengah online. Buru-buru aku mengetikkan pesan:

            ‘Hi, ini aku Vina. Salam kenal.’

            Ohh! Dia langsung membacanya, tiba-tiba aku jadi cemas sendiri. Ting! Gawaikupun berbunyi.

            ‘Aku Adhie, salam kenal juga’

            Mendadak diriku diserbu keraguan kembali ketika akan menanyakan itu, aku berpikir sejenak, namun rasa penasaranku membuatku nekat tetap melakukannya.

            ‘Maaf kalau aku bertanya begini, tapi aku hanya ingin tahu kamu kenapa? Kulihat kamu sering menyendiri, apa ada masalah?’

            Dia mengetikkan balasan, ‘Tidak ada, aku hanya malas berbicara.’

            ‘Kenapa?’

            ‘Nanti kamu akan tahu sendiri, Vin.”

***

Sejak berbalas pesan dengan Adhie kemarin, jujur saja itu sama sekali tak menjawab rasa penasaranku. Di kelas dia tetap jadi pendiam, enggan berbaur, hanya saja dia begitu cepat menanggapi saat aku mengirim pesan teks padanya. Aku menjadi bingung, di sisi lain aku juga tak ingin ambil pusing. Ahh..ya sudahlah.

“Woy neng, bayar dulu!” teriak akang bakso memanggilku.

Aku menepuk dahiku. Astaga! Gara-gara memikirkannya aku jadi lupa untuk membayar semangkuk bakso yang sudah kuhabiskan ini. Aku mengacak isi tasku, dan bodohnya aku malah meninggalkan dompetku di kos. Tubuhku mendadak dingin, melirik sana-sini barangkali melihat temanku untuk meminjam uang, tiba-tiba sosok Adhie itu datang dan menyodorkan uang padaku. Aku berterima kasih padanya, namun ia malah segera pergi. Dasar cuek sekali!.

Aku lalu kembali ke kelas, syukurlah dosennya belum datang. Tersisa satu bangku saja dan itu di samping Adhie. Aku menghela napas, kemudian duduk di sampingnya begitu canggung. Dosen kami akhirnya tiba, kegiatan perkuliahan berjalan seperti biasa, sampai ketika sang dosen menunjuk mahasiswanya secara acak untuk menjawab pertanyaannya, dan itu mengenai Adhie.

Adhie nampak sibuk menulis abjad begitu besar di kertas, sementara dosen kami sudah memanggilnya kembali, “Adhie, ayo jawab!”

Dia berdiri lalu menunjukkan kertas itu pada beliau. Dosen renta itupun kaget kemudian ikut berdiri seraya membuat gestur maaf. Ia menuliskan permintaan maafnya di papan tulis dan mengapresiasi jawaban Adhie.

            Teman-teman lainnya saling berpandangan, suasana menjadi lebih canggung. Aku meliriknya bersimpati, jadi inikah alasannya? Aku sungguh merasa menyesal baru mengetahui bahwa Adhie seorang tuna rungu.

            Seusai jam perkuliahan, aku mengejarnya. Dia terdiam, buru-buru aku mengetikkan sesuatu di gawaiku. “Maaf, aku tidak tahu kau seorang tunarungu. Aku sungguh menyesal. Mulai saat ini, kau bisa meminta bantuanku saat ingin berbicara.”

            Dia tersenyum, lantas mengetikkan sesuatu juga di gawainya. “Tidak apa-apa. Kau yakin ingin membantuku? Kau bahkan tidak bisa bahasa isyarat.”

            Aku terdiam, lagi-lagi Adhie membuatku kesal.

***

Selama di kelas, menurutku Adhie itu cerdas. Aku selalu suka argumennya. Namun, aku juga sangat tidak tahan ketika melihatnya ditunjuk dosen untuk menjawab soal, kemudian teman di sampingnya akan memberitahu, dia juga masih harus mengetikkan jawaban itu pada gawainya lalu temannya akan menyampaikan itu pada sang dosen. Hanya untuk berkomunikasi secara verbal saja prosesnya menjadi begitu lama dan ribet.

Sisi kemanusiaanku akhirnya tergerak melihat bagaimana kondisi keterbatasannya. Entah dorongan darimana, kini aku mulai mencari-cari video mengenal Bahasa Isyarat Indonesia –BISINDO. Aku mempelajarinya setiap ada waktu luang. Tangan, jari dan bibirku kini menjadi sangat aktif bergerak, beberapa kosakata telah kukuasai, aku sangat senang sekali.

Sore itu, ketika aku hendak pulang ke kos, aku berpapasan dengan Adhie. Aku menghentikan langkahnya. Adhie lantas menatapku. Aku menarik napas grogi, perlahan kedua tangan kurusku ini bergerak, jari dan pergerakan bibirku juga mengikuti. Aku mengisyaratkan, “Aku belajar bahasa isyarat. Apa kau mengerti yang kusampaikan?”

Dia mengangguk, tangannya bergerak membentuk centang yang mengisyaratkan bahwa apa yang kukatakan barusan itu benar. Aku tersenyum. Tanganku bergerak kembali untuk berujar, “Kau hendak pulang?”

Dia mengangguk lagi. Tangan dan jarinya bergerak, “Kau juga jalan kaki?”

Aku mengangguk, Adhie menyahut dengan jarinya, “Ayo pulang bersama.”

Kami berjalan beriringan, dia nampaknya sangat antusias padaku. Tangan beruratnya itu terus bergerak, kami saling berbicara dalam keheningan.

‘Kau belajar bahasa isyarat sendiri?’

 Aku mengangguk.

‘Darimana?’

‘Video Youtube

Dia tersenyum, tangannya bergerak lagi, “Orang-orang bahkan sibuk memelajari bahasa asing, sedangkan kau kenapa malah tertarik dengan bahasa isyarat?”

Aku mengerutkan alis, tanganku bergerak sambil kepalaku menggeleng. Aku menyampaikan, “Aku tidak mengerti, aku belum menguasai bahasa isyarat sepenuhnya.”

Dia buru-buru mengetikkan sesuatu di gawainya, lalu menunjukkan itu padaku.

Orang-orang bahkan sibuk memelajari bahasa asing, sedangkan kau kenapa malah tertarik dengan bahasa isyarat?’

Aku terdiam beberapa saat, aku bahkan tidak punya alasan khusus mengapa aku begitu tertarik hingga mempelajarinya sampai saat ini. Tanganku bergerak mengisyaratkan, “Karena aku punya kau sebagai teman tuli.”

Dia menyahut dengan jarinya, “Hanya itu?”

Aku mengangguk.

Sebelum kami berbelok menuju tempat tinggal masing-masing, Adhie mengisyaratkan padaku, “Vina, terima kasih, ya.”

***

Setelah komunikasi secara isyarat sore itu, kami jadi semakin lebih mengenal. Adhie banyak mengajariku menggunakan bisindo, akupun juga sangat antusias mempelajarinya. Dari yang aku lakukan, itu sangat membantu Adhie untuk jadi lebih terbuka. Kami sering duduk bersebelahan, lalu aku akan jadi perantara bagi Adhie dan orang lain dalam berkomunikasi. Jujur saja, ada banyak kebahagiaan saat aku bisa sedikit berbahasa isyarat sekaligus membantu teman-teman tuli seperti Adhie.

Sampai suatu ketika Adhie mengajakku untuk berinteraksi langsung dengan orang-orang di komunitasnya. Aku melihat sendiri bagaimana ia begitu bahagia ketika berbaur dengan sesamanya menggunakan bahasa isyarat. Teman-teman tuli juga dengan senang hati membantuku belajar bisindo, kini bukan hanya Adhie yang kukenal, melainkan banyak teman tuli lain di kampusku dan mereka semua sangat baik padaku. Aku jadi terharu.

Lama-kelamaan aku memutuskan bergabung menjadi anggota dalam komunitas tersebut. di sana, kemampuanku berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat semakin terasah. Aku semakin paham dan sadar akan pentingnya komunikasi menggunakan bahasa isyarat, meskipun aku sendiri tak memiliki saudara tuli, tapi ternyata bisindo tidak hanya ditujukan untuk itu, banyak manfaat lain yang kurasakan yakni, aku jadi semakin bersyukur atas karunia yang telah Tuhan berikan padaku. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka selamanya bisa hidup dalam kesunyian, tidak tahu bagaimana nikmatnya mendengarkan musik, dan kenikmatan lainnya yang hanya bisa dirasakan oleh teman dengar.

Aku turut prihatin mendengar kisah teman-teman tuli yang diperlakukan tidak semestinya. Harusnya kita sebagai manusia normal menghargai kekurangan mereka. Masalahnya, masyarakat kita kurang peduli terhadap komunikasi non verbal, alih-alih berinteraksi, mereka malah menghindari orang-orang seperti Adhie. Ini membuat teman-teman tuli sedih dan memilih untuk menutup diri dari dunia, padahal bisa jadi mereka memiliki potensi besar pada dunia jika mereka tahu bagaimana cara menempatkannya.

Pertemuaku dengan Adhie membuka sisi pemahamanku yang baru bahwa bahasa tidak harus disampaikan secara verbal, ada orang-orang di sekitar kita yang tidak bisa menerapkannya. Maka Bisindo menjadi solusi, namun kita enggan untuk mempelajarinya. Kemampuanku dalam berbahasa isyarat menyatukanku dengan relasi baru yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Kini aku tahu alasanku mengapa aku begitu bersemangat mempelajari bahasa isyarat ini.

“Adhie, aku tahu sekarang mengapa aku begitu tertarik dengan bahasa isyarat.”

“Memangnya kenapa?”

“Dengan bahasa isyarat, aku bisa merangkul teman-teman tuli agar merasa setara dengan teman dengar. Mereka juga saudara kita yang perlu diperhatikan pula. Menurutku, mempelajari bahasa asing memang penting, tapi dengan belajar bisindo, aku ikut berkontribusi untuk membantu teman-teman tuli agar bisa mendengar dalam dunia mereka yang hening. Bukankah itu sangat mulia?”

Adhie tersenyum, ia membelai pucuk kepalaku, lalu tangannya bergerak mengatakan, “Kau hebat!”

“Terima kasih sudah mengenalkanku pada duniamu, dhie..”

SELESAI

Bagikan Artikel Ini
img-content
Lala Amala

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Cerpen: Katakan Dengan Isyarat

Rabu, 10 November 2021 06:08 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler