x

by Lesly Juarez(unsplash.com)

Iklan

Heri Apriadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Kamis, 11 November 2021 13:43 WIB

Senyum 100 Dollar

Aku menyapamu setiap pagi, memintamu tersenyum padaku seperti biasanya. Tapi seperti biasa pula senyummu tetap saja mahal, "100 dollar" itu katamu, harga yang kau tawarkan untuk setiap garis lengkung sederhana yang aku minta darimu. Terlalu mahal, namun aku tak menyerah. Masih ada kali lain saat kau kadang-kadang begitu murah hati menawarkan senyummu begitu saja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku menyapamu setiap pagi, memintamu tersenyum padaku seperti biasanya. Tapi seperti biasa pula senyummu tetap saja mahal, "100 dollar," itu katamu, harga yang kau tawarkan untuk setiap garis lengkung sederhana yang aku minta darimu. Terlalu mahal, namun aku tak menyerah. Masih ada kali lain saat kau kadang-kadang begitu murah hati menawarkan senyummu begitu saja.

Hari-hariku berjalan biasa saja, jika tak ingin disebut membosankan. Bergelut dengan urusan administrasi dan urusan perkantoran yang itu-itu saja. Namun di sela-sela kebosananku kaulah pelarian yang sempurna ketika jenuhku memuncak. Sejenak bercanda denganmu (walaupun jarang sekali kau tanggapi secara “proporsional”) dapat membuat pikiranku lurus kembali. Namun dalam dosis berlebihan, jika diungkapkan dalam bahasa yang agak hiperbolis dan sedikit mengada-ngada, kau seperti madu sekaligus racun dalam satu paket yang dapat membuatku waras dan gila dalam waktu bersamaan.

Entah sejak kapan aku mulai mengganggumu (dan itu mengganggu hatiku juga). Perasaan ini berkembang dan mengembung seperti balon udara yang berisi helium, terus membesar, kemudian terbang ke udara dan tak tahu berhenti dimana. Dan kaupun tentu tahu tentang aku yang tergila-gila padamu dari kelakuanku yang terang-terangan mencari perhatianmu. Terlalu jelas, mungkin terlalu berlebihan atau kekanakan jika tak ingin disebut bodoh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kau begitu tenang, bergeming seperti telaga di tengah hutan. Namun sesekali pernah juga saraf tawamu bergetar begitu saja karena tingkahku. Aku tak perduli dengan sebutan aneh atau terdengar bodoh karena aku hanya ingin sejenak tertawa denganmu, lebih dekat denganmu, seperti musim gugur dan luruhnya dedaun di bulan September. Sesederhana itu.

Pada sore yang cerah, di pertengahan musim gugur ketiga pertemuan kita, di sudut ruangan aku menunggumu yang sedang berbenah. Lalu setelahnya kau berpamitan pada semua untuk pulang duluan. Tanpa kau sadari diam-diam aku mengikutimu dan kitapun berada dalam lift yang sama, berdua saja. Kita hanya diam. Aku tak banyak bicara (ini terasa seperti bukan aku yang biasa).

Entah kenapa, seperti ada kekakuan yang tak terpecahkan. Hingga bunyi "ding" terdengar, pintu lift terbuka dan aku pun berkata, "boleh ku antar pulang?"Kau menatapku sejenak. Ada tanda tanya di wajahmu dan jika benar-benar diperhatikan ada gerakan kecil di ujung bibirmu yang nyaris membuatnya melengkung, namun cepat tertahan sebelum aku dapat melihatnya. Tak ada kata "ya" atau "tidak" yang keluar dari mulutmu. Kau terus berjalan seolah tak perduli dan aku di sampingmu tetap mengikuti tanpa suara. Kita hanya berjalan dalam diam menikmati sore musim gugur yang hangat bersama pejalan kaki lainnya.

Mengimbangi langkahmu yang jenjang, pelan tapi pasti kita melewati cafe terbuka dimana orang-orang bersantai sejenak menghabiskan sore. Udara hangat membuat orang merasa betah berlama-lama di tempat terbuka. Ah, aku mencium aroma kopi.

Mengikutimu, mataku menatap ke seberang jalan. Ada sebuah taman yang kelihatan penuh warna. Taman itulah yang membuat orang sadar akan datangnya musim gugur. Siapa saja yang melewati jalan ini pasti akan menoleh untuk memandang ke taman itu, walaupun hanya sekilas. Yang paling mencolok dari tempat itu adalah warna daun tanamannya yang bewarna warni yang didominasi oleh pohon maple dan beech yang daunnya berubah merah menyala dan daun pohon poplar yang menguning terang. Mereka sepertinya sedang mempersiapkan diri untuk menanggalkan daun-daunnya menyambut kedatangan Boreas, dewa angin utara dalam mitologi Yunani, yang membawa musim dingin.

Beberapa orang terlihat sedang duduk di bawah pohon, ada yang membaca buku di bangku taman, ada yang berolah raga, ada juga yang sekedar membawa anjingnya jalan-jalan. Sempat terlintas dalam pikiranku sebuah adegan romantis aku dan kamu, berdua saja di taman itu di bawah taburan daun maple yang gugur diiringi musik romantis, semacam God Only Knows - Beach Boys, atau Something - The Beatles.

Kita bergandengan tangan, saling memandang. Matamu bertaut lekat di mataku, mengantarkan hangat seumpama konduktor dua arah dari hatiku ke hatimu, dari hatimu ke hatiku. Hangat itu adalah cinta, padamu dan padaku, yang genggamannya membuat kita dapat berjalan lebih jauh dan menginjak kotoran anjing..... Ehmm.. Maksudku.. Ehm.. Ah sudah lah.

Tempat tinggalmu tak terlalu jauh hanya beberapa blok dari tempat kerja kita dan dapat dijangkau hanya dengan 10 menit berjalan kaki. Tak sepertiku yang harus bolak balik naik kereta api bawah tanah yang membosankan. Aku juga berpikir untuk pindah kemari, tapi aku terlanjur membayar mahal sewa apartemenku yang sekarang untuk setahun penuh, dan ini baru bulan kelima.

Tinggal satu blok lagi dan kau akan sampai di apartemenmu. Kita masih saling membisu. Aku menatap wajahmu yang terus menatap ke depan dengan warna keemasan matahari sore yang pudar menyapu wajahmu. Ah, tentu saja keindahan taman tadi tak ada apa-apanya dibandingkan kamu. Aku tahu kau menyadari tatapanku. Tapi tentu saja kau akan terus bersikap seolah tak tahu apa-apa. Terlepas dari itu semua, kau kelihatan lebih anggun dengan sikap jual mahalmu itu, dan aku selalu suka.

Di ujung jalan itu adalah gedung apartemenmu. Dalam beberapa langkah lagi kita akan berpisah. Mungkin baru tiga hari kedepan aku dapat mengganggumu lagi, hari Senin, setelah libur akhir pekan berakhir. Namun sebelum itu, tepat di depan gedung apartemenmu. Sebelum kau masuk lewat pintu utama, aku menghentikanmu.

"Apa kau mau makan malam denganku malam ini?"Tanyaku ragu-ragu.

Kau mematung sesaat, seolah berpikir, mungkin juga tidak.

Aku menggigit bibir. Mempersiapkan diri sekuat mungkin agar dapat tegar menghadapi sebuah penolakan. Lalu kau berkata, "Boleh, jemput aku jam 7.30 nanti."

Aku terpana sesaat. Otakku macet. Masih berusaha memproses kata-katanya tadi: BOLEH, JEMPUT AKU JAM 7.30 NANTI, yang artinya: DIA MAU!

"Baiklah, 7.30,"ujarku sumringah, menahan gempita di hati yang nyaris meledak.

"7.30, jangan terlambat!" Tegasmu lagi seraya berbalik hendak masuk.

"Satu lagi," cegatku.

Kau menghentikan langkahmu dan berbalik kembali menatapku.

"Boleh aku minta senyummu?" Aku memohon dengan semanis mungkin, seperti anak anjing haus kasih sayang dengan mata yang berbinar.

"100 dollar," katamu seraya masuk dan menghilang di balik pintu menuju ruang apartemenmu di lantai 5, tepat setelah memamerkan senyum 100 dollarmu padaku.

Ikuti tulisan menarik Heri Apriadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu