x

gedung atau bangunan tidak terpakai dan berfungsi

Iklan

YE Marstyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Jumat, 12 November 2021 05:51 WIB

Preman Pasar

Preman pasar menguasai sejumlah tempat-tempat keramaian seperti pasar. Premanisme dan pasar seperti satu kesatuan. pasar sebagai pusat kegiatan perekonomian menjadi lahan subur tumbuhnya aktifitas premanisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gun tampak duduk tertegun sambil ia duduk di bangku wedangan milik Paiman di depan  Pasar Legi yang sedang terbakar. Kedua mata lelaki lajang 35 tahun itu nyaris tidak berkedip memandang ke arah kobaran api. Rasa penasaran terpancar dari wajah gali sarlegi itu. Ia seperti berharap pandanganya bisa menembus bangunan pasar yang perlahan mulai luluh lantak oleh api. Ada sesuatu yang membuat preman pasar itu tak mau beringsut dari sana. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 11 malam. Ini berarti ia sudah hampir 6 jam berdiam di sana.

“Teh krampulnya diminum dulu, Gun!” ucap Paiman.

“Biar saja dingin. Nggak apa-apa,” jawab Gun lirih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kalau soal dingin dari tadi.”

Gun bergeming. Lelaki yang memiliki tato hampir di sekujur tubuh itu memilih asyik menatap kobaran api dan asapnya yang membumbung ke langit di atas Kota Sala malam itu. Sorot kedua matanya semakin jelas memancarkan rasa penasaran. Entah atas apa.

“Sudah tidak usah disesali pasar terbakar. Nanti kan pasti ada pasar darurat. Kamu kan masih bisa narik setoran dari para pedagang di sana, Gun!”

“Saya mau berhenti narik setoran. Saya mau tinggalkan pekerjaan seperti itu, Man.”

“Lha kok aneh! Dari dulu pekerjaanmu seperti itu kok. Lha, terus kamu mau makan apa nanti?”

Orang-orang mengenal Gun sebagai penjaga keamanan pasar. Para pedagang pasar biasa menyetor sejumlah uang pada Gun dan teman-temannya selain mereka juga membayar uang retribusi resmi pada pemerintah kota.

“Ah, ya nggak apa-apa. Hitung-hitung membagi rejeki pada orang-orang macam Gun. Biar nggak bikin ruwet pasar. Mereka kan juga butuh makan. Lagipula barang-barang dagangan jadi aman kalau kita tinggal pulang,” kata Budhe Maryati suatu kali.

Pendapat pedagang kelontong itu seperti mewakili suara seragam sebagian besar pedagang Pasar Legi. Mereka memaklumi kehadiran keamanan preman itu. Bahkan, mereka merasakan bahwa perilaku Gun dan teman-temannya terhitung tidak rewel dan mereka cukup menghargai para pedagang.

“Gun, maaf ya. Ini saya mau tutup. Tapi kalau kamu masih mau nongkrong di gerobak wedangan ini ya silahkan. Tolong, gelas teh itu nanti ditaruh saja di laci meja,” kata Paiman sambil membereskan perkakas dan sisa dagangan makanan.

“Tutup saja nggak apa-apa. Tapi tolong saya ditemani sebentar di sini, Man!”

Welah! Tampang sangar, tatoan kok minta ditemani,” sahut Paiman terbahak.

“Sudahlah! Besok saya lunasi bon-bon saya. Kalau perlu saya bayar dobel, Man!”

“Heh! Saya itu tidak pernah mempersoalkan hutangmu. Lagipula kamu itu sering kalau makan lupa bayar. Tapi itu tidak masalah bagi saya. Lha, kok sekarang tiba-tiba sok gagah mau melunasi hutang,” kata Paiman dengan tawa lebih keras.

Paiman menghentikan tawanya seketika. Ia keheranan dengan sikap preman pasar itu. Gun tidak menujukkan ketersinggungan sedikitpun pada Paiman yang mengejeknya dengan disertai derai tawa seperti itu. Padahal Gun biasanya melepaskan umpatan bertubi-tubi pada Paiman jika bakul wedang itu bercanda sambil merendahkannya. Tapi jangan harap perlakuan seperti itu juga untuk orang lain.  Gun bisa menyabetnya dengan pedang atau jika beruntung sekedar bogem mentah.

Gun memiliki rasa segan pada Paiman. bakul wedangan inilah yang menampungnya saat ia masuk Kota Sala pertama kali. Paiman melihat Gun sedang menangis sesenggukan di salah satu sudut belakang Terminal Tirtonadi kala itu. Kebetulan, Paiman membuka gerobak wedangan di sekitar tempat itu.

“Hei, ngapain kamu nangis?” tanya Paiman yang mendatangi Gun karena penasaran.

Gun menceritakan bahwa ia baru saja menjadi korban perampasan setelah ia turun dari bis. Gun menuju ke Kota Sala untuk mendaftar di sebuah sekolah kejuruan. Tetapi ia merasa cita-citanya kandas setelah kejadian itu. Gun merasa kasihan dengan Gun. Ia menawarkan Gun tinggal di pondokannya untuk sementara. Sejak itu, Gun dan Paiman bergaul akrab. Mereka kebetulan umurnya sebaya. Seiring masa berganti-ganti, Gun juga semakin melupakan cita-cita untuk sekolah. Ia merasa menemukan dunianya ketika ia banyak bergaul dengan preman di sekitar Pasar Legi.

“Ya sudah, saya temani kamu, Gun. Tetapi jangan lama-lama, saya perlu istirahat juga,” kata Paiman.

“Tahu tidak, Man? Bahwa saya nyaris mati akibat pasar terbakar ini,” ucap Gun.

“Maksudmu bagaimana sih? Kan memang tidak ada korban jiwa dalam kebakaran ini. Api akibat konsleting listrik terjadi setelah semua pedagang dan orang-orang di dalam pasar pulang.”

“Sebenarnya, saya masih di dalam saat semua orang pulang jam setengah lima sore tadi. Sebelumnya saya bareng Porong dan Gudel minum ciu di kios kosong dekat WC Umum. Saya mungkin terlalu banyak minum sehingga saya tumbang dan ketiduran di sana. Porong dan Gudel pergi keluar pasar lebih dulu. Mereka agaknya sengaja meninggalkan saya sendirian terkapar di sana.”

“Lho? Lha kamu keluar dari pasar jam berapa?

“Sebelum maghrib tadi, Man.”

“Lha itu kan saatnya api berkobar –kobar luar biasa, Gun? Lha kamu bagaimana bisa keluar?”

“Saya diselematkan oleh Den Mas Said.”

Paiman mengerutkan dahi. Ia mendekatkan hidungnya ke mulut Gun dan berkata, “Hmm, mulutmu masih bau ciu. Hei! Maksud omonganmu itu apa? Den Mas Said siapa?”

Gun memalingkan wajahnya ke arah Selatan. Pandangannya menunjuk ke arah pada tembok belakang Istana Mangkunegaran.

“Pangeran Samber Nyawa? Kanjeng Adipati Mangkunegara I? Heh, kamu jangan ngawur lho? Orang kamu itu mau sekolah saja gagal kok. Masak ngerti sejarah? Tahu Pangeran Samber Nyawa? Itu Pahlawan Nasional, lho!” ungkap Paiman dengan sedikit nyinyir.

“Kamu jangan menganggap saya mabuk, Man!”

“Lho, kalau kamu waras malah kamu nggak seperti ini,” ucap Paiman sambil terbahak. “Dan misalnya benar, bagaimana kamu tahu dia Den Mas Said? Memangnya dia memperkenalkan diri?”

“Iya, dia memperkenalkan diri, Man,” ucap lirih Gun.

Paiman seketika langsung terdiam. Bakul wedangan itu tiba-tiba menghentikan tawanya yang meledak-ledak diselingi celotehan bernada ejekan seperti sebelumnya. Wajah Paiman berubah. Ia mengkerutkan dahi hingga kedua alis matanya seperti hampir bertemu. Ia menggeser kursi dan meletakkannya di hadapan Gun. Kini ia duduk berhadapan muka dengan temannya itu.

“Kok bisa begitu? Ceritanya bagaimana?”

Gun menceritakan bahwa ia sudah dalam keadaan mabuk berat. Ia sudah tidak mampu lagi berjalan dan ia tergeletak di kios kosong dekat WC. Ia tidak tahu kapan dan kemana teman-teman minumnya pergi. Ia juga tidak tahu Pasar Legi terbakar jika orang yang ia sebut Den Mas Said itu membangunkannya.

“Den Mas Said tidak hanya membangunkan. Dia juga menuntun saya mencari jalan keluar. Di sekeliling saya waktu itu sudah penuh dengan api menyala. Tetapi setiap kali Den Mas Said melewatinya, maka api itu padam. Seolah memberi jalan bagi saya untuk lewat, Man.”

“Hmmm….ceritamu kok seperti tidak masuk akal, Gun.”

“Saya sendiri seperti tidak percaya waktu itu. Tapi saya tidak mau berpikir lama-lama. Saya pengin segera keluar dari kepungan api, Man!”

Kali ini, Paiman tertegun setelah ia mendengar cerita dari Gun itu. Ia juga mulai penasaran bagaimana mungkin almarhum Den Mas Said hadir di tengah bencana kebakaran Pasar Legi ini. Apakah ia merasa terusik jikalau pasarnya dilalap oleh api.

Paiman mendengar sejarah hidup Den Mas Said dari mulut suwargi kakeknya. Menurut sang kakek yang pernah menjadi abdi dalem Mangkunegaran, Den Mas Said membangun Pasar Legi untuk menjaga kelangsungan perekonomian rakyat di wilayah Kadipaten Mangkunegaran pada tahun 1700an. Oleh karena itu, dulu kakek Paiman menyarankannya membuka gerobak wedangan di Pasar Legi.

“Pasti berkah, Man! Den Mas Said itu pemimpin yang baik. Pemimpin yang mencintai bangsanya sehingga ia perangi kompeni. Ia memperhatikan kehidupan rakyat,” nasihat kakeknya dulu.

Kemudian, keraguan timbul lagi dalam benak Paiman atas cerita Gun. semua kisah itu jangan-jangan khayalan Gun belaka. Apalagi ia suka menenggak ciu sampai mabuk.

“Saya memang mabuk sampai ketiduran. Tapi saya sadar begitu dibangunkan Den Mas Said. Mabuk saya hilang sama sekali. Jika masih mabuk, saya pasti tidak bisa lari,” ucap Gun seolah membantah keraguan Paiman.

Den Mas Said yang kamu temui itu bagaimana perawakannya, Gun?”

“Gagah tapi tidak begitu tinggi. Ganteng. Sayang ada bekas cacar di pipinya, Man!”

Paiman sengaja menyembunyikan keterkejutannya atas jawaban Gun itu. Gambaran yang diberikan oleh Gun itu sama dengan apa yang Paiman pernah dengar dari kakeknya.

“Satu lagi, Gun. Tadi kamu sempat bilang bahwa kamu berniat berhenti dari pekerjaanmu. Apakah ada hubungannya dengan Den Mas Said?”

Gun melanjutkan ceritanya. Den Mas Said dan Gun sampai pada satu titik di mana mereka sudah terkurung oleh dinding api. Sementara puing-puing membara mulai berjatuhan dari atas kepala mereka. Seketika Den Mas Said menggenggam salah satu tangan Gun. Ia menarik Gun sambil melakukan gerakan antara lari dan terbang dengan kecepatan luar biasa.

“Tahu-tahu, kami sudah berada di salah satu sudut kampung Totogan yang berseberangan dengan tembok Mangkunegaran bagian belakang di sisi Barat sana itu, Man,” lanjut Gun. “Kami beristirahat di sana. Nah, di tempat itu, Den Mas Said banyak memberi wejangan pada saya tentang kehidupan.”

Paiman menghela nafas panjang. Ia seperti baru saja menemukan bentuk dari rangkaian puzzle yang berserak. Tapi ia semakin menemukan kesatuan kisah itu, maka Gun semakin tidak terpuaskan. Sebaliknya keingintahuannya kian berkembang . Terutama soal Den Mas Said. Tetapi sebelum ia sempat menghujani pertanyaan-pertanyaan lain pada Gun, dua orang mendatanginya.

“Man! Kabar buruk!”

“Sedih ini, Man!”

Paiman berpaling kepada dua orang yang baru saja datang itu. Mereka adalah Dar dan Yul. Dua orang bakul wedang koleganya. Mereka berdua tinggal bersama Paiman di sebuah pondokan bakul wedangan di sekitar Kampung Kandang Sapi.

“Ada apa, Dar? Yul?”

“Gun kalap! Jenasahnya ditemukan di Kali Anyar, Man!”

“Tim SAR nemu mayatnya nyangkut di tumpukan sampah yang ada di sungai itu, Man!

Paiman terperanjat dan seketika ia menoleh ke arah Gun. Ia hanya melihat bangku kosong di mana Gun duduk di sana tadi. Bakul wedangan ini kebingungan. Ia menggosok-gosokkan matanya sambil ia kembali menatap di mana Gun berada sebelumnya.

Paiman juga menyapu lingkungan sekitar dengan pandangannya. Siapa tahu ia menemukan sosok Gun si preman pasar itu di antara kerumunan orang-orang di depan Pasar Legi. Tapi ia tidak menemukan siapa yang dicari.

Wajah Paiman menampakkan keadaan antara bengong dan bingung. Kepalanya mendadak pusing dan tiba-tiba pandangannya mendadak gelap.

“Man! Paiman!”

“Masuk angin, Man?”

Dar dan Yul menjadi sibuk mengurus Paiman yang tiba-tiba pingsan.

 

******selesai******

 

 

 

Keterangan:

Gali               : istilah lain untuk preman

Sarlegi           : akronim dari Pasar Legi

Teh krampul   : minuman the (panas atau dingin) yang disajikan dengan potongan jeruk

Budhe            : Panggilan untuk perempuan dewasa

Wedangan      : orang Yogyakarta menyebutny angkringan. Sebuah lapak untuk menggelar dagangan aneka makan dan minuman siap santap

Suwargi         ; almarhum/almarhumah

Bakul             : pedaganag

Abdi dalem    : pegawai istana raja

Ikuti tulisan menarik YE Marstyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler