x

Iklan

Eka Ilham Sang Pencerah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Sabtu, 13 November 2021 12:36 WIB

Ayah: Nyanyi Sunyi Seorang Guru


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KARYA: EKA ILHAM, Sekolah Pendidikan Guru, 1974-1977

MENJADI guru merupakan impian anak muda pada saat itu. Ketika Sekolah Pendidikan Guru (SPG) berdiri di Bima, anak muda yang haus akan pengalaman dan ilmu berlomba-lomba mendaftarkan diri. Semuanya menggantungkan harap menjadi pribadi yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, dan negeri.

Anak muda yang bisa menembus SPG dianggap hebat dan menakjubkan, karena dibutuhkan kemampuan yang cukup terutama untuk SPG Negeri. Menjadi guru tidak membuat mereka kaya raya, tetapi profesi itu mulia dan sangat membanggakan orang tua mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kala itu, dengan ikhlas para orang tua menumpahkan pundi-pundi hasil jerih payahnya yang tidak seberapa demi menyekolahkan anaknya meraih predikat guru. Darah, nanah, keringat, dan jerit nurani berceceran di ladang persawahan seketika sirna begitu melihat anak-anak mereka telah menjadi guru muda. Terbayar sudah segala lelah dan derita yang merajam di bawah kolong langit.

Seorang joki cilik bernama Arifin melambungkan cita-cita. Setelah bosan berada di punggung kuda pacuan, dia utarakan keinginannya menjadi guru.

“Ayah, Arifin hendak menjadi guru kelak,” harapnya suatu sore di istal. Segenggam rumput dia sodorkan pada kuda pacuannya.

“Selama itu tekad yang membara dalam dadamu, Ayah pasti mendukungmu,” jawab H. Muhammad, perantau dari Wera yang mendiami lembah Bre Palibelo.

Arifin sangat beruntung memiliki ayah seperti H. Muhammad. Di kampungnya, Arifin iba melihat teman-temannya sesama joki cilik penunggang kuda pacuan yang malas sekolah. Mereka lebih sibuk melatih ketangkasan dan merayakan kepuasan saat menjuarai pacuan kuda dari arena ke arena. Membawa bendera kemenangan adalah kebanggaan tertinggi bagi para joki cilik walaupun harus bertaruh nyawa.

Arifin berkecukupan secara ekonomi, karena ayahnya melakoni banyak pekerjaan, selain bertani, juga nelayan dan pedagang. Kuda-kuda peliharaan ayahnya dilepas di kawasan Wera. Kecintaan Arifin pada kuda turun dari buyutnya. Cerita yang kerap Arifin dengar bahwa buyutnya Ompu Nggempo adalah perawat kuda para Sultan Bima di tanah Wera.

Arifin seolah menjadi anak tunggal, sebab kakak laki-lakinya meninggal di usia belia, digigit ular di sawah. Pantas saja Arifin menjadi harapan dan kebanggaan orang tuanya.

Arifin tumbuh menjadi anak pemberani, tangkas memacu kuda pacuan. Dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, Arifin tidak pernah berhenti berlatih. Arifin selalu ikut pada setiap kejuaraan, sehingga keteteran dalam mengikuti pelajaran di sekolah.

Arifin menyukai pelajaran menggambar dan menulis. Dia memiliki bakat dan jiwa seni. Arifin mahir memetik Gambo, berupa alat musik tradisional masyarakat Bima yang dipetik.

Kelebihannya dalam seni musik menjadikan Arifin disenangi guru-gurunya. Melihat guru-gurunya yang sabar dalam mendidik, menggerakkan hati Arifin utnuk menjadi guru juga. Arifin bercita-cita menjadi guru yang mengajar dengan hati nurani. Dia tidak mau joki cilik sebagai tumpuan hidupnya. Apalagi orang tuanya tidak pernah jeda melantunkan doa agar Arifin mulus dalam mewujudkan cita-citanya.

Arifin memasuki gerbang kesuksesan. Dia bangga, walau datang dari kampung, dia ternyata bisa lulus tes masuk SPG Negeri di Raba.

H. Muhammad mengantar Arifin ke Raba Bima, digoncengnya Arifin pakai sepeda ontel. Pakaian, beras, dan perlengkapan turut serta dalam perjalanan ayah dan anak itu.

“Sekolah yang serius, Nak. Tidak semua orang berkesempatan sepertimu,” nasihat ayahnya dalam perjalanan yang ditempuh selama tiga jam.

“Iya, Ayah. Arifin janji.” Arifin menggigit gerahamnya. Memantapkan jiwa menggapai cita-cita, demi dirinya dan kedua orang tuanya.

“Maja labo dahu di Ruma, keluarga, labo samenana weki di kampo ra mporo.” Ayahnya memberi petuah berupa kalimat magis yang mengakar pada jiwa seluruh masyarakat Bima.

Anak-anak Bima yang merantau, pasti mendapatkan petuah ini. Sebelum mereka melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman, harus memahami falsafah ini.

“Ayah, kapan ya kita sampai di kota Raba. Ayah, bila anakmu kelak jadi guru negeri, apa yang Ayah minta dariku?” Arifin bertanya dengan jenaka.

“Sudah, nggak usah kebanyakan omong, diam saja. Tingkahmu seperti orang besar saja. Lihat ayah capek mengayuh sepeda ontel! Sudah, diam!”

Arifin sudah menduga ayahnya akan cuek dan bereaksi keras, sangat menyebalkan. Arifin sadar, ayahnya lelah mengayuh sepeda tanpa henti. Apalagi ayahnya orang Wera yang berkarakter keras. Ayahnya temperamental karena didik oleh lingkungan yang keras. Terkadang suka bercanda, tetapi cepat berubah keras.

Arifin cukup dekat dengan ayahnya, tetapi tidak sedekat dengan ibunya. Sifat ayahnya yang disukai Arifin adalah pantang menyerah, keinginan kuat untuk selalu meraih sesuatu sampai dapat. Ayahnya seorang pekerja keras dan tak kenal lelah. Karakter yang dimiliki ayahnya menurun juga pada Arifin terutama prinsip hidup.

Cintanya kepada ibu memang lebih tinggi, bukan berarti abai terhadap ayah. Betapa penting ayah bagi keluarga Arifin. Ia telah membimbing dari kecil hingga dewasa, mengajari arti penting perjuangan hidup, bagaimana harus bekerja keras dan pantang menyerah dalam menggapai cita-cita.

Sosok ibu dan ayah membuat Arifin menjadi lebih kuat. Walaupun terkadang pada hal tertentu mematahkan harapan serta keinginannya. Iya, begitulah hidup, selalu ada konflik yang menyertainya, agar tidak sepi.

Hati Arifin berdebar-debar saat pertama kali menginjakkan kaki di kota Raba. Hal pertama yang ingin dia lihat adalah bangunan SPG, baru kemudian berkenalan dengan teman-teman baru.

Arifin sudah di asrama—walau layak disebut garasi—ketika ayahnya meninggalinya. Tak lupa ayahnya kembali menasihati Arifin.

“Nak, jadilah anak yang membanggakan orang tua, tidak perlu kamu pikirkan biaya hidup dan sekolahmu, tangan, punggung, bahu dan kaki Ayahmu ini masih sanggup membiayaimu hidup.”

Arifin sedih melihat kepergian ayahnya. Sosok yang sejak dia kecil menemaninya di arena pacuan kuda. Ayah yang keras tetapi berhati malaikat.

“Salam pada Ibu, dan juga kuda-kuda kesayanganku. Kuda itu pasti merindui ditunggangi. Sampaikan, Ayah! Tuannya tidak akan menungganginya lagi, kerena lagi berjuang menentukan masa depannya.”

Hari-hari sepeninggal ayahnya, Arifin merasakan iklim sekolah guru yang sangat kuat sekali, menempa calon guru yang berkualitas dan siap pakai.

“Ternyata aku tak salah melanjutkan sekolah di SPG. Sungguh menyenangkan bisa melihat iklim sekolah yang menyenangkan dan disiplin,” gumamnya Arifin setelah beberapa bulan menempuh pendidikan guru.

Arifin menyaksikan ratusan calon guru meramaikan kota Raba, sebuah pengalaman unik yang tidak mau dia sia-siakan. Ini kesempatan baginya untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya.

Selama di SPG, Arifin tumbuh dengan baik, lebih dewasa dalam berpikir, dan menatap mantap menyongsong masa depan. Dia sekarang adalah laki-laki yang dewasa dalam bertindak dan bertingkah laku. Lebih-lebih dia adalah calon guru, harus siap ditiru dan digugu. Guru adalah profesi mulia pencetak generasi menjadi manusia yang bermanfaat bagi peradaban, sekaligus penggerak masa depan.

Di sela kesibukan menuntut ilmu, wajah ibunya berkelebat. Arifin ingat saat meninggalkan rumah, ibunya mengantar Arifin dengan deraian air mata. Arifin sangat dekat dengan ibunya ketimbang sang ayah. Ibunya kerap menasihatinya dengan halus, mendamaikan hatinya. Hanya kepada ibu Arifin bisa mengungkapkan rasa. Ketika jatuh dari kuda dan terluka, ibu yang merawat dan membelai dengan kasih sayang, penuh ketulusan.

Arifin ingat saat meninggalkan rumah, langkahnya berat, hatinya teriris melihat ibunya yang sedih. Arifin pun pergi dengan kesedihan. Waktu itu sesekali dia meneteskan air mata saat melalui perjalanan panjang bersama ayah. Dia melewati lembah dan terpanggang matahari.

“Masa depan Arifin harus cerah, Ayah. Bersinar seperti matahari ini,” ungkap Arifin pada ayahnya waktu itu.

۞

Sungguh beruntung Arifin, tidak memandang joki cilik sebagai tumpuan hidup, sebab dia tidak selamanya bisa menjadi joki cilik, segalanya punya masanya sendiri-sendiri. Arifin bukan tidak cinta pertanian, hamparan sawah pertanian dan lembah ganas adalah tempat bermainnya, hanya saja dia tidak ingin melulu menjadi petani, nelayan, dan pedagang seperti ayahnya yang pendapatannya tidak menentu, kembang kempis tak karuan.

Arifin memang anak kampung yang agak kuper dan tidak modis seperti umumnya anak kota. Bajunya lusuh dan kumal, sepatu yang dipakai bergaya antik dan jadul. Dia tidak gaul, hanya bercengkerama dengan cemeti dan mamanggang di terik pacuan kuda, berselimut debu beterbangan. Namun, keinginan belajarnya tinggi, tekun bekerja mewujudkan mimpinya menjadi seorang guru.

Baginya, menjadi seorang memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat. Jadi guru bukan sekadar simbol semata, melainkan panggilan jiwa mencerdaskan generasi.

Di Raba, Arifin dengan teman-temannya tinggal di rumah sederhana yang layak disebut garasi reyot. Dinding pembatas antar kamar dibuat seadanya. Penampung air dari kamar mandi merembes ke tempat tidur. Arifin menghuninya bersama empat teman yang baru dia kenali di SPG—Wahab dari Belo, Muhtar dari Sape, Bakar Kasim dari kempo, dan Sudirman A Majid dari Tonggondoa.

Di Bre, H. Muhammad mengenang anaknya. Betapa dia sangat menyayangi Arifin. Pernah suatu waktu, diciumnya Arifin kecil dari kepala sampai ke jari-jemari kakinya yang mungil. H. Muhammad tidak bisa memejamkan mata karena memikirkan nasib anaknya kelak akan menjadi apa. Berbagai rencana dia susun untuk dilaluinya ketika anaknya kelak sudah besar.

Pada musim liburan sekolah, Arifin tidak lupa untuk pulang. Rindunya membuncah, hanya berjumpa dengan orang tuanya obat penawarnya. Arifin pernah berkata bahwa dia melihat Tuhan di mata ibu dan ayahnya.

Kemulian Tuhan di dunia dan akhirat adalah menghadirkan sosok manusia yang disebut ibu dan ayah. Pengorbanan mereka tak terbatas, mendidik dan membesarkan anak yang dilahirkan hingga berkeluarga dan bisa melaju sendiri dalam hidup.

Bagi Arifin, orang tua adalah permata dunia. Ibu menyapih dan ayah mengajari tentang hidup. walau manusia sudah dewasa bahkan melahirkan anak, orang tua tetap menguntumkan kasih sayang. Kebahagiaan orang tua ketika melihat anak-anaknya sukses dan bahagia dalam mengarungi rumah tangganya. Tidak ada keluh kesah, hanya suara-suara ketulusan hati untuk anak-anaknya. Orang tua adalah orang pertama yang selalu mendampingi dan menjaga di saat terpuruk, mengajak bangkit. Mereka tidak butuh harta anaknya, hanya kasih sayang dan pengabdian yang mereka ingin saksikan. Mereka menjaga dan mendidik, selayaknya begitu juga anak membalas, menjaga mereka sepanjang hayatnya, dunia dan akhirat.

Ketika kembali melihat ibu dan ayahnya, Arifin menyaksikan senyum mereka masih seperti dulu. Ramah lirikan mata mereka menyilau manja mengerling menatap lesu langkah wajah anaknya.

Begitu pula ketika Arifin telah selesai sekolah dan menjadi seorang guru. Dijabatnya tangan kedua orang terkasih, diciumnya lembut tangan keduanya yang kasar dipanggang waktu, dibelainya wajah keduanya yang kerut dimakan usia, diucapkannya kata-kata sayang penuh cinta untuk keduanya. Pengorbanan orang tua tidak pernah mampu dibalas oleh anak, tak terbayar, walaupun dengan seluruh harta yang diperoleh sepanjang hidup sang anak.

Kuda jantan dan betina lari mengitari lembah. Arifin melangitkan doa-doa. Bagi orang tuanya, profesinya, dan tanah Bima yang dia dicintai.[]

--

KARYA: EKA ILHAM  Sekolah Pendidikan Guru, 1974-1977 MENJADI guru merupakan impian anak muda pada saat itu.  Ketika Sekolah Pendidikan Guru (SPG) berdiri di Bima, anak 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Eka Ilham Sang Pencerah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu