x

perempuan dalam pasungan

Iklan

Eko Hartono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Senin, 15 November 2021 05:38 WIB

Perempuan Dalam Pasungan

Kisah sedih perempuan yang dipasung karena menjalani cinta terlarang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

- Bilik -

            Perempuan dalam pasungan. Terperangkap dalam gelap dan sunyi. Rindu kebebasan di bilik pengap. Udara menguap di musim-musim yang kering. Sepasang matanya redup. Lindap waktu berkelebatan menelusuri hari-hari, diantara kenangan dan kesedihan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Dibawanya angan mengembara. Menyusuri tilas waktu. Lelaki penenung. Hembus suaranya membawa kepada kerinduan. Dadanya sarat getar. Semalam-malam, di mana ia terkurung sepi, didapati dunia terlampau luas kini.

            Ingin sekali dilayari kenangan. Diantara kisah-kisah usang yang lama terbenam. Menguak tabir rahasia hati. Ketika kesetiaan dan pengorbanan telah dicampakkan. Menjadi ritual percintaan membosankan.

            Dari celah dinding, seberkas cahaya merasuk ke ruangan. Menembus jantungnya, membakar mimpi-mimpi yang mengusik. Resah hatinya tak bisa ditahan. Dalam gigil nyeri. Diserapahinya nasib, entah sampai kapan berakhir.

            Terkadang, di puncak musim, perempuan itu memintal asa. Keluar dari raga yang menyiksa. Moksa. Menembus batas kenihilan.

            Namun kemudian disadarinya, tak ada yang lebih menyakitkan dari kenyataan. Hidup bersama kutukan. Dan langit pun menghitam. Rintihan batin yang terus membayangi. Jalan panjang tak berkesudahan. Sejarah hanyalah catatan keluhan dan ratapan. Selebihnya, kutukan yang terus berulang.

            Masih diingatnya suara nyanyian. Sumbang. Mengantar tidurnya dalam rembang petang. Saat matahari tenggelam. Dan bayangan menakutkan itu hadir. Menikamnya dalam kengiluan.

            Ia pun menjerit. Menangis. Meraung. Merintih. Perih…

 

- Cahaya -

            Ia menyukai cahaya. Itu bisa kurasakan dari binar matanya saat pintu terkuak. Dan ketika cahaya merembes masuk, bukan hanya terang bilik namun menghantar kehangatan cahaya. Dan ia merangkumnya ke dalam mata. Menyulamnya. Untuk kemudian dijadikan mainan di gelap malam. Sambil tertawa sengau. Pada dunia yang parau.

            Langit rebah. Mewarna tanah. Semburat jingga pada pucuk cemara. Lengking angin malam meretas. Dedaunan menghempas. Seperti jiwa-jiwa yang rapuh, dipermainkan gelombang kehidupan. Sementara di sini engkau tetirah, melawan resah yang terus berkesah. Andai saja khayalan itu sebatas cakrawala yang membentang, disematkan rindu pada dinding langit. Agar awan membawanya sepanjang perjalanan.

            Entah, kenapa ia harus dibelenggu. Menafikannya dari lingkungan. Orang-orang itu sudah kehilangan akal. Melawan ketidakwarasan mereka sendiri. Hanya karena rindu mengeram dalam dada, cinta dua anak manusia yang suci, dihempas badai kemurkaan atas nama adat istiadat. Kurangkai kembali sejarah kelam, tentang kehidupan manusia berisi batu di kepalanya.

            Aku terpekur dalam kelu yang meretap. Pandangan perempuan itu memaku pada satu titik. Cahaya yang meresap, menaburi kemilau di wajahnya. Sebagaimana kejadian-kejadian sudah, ia merangkum cahaya. Mengantarnya bersama angan, menjelajahi setiap jengkal tanah masa silam.

 

- Renjana -

            Cerita yang dibawa angin mengisahkan, dulunya ia kembang desa. Puluhan pemuda bersaing memperebutkan cintanya. Satu persatu tumbang berhadang penolakan, memajang nisan kekecewaan bersaput dendam. Tersebutlah seorang pemuda dari seberang kampung beruntung mendapatkan cintanya. Namun tuah para leluhur memancang tabu; tak ada pernikahan antara keturunan bre Rukmana dan Nyai Selasih.

            Siapa kenal mereka? Hanya mite yang berkembang dari mulut ke mulut, legenda masa silam tentang cinta dan kepahitan. Asmara beraroma darah. Tumbal tanah perdikan. Nyai Selasih nan cantik jelita, namanya mengembang harum dibicarakan oleh para pangeran di beberapa kerajaan, bahkan hingga negeri seberang.

            Namun cinta masalah hati. Tak ada yang bisa menahan renjana Selasih kepada Rukmana. Pemuda sederhana tanpa gelar dan darah biru di tubuhnya, kepiawaian merangkai syair di batang lontar, laksana embun penyejuk alunan dawai menggetarkan, bagi siapa yang meresapinya. Hati Selasih pun serasa melayang dibawa ke nirwana.

            “Kuuntai sebait syair, riuh alam dengan suara nyanyian di dalam hutan sunyi. Sebatang perahu dipermainkan gelombang lautan. Berlayar menempuh sakal dan tebing karang. Duhai, kekasih dewata. Biarlah aku bersauh di dermaga hatimu. Bersemayam dalam hangat cintamu…”

            “Aku merasa tersanjung oleh syairmu. Bilakah kita bersua?”

            “Bagaimana kita bisa bersua bila dinding kasta menghalangi kita…”

            “Cinta anugerah Sang Pencipta, tiada yang bisa menghalang kecuali maut memisahkan.”

            “Tidak takutkah kau pada karma?”

            “Karma kita adalah bersatu. Jangan pernah ragu. Hidup bukan permainan, tetapi pilihan pada jalan yang ditempuh. Jadi, bawalah aku pergi menelusuri jalan itu bersamamu.”

            Mereka pun pergi berlayar jauh. Menempuh takdir yang telah dipilih. Walau langit berubah menghitam, menghantarkan murka dan sepah celaka. Tubuh mereka direnggut dengan paksa, dipisahkan oleh dinding-dinding keangkuhan.

            Ketika itu udara pengap dan sesak. Bau anyir darah, merembes dari sebatang pedang yang menancap di jantung sang pemuda. Nyai Selasih tak bisa terima kekasihnya dipralaya, ia pun menceburkan diri ke dalam api penyucian. Moksa. Menasbihkan cinta mereka dalam kelanggengan masa. Arwahnya menjelma cahaya pada sebatang lontar bersyair cinta.

            Begitulah sang gadis memaknai sebuah cinta. Pengorbanan yang tak cukup dibayar dengan darah dan air mata, tetapi kesetiaan sampai pati.

 

- Percakapan Bisu -

            Hidup adalah misteri. Sama-sama menyimpan kegelapan. Kau akan menemukan hakikat manakala jiwamu sudah lepas dari raga, sehingga kau melihat Sang Pencipta. Tak ada yang tahu, bagaimana takdir membawa nasibnya. Mungkin melalui cahaya yang memancar di mata. Tetapi ia akan terus berjalan, hingga lelah memberati bahu, dan pencarian itu laksana jalan panjang tak berujung.

            Begitulah perempuan itu merangkai nasib pada sebatang kayu yang menjerat kedua pergelangan kaki. Siapa sangka dengan raga terpaku, riuh jiwanya menciptakan kemeriahan. Dengan kilatan-kilatan cahaya pada kedua matanya. Sebuah dunia baru tercipta. Dunia tentang kehidupan yang tak bernama.

            Aku berusaha memasuki dunia itu, namun ia seperti berusaha menutup semua pintu dan jendela. Bahkan sekecil apa pun celah disumbat. Seakan ia tak ingin berbagi dengan sesiapa. Hanya senyum terukir di bibir mengisyaratkan bahwa ia hidup di dalamnya. Tanpa darah dan air mata. Dunia yang tak sepenuhnya kau pahami, namun akan membuatmu mengerti saat hidupmu bebas dari pikiran yang membelenggu.

            “Akulah lelakimu yang menempuh jarak dan waktu. Demi mendengar kau terbelenggu di sini, kutinggalkan semua pekerjaan. Siang malam hatiku dihantui bayanganmu. Suara-suara itu menggangguku membuat mataku tak mampu terpejam. Silau cahayamu menghantar getar kerinduan.”

            “Aku sudah lelah merajut asa. Kutunggu kau di sini, namun tak jua datang. Begitu pentingkah pekerjaanmu, sampai-sampai kau matikan perasaanmu pada kerinduan yang membara. Aku tak mengenali lagi dirimu, wahai raga yang berbalut kepalsuan?”

            “Aku sedang membangun monumen untuk cinta kita agar semua tahu dan mengenangnya!”

            “Tak perlu monumen untuk sebuah cinta, karena ia tak berarti apa-apa. Hanya seonggok batu yang tak bisa berbicara. Monumen sebenarnya ada di sini, di dalam hati. Sejak kapan kau berubah jadi seniman? Cinta tidak cukup membuatmu menjadi dewasa!”

            “Aku keturunan bre Rukmana. Dalam tubuhku mengalir darah pejuang cinta. Apa pun kulakukan demi mendapatkan cintaku!”

            “Kau hanya akan menemui kematian. Cintamu sudah lama terkubur di tengah lautan, menjadi makanan hiu-hiu ganas. Kau bukan sedang memperjuangkan cinta, melainkan mempertahankan hidupmu yang sudah tak berarti apa-apa. Karena cinta bukan cerita masa lalu, tetapi bagaimana kau bisa hidup untuk hari ini dan yang akan datang!”

            “Kau meragukanku…?”

            “Aku meragukan, apakah takdir akan mempersatukan kita!”

            “Kau sudah tidak percaya pada kekuatan cinta sejati?”

            “Cinta sejati telah mati dalam kehidupan nyata, hanya angan-angan semu para penyair bodoh yang menuangkan pada sebatang lontar. Pernahkah kau sadar, syair cinta yang ditulis itu hanya bualan untuk membius gadis-gadis. Mereka tidak bisa hidup hanya dengan syair dan lagu-lagu cinta yang mendayu merayu. Mereka butuh udara, butuh makan, butuh minum, dan banyak lagi. Mereka butuh lebih dari apa yang mereka hirup dan telan. Mereka butuh cinta, tapi bukan dengan kata-kata dan rayuan memabukkan.”

            “Aku ingin menghadirkan cinta yang nyata!”

            “Kau sudah terlambat!”

            “Kenapa?”

            “Karena kau tidak hidup hari ini. Kau hanya hidup dalam angan-angan!”

            Langit diam. Bisu. Udara membeku. Suara-suara seperti tenggelam dalam keheningan. Tapi aku mampu mendengar riuh suaramu. Dalam percakapan bisu.

 

- Perjalanan Rahasia -

            Sulit sekali untuk memahami perempuan itu. Hidupnya terlanjur berdarah oleh kecewa dan luka. Cinta dan kerinduan yang dulu membara telah menjelma goresan dendam tak berkesudahan. Lindap waktu merangkak meniti sunyi. Tenggelam ia dalam keriuhan cahaya yang tercipta dari persemedian panjang. Setiap titik cahaya yang datang direngkuhnya dalam dekapan cekung matanya yang dalam.

            Maka, perlahan namun pasti, cahaya memenuhi ruang dalam tubuhnya. Menciptakan kemilau sinar berpendaran memenuhi jagat raya. Tapi sungguh, kau tak akan mampu melihatnya. Hanya aku yang setia mengamatinya dan berjuang membaca gerak-geriknya, menyaksikan pendar cahaya keluar dari tubuhnya.

            Ia sepertinya lelah meniti jalan panjang tak berujung. Ia jenuh merajut asa pada cinta sejati yang tak kunjung datang. Ia ingin mencari jalannya sendiri.

            “Untuk apa kau datang?”

            “Aku ingin membebaskanmu.”

            “Membebaskan dari apa?”

            “Dari kutukan yang membelenggu hidupmu!”

            “Kutukan itu tidak membelengguku, merekalah yang telah membelenggu hidup mereka sendiri!”

            “Tapi kau tak bisa diperlakukan seperti ini. Kau adalah manusia bebas. Hanya orang-orang picik yang menganggap cinta adalah aib dan dosa. Kau berhak mendapatkan kehidupanmu!”

            “Kau gigih membelaku. Apakah kau juga seorang pejuang cinta?”

            “Aku bukan pejuang cinta seperti lelakimu dan leluhurnya. Aku hanya tahu bahwa ada sesuatu yang tidak benar telah terjadi. Aku mesti meluruskannya agar sejarah kelam tak terulang dan kebodohan melekat pada pikiran manusia!”

            “Kau tak bisa merubah takdir!”

            “Tapi aku masih bisa merubah dunia!”

            “Terserah kau!”

            Kesunyian malam mendadak pecah oleh gema kentongan bertalu-talu. Alam seperti bergemuruh oleh lolongan dan teriakan. Kampung batu menjadi gempar oleh hilangnya perempuan dalam pasungan. Sementara aku terus berlari, menjelajah rimba, menembus pekatnya malam. Aku terus berlari, pergi menjauh dari dunia tak bernama bersama cahaya yang berada dalam genggamanku.

            Esok hari, aku yakin semua akan berubah dan tidak sama!

Wonogiri, 12 November 2021

 

Ikuti tulisan menarik Eko Hartono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler