x

Gambar oleh Osman Rana dari Unsplash

Iklan

dian yuliantika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Minggu, 14 November 2021 16:17 WIB

Kado Natal

Tulisan Bryan tidaklah rapi tapi mudah untuk dibaca oleh orang dewasa, krayon berwarna merah tersebut menyala dan memberi harapan pada siapa saja yang membacanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bryan Odell menatap resah pada gugusan dedaunan berwarna merah dan kuning yang masih tertinggal di ranting pohon melalui jendela kamar tidurnya di rumah sakit. Kamarnya selalu memiliki aroma cairan antiseptik yang menyengat. Teman sekamarnya mengalami badai muntah-muntah yang sangat parah, membuat kamar yang dapat ditempati oleh dua orang pasien menjadi penuh sesak dengan kehadiran para perawat dan dokter yang sibuk mengurusi anak malang yang tampak sangat tersiksa dengan kondisinya. Anak itu bernama Thomas, belum ada yang memberitahu Bryan bahwa pada malam yang sama anak itu telah gugur sepenuhnya. Terakhir kali ia melihatnya, kepala Thomas sudah botak total. Dedaunan berwarna merah tua di luar sana mengingatkan Bryan akan warna rambut Thomas.

Thomas adalah teman sekamar Bryan dengan nomor urut ketiga, dua sebelumnya juga telah pergi tanpa mengucapkan pamit kepada dirinya. Tak tahukah mereka, betapa tidak menyenangkannya ketika mereka sudah berbagi celoteh dan juga mainan yang sama tetapi malah ditinggalkan begitu saja. Setiap teman-temanya pergi tanpa pamit, Bryan pasti akan menanyakan kepergian mereka kepada Suster Anna.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Suster bagaimana keadaan Thomas? Apakah muntahnya sudah berhenti?”

“Suster kemana perginya Maximus? Apakah dia sudah tidak menjerit kesakitan lagi sekarang?”

“Suster apakah Harry akan kembali besok? Kemarin apa Suster juga melihat orang tuanya menangis di balik pintu?”

Suster Anna yang baik dan juga sabar akan memberikan penjelasan yang tidak benar-benar menjawab pertanyaan Bryan, tapi memang begitulah orang dewasa, terkadang lebih suka menjawab dengan cara berbelit dan tidak mudah dimengerti oleh anak-anak. Tapi Bryan tetap senang terhadap Suster Anna, sebab Suster Anna suka membacakan buku cerita yang bagus-bagus. 

Natal tahun ini merupakan tahun pertama yang akan Bryan lalui jauh dari rumahnya yang menghadap langsung pada Laut Pasifik yang membentang jauh dan juga dalam penuh misteri. Sekali lagi Bryan menatap resah pada pemandangan di luar sana, dedaunan sudah hilang sepenuhnya dari ranting pohon.

“Sepertinya sebentar lagi salju akan turun di Boston. Apakah kau sudah pernah melihat salju sebelumnya Bryan?”

Suster Anna masuk dengan membawa nampan besar berisi jatah makan siang Bryan.

“Belum Suster, ini pertama kali saya akan melihat salju. Di California tidak ada salju.”

Pipi Bryan sudah banyak menyusut sejak pertama kali ia datang ke rumah sakit, senyumnya sudah tidak selebar, seriang dan sesering dulu.

“Tidak ada musim gugur juga?” tanya Suster Anna sambil mengecek tampak luar kondisi fisik Bryan.

“Tidak ada Suster. Di California hanya ada matahari, hujan, pantai dan juga popsicle.”

“Sepertinya seru ya?”

Suster Anna menyingkirkan kertas kosong, beberapa pensil warna dan krayon dari atas meja lipat Bryan dan menggantinya dengan nampan berisi makanan. Suster Anna menggeser mangkuk sup agar lebih dekat dengan tubuh Bryan. 

Suster Anna sudah bekerja lebih dari lima tahun di rumah sakit yang secara khusus menangani penyakit yang sebetulnya hingga kini belum dapat ditaklukkan oleh kepintaran umat manusia secara tepat. Baginya kedatangan dan kehilangan pasien kecil merupakan sebuah rutinitas yang tak ada habisnya, namun ia juga sangat berharap bahwa semoga saja rutinitas ini dapat berakhir suatu hari nanti. Bryan Odell, masuk ke rumah sakit tempat Suster Anna bekerja ketika kondisinya belum begitu parah, ia termasuk anak yang beruntung biasanya perlu waktu antri berbulan-bulan agar dapat masuk dan menjadi pasien. Orang tua Bryan sering datang dan menjaganya secara bergantian, terbang melalui jarak sekitar 2.576 mil untuk menemani putra bungsu mereka. Pernah satu kali mereka bercerita bahwa mereka tak pernah membayangkan bahwa anak mereka yang periang dan begitu gemar berceloteh pada suatu malam jatuh dalam tangisan yang begitu kencang seperti bayi pemarah yang mengeluh popoknya basah dan penuh, hal itu terjadi selama beberapa malam kemudian terlupakan, sebulan kemudian saat mengoleskan tabir surya di punggung Bryan mereka menemukan tanda-tanda kemunculan memar aneh, yang datang dan menghilang selama beberapa waktu, mereka belum sadar bahwa memar itu merupakan tanda stigmata. Namun, satu hal yang sangat mereka sadari bahwa Bryan sudah tidak seceria dan sebawel dulu, ia jadi lebih mudah lelah dan lesu. Pada hari-hari tertentu ia akan mengalami demam yang datang dan pergi dan juga darah yang begitu cair sering menetes dari lubang hidungnya secara tiba-tiba. Pada suatu waktu akhirnya mereka sadar bahwa ada yang sangat tidak beres pada tubuh kecil Bryan. Rumah sakit yang mereka kunjungi langsung merujuk Bryan ke tempat yang begitu jauh hingga sampailah mereka bertemu dengan Suster Anna. Ternyata tubuh Bryan memproduksi jumlah sel darah putih yang nilainya jauh meledak dari angka rujukan normal yang semestinya dimiliki oleh tubuh seorang anak kecil dan dengan demikian Bryan didiagnosa mengidap leukemia limfoblastik akut. 

Setiap tahun mendekati hari Natal rumah sakit selalu memberikan selembar kertas kosong yang sudah ditandai dengan nama setiap anak yang sudah mampu menggambar atau menulis. Anak-anak itu diberi tugas untuk menggambarkan hadiah yang mereka inginkan di hari Natal. Ada saja yang di gambar oleh anak-anak itu dan sebisa mungkin akan diwujudkan oleh Santa Claus.

“Suster lihat kertas milikmu masih kosong Bryan.”

“Iya Suster. Saya belum menentukan hadiah apa yang saya inginkan.”

Bryan tersenyum dan segera menyendok puding berwarna kuning, satu-satunya makanan rumah sakit yang ia sukai.

Tiga minggu sebelum Natal tiba Dokter Kepala membuat pengumuman besar. Suster Anna mendengarkan seluruh rincian pengumuman dengan cermat. Setiap bagian yang terlibat menjadi sangat sibuk mengurus ini-itu, para ahli gizi, apoteker, dokter koas, perawat maupun psikiatri menjadi lebih sering lalu lalang di lorong-lorong rumah sakit. Tentu saja Bryan tidak tahu bahwa ada pengumuman besar, yang ia ketahui akhir-akhir ini dokter jadi lebih sering memeriksanya.

“Suster Anna.”

“Ya, Bryan?”

“Bolehkan saya jalan-jalan keluar sebentar?”

Tentu jawabanya tidak, sebab luka sekecil apapun atau infeksi seringan apapun dapat membahayakan keselamatan dan nyawa Bryan, tetapi tidak mungkin langsung berkata tidak kepada mata yang begitu memelas.

“Apakah ruangan ini terlalu panas Bryan?”

“Tidak Suster.”

“Kalau begitu lebih baik tetap di kamar, tadi saya dengar di radio bahwa salju akan turun. Tentu di luar tidak akan senyaman di kamar ini.”

“Ah Suster selalu begitu, saya tidak boleh meninggalkan kamar ini untuk selamanya bukan Suster?”

“Tentu kau boleh pergi ke luar kamar tapi nanti di lain hari ya.”

Wajah pucat yang merajuk itu tidak terlihat menyebalkan di mata Suster Anna, semakin cemberut bibir berwarna pink pucat itu maka semakin iba jadinya hati Suster Anna.

Hari ini adalah hari besar untuk Bryan, tak hentinya ia meminta mamanya untuk membelai kepala atau tangannya. Menjelang siang Bryan dipindahkan ke ruang lain. Bryan tampak ketakutan. Terakhir kali ia mencoba resep obat baru tubuhnya mengalami penolakan yang membuatnya melalui hari-hari sangat buruk dan melelahkan, rasa-rasanya dia berharap untuk tidak pernah keluar dari perut mamanya saja waktu itu.

“Tidak apa-apa Bryan, tidak apa-apa.”

Gigi Bryan mungil dan berderet membentuk gambaran pagar yang rapi terlihat bergetar dan menimbulkan bunyi berisik.

“Suster, tolong berikan ini kepada Santa Claus.”

Bryan menyelipkan surat Natal ke sela jari tangan Suster Anna. Surat itu tidak lekas dibuka melainkan langsung disimpan di dalam baju kerjanya yang memiliki kantong cukup dalam di sisi kanan dan kiri.

Bryan dibawa menuju ruangan luas yang mirip ruang aula. Lantainya juga berbau cairan antiseptik yang menyengat. Di dalam ruangan terdapat selusin ranjang yang disusun berbaris dan diberi penyekat dengan jarak sekian meter. Seorang dokter dan perawat yang tidak begitu akrab dengan Bryan datang dengan membawa sebuah kereta berbentuk mobil-mobilan yang didorong dengan sangat perlahan. Bryan mendapatkan mobil berwarna hijau muda, dia menatapnya dengan mata yang enggan berkedip. Sebuah tiang infus diletakan di dalam kereta mobil. Dokter tadi mendatanginya dengan wajah ramah dan sabar, membuat anak kecil yang ketakutan sekalipun menjadi nyaman dan aman di dekatnya. Setelah dokter itu meraba-raba dan memeriksa kondisi tubuh Bryan barulah ia sadar dokter tetaplah dokter. Dengan kelihaiannya yang sudah terasah dan juga teruji pak dokter segera menjebak Bryan. Disuruhnya Bryan untuk merebahkan tubuhnya yang seperti selembar daun willow layu, mata biru Bryan menatap pelangi di atas langit-langit yang telah dilukis dengan sangat apik dengan menyalin warna pelangi di langit seusai hujan di siang hari. Tanpa disadari sesuatu yang sudah sangat dikenali Bryan menembus kulitnya yang sudah memiliki banyak bekas luka tusukan jarum disana-sini, ketika jarum itu keluar sepenuhnya dari lapisan kulit barulah terasa sakit dan nyerinya, Bryan pun menangis.

Di aula yang beroperasi seperti tempat penampungan Bryan banyak menghabiskan waktunya untuk tidur, entah mengapa kedua matanya selalu berat dan lelah.

“Halo Bryan. Bagaimana kabarmu?”

“Sempurna Suster, seperti hari pertama di musim panas.”

“Wah kondisimu baik sekali dong ya kalau begitu?”

“Lebih baik mengatakan baik daripada tidak baik bukan Suster?”

Suster Anna menggeleng ringan, diperiksanya suhu dan kondisi tubuh Bryan dengan jeli dan semua dicatat dengan amat cermat. Dokter Kepala selalu datang setiap dua jam sekali dan memeriksa kondisi setiap anak di setiap bilik dengan sama telitinya, ia memperhatikan segalanya. Pada bilik Bryan ia memperhatikan hasil pemeriksaan yang telah dicatat oleh Suster Anna tadi berulang-ulang kali, dahinya kadang berkerut atau terkadang kelopak matanya yang terlihat meruncing, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat serius, wajah bulatnya terlihat lucu. Sebelum pergi Dokter Kepala mengelus-elus kepala Bryan dengan lembut.

Tanpa terasa minggu yang melelahkan telah berlalu, lusa adalah libur Natal. Bagi para pasien tidak ada namanya jeda liburan, mereka tetap harus menghabiskan waktu dan hari mereka di kamar rumah sakit. Tahun ini Santa Claus mengunjungi kamar setiap anak, tidak ada yang terkecuali. Sayang Suster Anna mengambil jatah cuti sehingga tidak dapat bertemu dengan Santa berpipi merah gembul dan jenaka yang gemar sekali tertawa “hohoho!” setiap masuk ke kamar pasien. Di tempat pertukaran baju, Suster Anna membuka loker tempat ia menyimpan segala barang miliknya. Di atas loker besi yang dingin, tergeletak sebuah surat yang kelupaan ia serahkan ke bagian terkait, itu surat Bryan untuk Santa! Suster Anna mengambil langkah panjang menuju bangsal barat. Kedua buah ranjang di kamar itu tidak ditempati dan terlihat rapi, dengan tergesa-gesa Suster Anna berjalan menuju ujung tempat tidur. Di sana, di papan keterangan pasien nama anak itu masih tertulis jelas Bryan Odell, Suster Anna menghembuskan napas dengan lega. Di rumah sakit ada ketentuan bahwa siapapun tidak boleh berlari kecuali ada situasi darurat, tapi hari ini Suster Anna melanggar ketentuan tersebut dengan terburu-buru ia berlari menuju ujung lorong.

“Suster Margot, dimana pasien penghuni kamar nomor 305?” tanyanya dengan panik.

“Ada apa Anna? Oh ya, selamat Natal!” 

“Dimana Bryan?” 

“Oh anak itu? Ada apa dengannya?”

“Bryan? Apa? Apa dia?”

“Oh tidak, dia sedang berada di ruang rekreasi….”

Belum juga Suster Margot selesai dengan ucapannya Suster Anna sudah mengejar pintu lift yang kebetulan terbuka. Laju lift berhenti, Suster Anna bergegas menembus kerumunan orang. Ruang rekreasi hanya dibatasi dengan sebuah pintu kaca besar jadi setiap anak yang berada di dalamnya dapat terlihat jelas dari luar ruangan dan disana berdiri hampir tegak, Bryan memutar tubuhnya, pipinya terlihat kemerahan. Cahaya kehidupan berpendar dengan indah di wajahnya yang masih tirus, Bryan mendapatkan remisi! Bryan melambai, seolah-olah tangannya yang ringkih tidak pernah di tusuk jarum. Suster Anna balas melambai ke arah Bryan, satu tangannya lagi ia gunakan untuk mengeluarkan surat Bryan dari dalam kantong bajunya. Suster Anna membaca surat yang ditulis Bryan.

Dear Santa,

Santa Claus yang baik, saya tidak ingin meminta kado Natal apapun untuk tahun ini, tapi kalau boleh saya ingin Santa mendoakan agar saya, Thomas, Maximus dan Harry dapat menghirup udara segar suatu hari nanti dan kalau boleh juga agar kami tidak usah minum obat pahit setiap harinya, tapi kalau itu semua terlalu berlebihan saya hanya ingin keluar dari kamar saya sebentar saja dan berjalan dengan kedua kaki saya sendiri dengan tegak. Terima kasih Santa. 

Seseorang menepuk pundak Suster Anna yang sontak kaget, ternyata Dokter Kepala sudah berdiri di belakangnya.

“Dokter bacalah ini,” Suster Anna menyodorkan surat yang sudah banyak tertekuk disana sini kepada Dokter Kepala.

Tulisan Bryan tidaklah rapi tapi mudah untuk dibaca oleh orang dewasa, krayon berwarna merah tersebut menyala dan memberi harapan pada siapa saja yang membacanya.

“Lihatlah Suster! Kita berhasil Suster Anna, mereka mendapatkan remisi! Sekali lagi masih ada kesempatan untuk mereka! Ini hadiah Natal dari Tuhan untuk mereka.”

Suster Anna dan Dokter Kepala tidak dapat menahan air mata mereka yang penuh kebanggaan dan rasa syukur, hari-hari dengan malam-malam penuh kecemasan dan kelelahan yang mereka lalui akhirnya membuahkan hasil yang sangat indah, harapan dipadukan dengan usaha memang hal terbaik yang dapat diimpikan dan dilakukan oleh setiap manusia. Bryan tetap melambai dari dalam ruang rekreasi ia tahu Santa telah mendoakannya, doanya telah menjadi hadiah Natal yang sangat indah.

Ikuti tulisan menarik dian yuliantika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler