Jembatan Merah

Minggu, 14 November 2021 16:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di kalangan tapol Irawan terkenal sebagai Pujangga Sedeng, dia jarang bicara dan bergaul dengan sesama tapol kerjanya terus menulis dan menulis, ketika semua sudut tahanan sudah habis ia tulisi ia beralih pada petak kulitnya yang belum diisi koreng.

Peking terlihat jauh lebih rapi dan bersih dibanding Jakarta, baik orang dewasa atau anak-anak terlihat berlalu-lalang dengan kesibukan yang selalu mereka bagi rata satu dengan lainnya. Irawan terpesona dengan kemajuan Tiongkok yang dikiranya selama ini tidak jauh berbeda dengan keruwetan dalam negerinya, ia bersyukur karena tidak menolak undangan yang diberikan Kedutaan Besar Tiongkok padanya. Di dalam saku jasnya ia sudah menyematkan buku catatan dan sebuah pena, seorang penulis tidak boleh berjauhan dengan kedua benda tersebut, karena keduanya bagaikan nyawa kedua. Irawan menghampiri seorang tukang semir sepatu, ia menunjuk sepatunya sendiri tanpa bicara dan si tukang semir langsung paham. Sambil menunggu sepatunya selesai di gosok Irawan membuka buku catatanya, di halaman yang kosong ia mulai menulis. Ketika tukang semir selesai melakukan pekerjaanya, maka selesailah juga ia menulis. Setelahnya ia mengamati sepatunya yang sudah mengkilat. 

Namanya Mei Lao, seorang penerjemah bahasa dari Universitas Peking. Dengan sepatu yang tampak mengkilat, Irawan menjemputnya kemudian mengajaknya berjalan-jalan di tepi Sungai Chang. 

“Saya dengar Anda akan kembali ke Indonesia bulan depan?”

“Iya, betul begitu rencananya.”

“Apa kita dapat bertemu lagi suatu hari?”

“Mengapa tidak? Bukankah Peking dan Jakarta memiliki hubungan yang sangat baik sekarang?”

“Ya, betul.”

Irawan memberikan buku catatan yang dibawanya dan memberikanya kepada Mei, ia berkata bahwa ia sudah menulis sebuah karya di dalamnya dan berharap bahwa perempuan ramah itu dapat menerjemahkannya ke dalam bahasa ibunya.

Irawan menjadi tahanan di Penjara Salemba, ia menjadi tahanan Golongan B. Ia bukan pengikut partai manapun, ia hanya gemar menulis apa saja yang ada di dalam benaknya. Dia seorang nasionalis sejati yang hanya sedang terpesona dengan kemajuan kota Peking ketika syairnya untuk pertama kalinya dimuat di salah satu koran berhaluan kiri. Bahkan dalam penjara pun ia masih berusaha menulis meski tidak dengan nyawa keduanya namun masih ada sebidang dinding yang masih dapat ditulisi, sepetak lantai yang digunakan untuk tidur, di teralis besi atau tanah dekat jamban yang meskipun beberapa saat kemudian tulisannya akan menghilang. Irawan tetap setia dengan tulisannya.

Kepala sipir marah besar ketika melihat goresan tulisan tangan Irawan yang berada dimana-mana, ia menduga bahwa pujangga itu telah kehilangan akal sehatnya, akibat kepalanya terlalu sering dihajar oleh sebilah kayu tapi praduga itu tidak menghilangkan kemurkaan terhadap kebiasaan Irawan tanpa peduli apa yang ditulis oleh si pujangga. 

“Komunis tidak berhak menulis, ia hanya berhak makan tai!”

Tubuh Irawan di hajar habis-habisan, hingga matanya lebam dan jari tangannya bengkok, tapi ia tetap menulis dimana-mana sehingga membuat kesabaran kepala sipir semakin menipis setiap hari.

Di kalangan tapol Irawan terkenal sebagai Pujangga Sedeng, dia jarang bicara dan bergaul dengan sesama tapol kerjanya terus menulis dan menulis, ketika semua sudut tahanan sudah habis ia tulisi ia beralih pada petak kulitnya yang belum diisi koreng. Memang benar menulis adalah kegemaran Irawan namun semenjak tertangkap kegemarannya akan menulis semakin menjadi-jadi. Sampai di Pulau Buru, Irawan masih setia dengan kegemaranya. Di negara lain dengan keadaan politik yang lain juga Mei sudah selesai menerjemahkan karya milik Irawan, ia ingin sekali memberi tahu kawannya itu bahwa karyanya sungguh luar biasa, tapi asa hanya asa, tidak mungkin menjalin hubungan dengan Jakarta di bawah kekuasaan The Smiling General dan tidak elok bagi peradaban umat manusia apabila karya sebagus itu hanya disimpan untuk seorang diri saja maka Mei menerbitkan karya Irawan dibawah nama pena. 

Bau alam terbuka pada Gulak di Laut Selatan membawa sedikit kewarasan bagi Irawan, selain itu pekerjaan membuka lahan juga membuat waktunya habis, meskipun terkadang bila sedang tidak begitu lelah ia masih juga menulis di dahan-dahan pohon kayu putih. Berita tentang si Pujangga Sedeng segera menyebar ke seluruh Tefaat, banyak yang prihatin dengan kondisi si Pujangga Sedeng tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Suatu malam tubuh Irawan mengalami demam tinggi, kawan satu atap dengannya dibuat kaget dengan gumaman Irawan, bahkan dalam sakitnya ia tetap membuat syair mengenai Savanajaya dan betapa indahnya alam rimba Indonesia dan seluruh isinya termasuk juga nyamuk-nyamuk pembawa parasit. Mereka belum pernah bertemu dengan pujangga yang begitu tergila-gila dengan kata-kata seperti si Pujangga Sedeng. Berita ini cepat menyebar, maka bagi mereka yang memiliki kemurahan hati dan rezeki mau sedikit membagi harta karun mereka kepada Irawan yang berupa kertas dan pensil yang dapat digunakannya untuk menyalurkan hasrat tertahan dalam dirinya dan begitulah Irawan menemukan nyawa keduanya kembali.

Di luar dugaan karya Irawan mendapat sambutan baik di Tiongkok, bukunya diberi judul "Jembatan Merah", karya itu rupanya juga mendapat sambutan yang sangat baik di kancah internasional. Betapa senangnya hati Mei, tapi sayang tak seorangpun selain dirinya yang mengetahui siapa pengarang asli dari karya spektakuler itu, bila ia memberitahu barang seorang saja ia takut nyawa Irawan yang barangkali masih hidup di pulau pengasingan menjadi taruhannya, maka ia biarkan saja karya itu dalam belenggu nama pena. 

Pada akhir dekade tujuh puluh Irawan dan ribuan tapol lainnya yang berhasil bertahan hidup di bebaskan. Irawan tetap dengan julukannya, ia masih saja gemar menulis dan tulisannya semakin hari semakin bagus. Akhirnya ia membawa oleh-oleh lima buah novel panjang di dalam tas dufflebag yang ia dekap erat-erat sepanjang perjalanan pulang di atas KRI Tanjung Pandan. Sampai di Jakarta tidak ada yang menyambutnya, rupanya sekarang ia hidup sebatang kara. Irawan yang sudah hampir sepuluh tahun hidup dalam pengasingan kaget dengan perubahan wajah ibu kota tempat dimana ia menempa minatnya pada dunia sastra, perubahan itu membawa efek buruk bagi kesehatan jiwanya yang memang sudah mendekati ambang sedeng maka mulailah ia kembali pada kebiasaannya yang lalu, yaitu menulis dimana-mana. Suatu hari Irawan dimasukan ke RSJ dan karya-karyanya yang sebanyak lima buah itu harus masuk ke dalam lemari berdebu. 

Mei senang sekali mendengar berita pembebasan para tapol, ia tak yakin apakah Irawan masih hidup atau tidak tapi sedikit-sedikit ia berani menyebutkan nama Irawan dalam lingkungan kesusastraan, lama-kelamaan mulai tahulah orang-orang bahwa karya "Jembatan Merah" itu adalah karya penulis Indonesia yang bernama Irawan. 

Dekade berlalu, Indonesia mulai kembali menjalin hubungan dengan Negeri Tirai Bambu. Mei berkunjung ke Indonesia dan ia mencari keberadaan Irawan di setiap sudut kota bahkan yang paling temaram sekalipun. Beruntung baginya, ia dapat mengenali jejak tulisan tangan Irawan pada tiang listrik, pada tembok-tembok bangunan tua dan nisan-nisan kawan tapol Irawan yang pada akhirnya menuntun Mei menuju RSJ tempat Irawan dirawat. Ternyata Irawan masih hidup meski sudah sekarat, mungkin beberapa jam lagi bakal mampus.

“Peking! Peking!” ujar Irawan ketika melihat Mei.

“Lama tak jumpa Irawan.”

Irawan terus mengulangi perkataannya, dari bersemangat hingga lemah kemudian ia jatuh dalam tidur yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Mei belum sempat mengutarakan maksud kedatangannya. Irawan di kubur di pemakaman umum, jenazahnya hampir ditolak oleh warga yang tak sudi sanak saudaranya bertetangga dengan setan komunis yang pastilah kafir juga di alam kubur. Di batu nisan terdapat sebuah epitaf yang berbunyi, “Disini terbaring Irawan, pujangga brilian yang mau tak mau dilebur histori.” Karena Irawan tidak memiliki siapa-siapa maka barang-barang kepemilikannya diberikan kepada Mei oleh pihak RSJ. 

Mei berdiri di atas Jembatan Merah, tahun demi tahun berlalu semenjak kematian Irawan dan keseluruhan karyanya yang berjumlah sebanyak enam buah juga telah diterbitkan di bawah nama aslinya. Sebuah maha karya sastra yang mendapat tanggapan positif bahkan dari pengkritik pedas dunia Barat. Desas-desus mengatakan bahwa jika saja Irawan masih hidup ia berhak mendapatkan Penghargaan Nobel atas karyanya yang sangat luar biasa.

“Biar Peking menjadi kota mimpi tapi di atas Jembatan Merah aku akan selalu setia bermimpi….” Mei membaca pembukaan karya pertama Irawan. 

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian yuliantika

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Jembatan Merah

Minggu, 14 November 2021 16:23 WIB
img-content

Kado Natal

Minggu, 14 November 2021 16:17 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler