x

Iklan

Lilian Kiki Triwulan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Minggu, 14 November 2021 16:26 WIB

Persembahan Tari dari Pulau Bestari

Persembahan tari dari gadis bernama Riani dan sahabatnya Riri di Pulau Bestari menyambut wisatawan negeri yang datang silih berganti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setibanya di Pantai Kenari, seorang gadis berparas ayu berjalan menapakan kaki. Menuju perahu yang sudah disiapkan untuk menyebrang ke Pulau Bestari. Pulau dengan sejuta pesona alamnya yang menggoda hati.

Namanya Riani, dirinya bersiap untuk menari sebelum nantinya tampil bersama para penari dari Desa Kenari. Bakat menarinya lahir dari darah sang ibu. Sejak kecil Riani dikenalkan dengan musik pengiring, hingga belajar menari mengikuti irama tari.

Matahari baru naik sepenggalah, angin laut sepoi-sepoi menyapa dan ombak lautan landai yang memanjakan mata. Riani duduk menyamping sembari melihat camar beterbangan melintas angkasa. Riani duduk terdiam di papan yang menopang tubuhnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Entah mengapa, gadis yang selalu tertawa riang dengan celotehannya berubah diam seribu bahasa tanpa lirih suara. Tatapannya kosong bahkan wajahnya pun nampak pucat. Perlahan dia menundukan wajahnya, kemudian menghela nafas dengan begitu berat. Nampak sedang menanggung pikiran berat dalam benatnya.

“Awakmu, kenapa toh Ri? Kok ora kaya biasane?” tanya Riri sambil menepukan tangan di punggung Riani.

“Ehhh ... Astagfirullah,” jawab Riani kaget sambil tangan kananya memegang dada.

“Lha, kok malah kaget, kan aku mung ngelus awakmu tok. Opo suaraku koyo bledek nganti awakmu kaget ngono kuwi, Ri?” timpal Riri sambil menyunggingkan bibirnya.

“Hehe ... aku ora popo kok. Mung pengin nyawang pemandangan bae. Rasa-rasane suwe banget ora ming pantai ya???” ujar Riani dengan nada dingin.

“Awakmu ki kaya karo wong lewat bae. Aku kan kenal awakmu awit cilik, sekolah bareng, njagonge bareng, baline ya bareng, terus ndina-ndina ya dolan karo latihan nari bareng. Enggane awakmu arep nutupi sekang aku???” tutur Riri geram.

Riani hanya tersenyum sambil membuang wajahnya melihat lautan lepas. Dirinya masih belum bisa menjelaskan beban yang ada di hatinya.

Kurang lebih 15 menit perahu berhasil mendarat di Pulau Bestari. Seperangkat gamelan diturunkan oleh para penabuh disusul Riani dan Riri. Perahu diikatkan pada karang agar tetap di tempat menunggu pementasan selesai.

Riri dengan riangnya bermain air pantai sampai lupa merias diri dan mengganti pakaiannya. Berbeda dengan Riani yang perlahan merias wajahnya. Riani yang dengan telaten merias wajahnya tiba-tiba dikagetkan dengan orang yang memanggil namanya.

Suaranya samar, sehingga ia tetap berkonsentrasi untuk merias diri. Lama – kelamaan suara itu semakin jelas didengarnya. Diapun menoleh ke arah penabuh juga ke Riri tapi orang-orang justru sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.

“Pak, siapa ya yang tadi panggil Riani? Riani lagi dandan jadi gak begitu fokus,” tanya Riani penasaran.

“Eehh, lha wong kita-kita ya lagi nyiapke alat ngapain juga manggil awakmu, Nduk? Mungkin kamu salah denger kali. Ehhh mbok Riri sing usil nyeluk-nyeluk awakmu. Sisan kon dandan karo ganti klambi ben bisa cepet dilabuhi pentase,” kata Pak Slamet yang jemari tangannya masih disibukan menyiapkan alat pengiring tarian.

“Nggih, Pak. Mungkin Riani sing salah mireng,” jawab Riani sedikit ragu.

“Riri, ayo cepet dandan, malah dolanan banyu bae. Gagehan ganti klambi ben ndang rampung ki pentase,” teriak Riani pada Riri yang sedang asyik bermain air.

“Iya, iya, aku tek mentas kie ...,” jawab Riri sambil berlari menuju Riani.

Riri pun bergegas mengambil peralatan make up nya dan berias di samping Riani. Riani sedang melilitkan jarit di tubuhnya dan memakai kebaya yang sudah disiapkannya. Riani masih dihantui rasa penasaran siapa yang sedari tadi memanggil-manggil namanya.

Riani dan Riri pun selesai berias, mereka berdua bersiap untuk menari di Pulau Bestari menyambut wisatawan yang datang berkunjung ke pulau yang masih asri dengan hutan dan karangnya. Para penabuh dengan alat musiknya pun sudah bersiap.

Perahu-perahu wisatawan mulai berdatangan membawa wisatawan dari berbagai penjuru nusantara. Riani dan Riri bersiap untuk menari mengikuti alunan merdu dari seperangkat gamelan. Lemah gemulai mereka mengikuti tabuhan musik.

Beberapa wisatawan datang melihat lebih dekat sang penari, sedangkan wisatawan lainnya mulai asyik dengan pasir pantai yang putih dan air laut yang begitu jernih. Selang beberapa waktu, Riani kembali mendengar namanya disebut. Seseorang dari kejauhan terus memanggil namanya dari yang samar hingga begitu terdengar jelas.

Namun, suara itu hanya bisa didengar olehnya, musikpun semakin lama semakin keras dan bersemangat. Wisatawan mulai datang menghampiri kardus air mineral yang sengaja dipasang guna memudahkan pengunjung yang ingin memberikan sedikit uangnya.

Musik pun perlahan mulai berhenti disusul tarian Riani dan Riri yang selesai. Wisatawan yang tadi berdatangan sudah mulai asyik dengan dunianya, menjamah pasir pantai, befoto di antara karang hingga menjelajah hutan, mengamati binatang hutan yang masih liar berkeliaran.

“Riri, pas tadi kita nari, kamu denger ada orang yang manggil-manggil namaku gak?” tanya Riani penasaran dengan suara yang didengarnya.

“Hahhh??? Oh iya???” Riri kaget.

“Hiii, lha awakmu gak denger sama sekali kah? Asli gole nyeluk seru banget. Aku kaya ora asing karo suarane,” jelas Riani.

“Lha, jal aku tek takon, awakmu kait mau mangkat ki pancen wis aneh banget. Ya ngalamun lah, kaya lagi mikir sing abot-abot. Terus siki jere ana sing ngundang awakmu. Emang awakmu lagi mikiraken opo, jujur bae wis,” tanya Riri yang bingung dengan sikap aneh Riani.

“Sebenere ... “ Riani mulai menceritakan unek-unek yang ada dalam lubuk hatinya. Tetapi sebelum dirinya menjelaskan rupanya Pak Slamet sudah meminta Riani dan Riri untuk kembali menari lagi menyambut rombongan wisatawan yang datang. 

Riri yang penasaran terus mencuri pandang sahabat kecilnya. Bahkan Riri melihat keanehan dari raut wajah Riani yang menatap kosong lautan lepas di depannya. Tarian lengger yang dipersempahkan di Pulau Bestari rupanya mampu membuat wisatawan takjub. Tepuk tangan dan saweran datang bergantian.

Tak terasa sudah memasuki waktu lohor, para penabuh gamelan dan penari pun beristirahat di saung. Bekal yang sudah disiapkan dari rumah mereka buka dengan suka cita. Daun pisang jadi alas nasi dan lauk pauknya. Pak Slamet mendahului mengambil makanan yang sudah disiapkan istrinya, ayam goreng kampung, sambal, sayur kangkung dan nasi jagung jadi menu mereka.

Lagi-lagi Riri melihat keanehan dari Riani yang duduk sendiri menyandarkan dagunya pada siku yang diletakannya pada dinding saung. Riani terus saja menghela nafas panjang. Riri yang geram pun akhirnya mendekat dan memaksa Riani bercerita tentang masalahnya.

“Awakmu jere arep cerita mau, jal ditokna bae ben atimu plong, awakmu ya ora ngalamun bae. Ora apik nang tempat kaya kie ngalamun bae lho,” cecar Riri.

“Ri, pas mbiyen SMA, awakmu kemutan Gilang apa ora?” tanya Riani dengan tatapan sendu.

“Gilang???” Riri berusaha mengingat. “Oh ... Gilang sing ninggal gara-gara nulungi awakmu pas lagi observasi kae kan?” tanya Riri.

“Iya, mbiyen pas lagi pelajaran Biologi awake dewek kan observasi persis neng tempat iki. Persis neng kono, dewek nggoleti kewan laut. Aku olih ubur-ubur pas ganu, awakmu kan olih bintang laut, lah Gilang olih bulu babi. Awakmu kemutan, Ri?” ujar Riani.

“Aku kemutan, terus bar wis rampungan pada renang kan?” ucap Riri. 

“Sedurunge kue, Gilang ngomong tresna ming aku. Aku juga sebenere tresna karo Gilang, pas kue aku durung jawab, aku esih isin karo Gilang, Ri. Aku mung ngomong butuh waktu. Gilang ngeiyani jerene ora papa, Gilang siap ngenteni jawabanku,” terang Riani sambil menundukan pandangannya.

Riani pun melanjutkan ceritanya, “Dewek pada renang bareng, rasane seneng banget, tapi ora let suwe udan gede banget, banyune juga pasang. Pas kue aku ngerasa kaya ana sing narik aku, Ri. Terserah awakmu percaya apa ora, wis kaya kue aku kaya ditarik ming njero banyu sing mandan jero. Gilang menangi terus nulungi aku,” ungkapnya.

Riani pun tak sanggup melanjutkan ceritanya lagi, air matanya terlanjur menetes ketika mengingat kejadian 10 tahun silam. Riani pun bergegas membasuh air matanya.

“Sing sabar ya, Gilang wis tenang nang kana. Meskipun ngasih gutul saiki dewek juga ora tau menangi jasade,” Riri pun tanpa sadar ikut meneteskan air matanya.

“Ri, jujur aku ngrasa bersalah banget, andai pas wektu semono Gilang ora nulungi aku. Mesti Gilang saiki teksih ana kan?” tutur Riani sambil menahan tangisnya.

“Wis, aja diteruske. Kejadian kue wis sue banget. Awakmu ora olih ngomong kaya mau maning. Sing wis ya wis. Diikhlasaken bae ya, ben Gilang ya ngrasa tenang nang kana,” hibur Riri sambil memeluk Riani.

Riani menangis sesenggukan di pundak Riri. Para penabuh gamelan pun akhirnya penasaran dengan apa yang terjadi, terutama Pak Slamet yang sedari tadi mengamati.

“Wis, Nduk saiki awakmu pada maem disit. Bar kie kan arep labuh maning. Sing wis ya wis. Saiki tinggal didongakna bae ya,” ujar Pak Slamet menasehati.

Riani pun berusaha menenangkan diri dan membasuh air matanya. Dalam hatinya, Riani terus saja meminta maaf atas kejadian di masa lalu yang merenggut nyawa orang yang disayanginya.

“Aku juga tresna karo awakmu, nanging durung sempat keucap. Muga-muga awakmu tenang nang kana. Aku ikhlas,” ucap Riani dalam hati sembari menatap pantai di depannya.

“Uwis tenang kan saiki, yuh semangat. Sing mau nyeluk-nyeluk awakmu kue mung halusinasimu bae, makane aja sok ngalamun ya. Nek ana masalah cerita ming aku,” hibur Riri.

“Suwun ya, Ri. Awakmu pancen top markotop,” kata Riani sambil mengacungkan jempolnya.

Mereka pun memulai tarian lengger di Pulau Bestari, menghantarkan para wisata kembali pulang hingga menjelang sore. Selepas senja, Riani beserta rombongannya berkemas dan bersiap untuk kembali pulang menyeberangi lautan luas yang menyimpan kenangannya.

“Karena setiap yang lahir pasti akan kembali ke pangkuanNya. Gilang, wis 10 tahun awakmu ninggalna dunia kie. Sing tenang ya, Lang. Aku juga sayang awakmu. Aku tresna, Lang. Nek udu gara-gara awakmu mungkin saiki aku ora numpak perahu iki nyebrang ming Pulau Bestari. Mugi-mugi ono tawaran maning, dadi bisa pentas neng Pulai Bestari. Aku pamit ya, Lang,” batin Riri sambil matanya berkaca-kaca melihat luasnya samudra. 

Ikuti tulisan menarik Lilian Kiki Triwulan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu