x

Iklan

Annisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Senin, 15 November 2021 05:44 WIB

Rumah Kisah

Cerpen yang mengisahkan mengenai berbagai kisah dan peristiwa yang berlalu lalang di bawah atap rumah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mbak,muridmu datang!” seru adikku.

            Aku bergegas memakai kerudungku dan segera menuju ruang tamu untuk mengajari mereka. Mereka ada sekitar dua orang, berumur enam dan tujuh tahun. Mereka berdua Icen dan Maliha. Ada tiga sesi aku mengajar, setiap mengajar ada dua sampai tiga orang dengan durasi setiap sesi satu jam. Selain TK dan SD aku juga mengajari anak SMP, walau hanya satu orang. Untuk TK dan kelas satu SD aku mengajari mereka membaca, menulis, berhitung, hingga membantu mereka dalam mengerjakan tugas sekolah. Sedangkan untuk kelas dua SD hingga satu SMP aku membantu mereka mengerjakan tugas dan memahami materi sekolah.

            Awal mula aku membuka les-lesan atau bimbel ini adalah ketika ibuku menceritakan kepada orang-orang bahwa aku membuka jasa mengajar pelajaran ketika sedang berbelanja di tukang sayur. Mulanya hanya dua orang, tapi alhamdulillah terus bertambah seiring panjangnya peraturan PPKM selama pandemi ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mbak, nanti pulang jam berapa?” tanya Icen kepadaku.

“Belajarnya baru dapat sepuluh menit dek, kok minta pulang. Kamu kan datang jam delapan, nah jam sembilan kamu baru boleh pulang. Selesaikan dulu tugas sekolah kamu,” jawabku sambil tersenyum.

“Halah... kok lama banget sih mbak,setengah jam saja ya belajarnya,” seru Maliha sambil memelas.

Ndak bisa dek, kan sudah ada jadwalnya. Kita belajarnya selama satu jam, nanti kalau kurang dari satu jam terus sudah selesai, mbak Ica dosa dong karena korupsi waktu. Sselain itu, kasihan ibu sama bapak ludah bayar les tapi ternyata anaknya jua sebentar dapat ilmunya, mana sedikit lagi,” jawabku kepada mereka.

            Hal yang paling aku suka ketika mengajari mereka adalah mereka selalu punya kisah yang unik dan aku selalu tak sabar untuk mendengar celotehan serta cerita mereka. Masing-masing dari mereka selalu memiliki ekspresi tersendiri dalam menceritakannya. Hal inilah yang membuatku selalu menantikan cerita mereka. Cerita merekalah yang terkadang menghilangkan rasa penat dan jenuhku. Cerita, ocehan, celotehan, atau bahkan tawa mereka bagaikan penghilang stressku tatkala penuh akan tugas dan acara.

            Alarmku berbunyi. Itu pertanda bahwa jam pelajaran telah selesai dan waktunya untuk berganti sesi. Mereka pun segera bergegas mengemasi buku mereka, lalu memasukkannya ke dalam tas. Kusiapkan mereka untuk berdo’a. Setelah do’a selesai mereka baru boleh pulang.

“Tok, tok, tok. Assalamu’alaikum.” Seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun mengetuk pintu.

“Wa’alaikumusssalam. Iya dek, silakan masuk.”

Anak laki-laki itu melangkah masuk ke dalam rumah dengan malu-malu. Anak laki-laki itu bernama Raka. Anak pemilik toko di depan rumahku sekaligus tetanggaku. Sudah hampir dua minggu ia dititipkan untuk belajar bersamaku. Dia juga merupakan murid pertamaku.

“Sebelum belajar kita berdo’a dulu dek. Berdo’a dimulai.”

“Berdo’a selesai. Ada tugas ndak dek di sekolah?”

“Ada mbak. Tugasnya ada di buku tema halaman sepuluh sampai lima belas,” jawab Raka.

“Kalau begitu baca dahulu materinya, nanti mbak Ica jelaskan.”

Lima menit berlalu. Tiba-tiba Raka bertanya sesuatu yang aneh kepadaku.

Mbak,­ mbak Ica lahir dimana?” tanyanya tiba-tiba padaku.

“Hmm... mbak Ica lahir di Madiun. Kalau kamu lahir dimana?” tanyaku basa-basi.

“Kalau aku lahirnya di panti.” Jawabnya kemudian dengan raut muka yang agak sedih.

“Kata siapa kamu lahir di panti?” tanyaku dengan sedikit terkejut.

“Ya tahu lah... aku kan sering main handphone. Oh ya mbak, mbak Ica pernah dimarahi ibu mbak Ica nggak?” tanyanya penasaran.

“Ya tentunya pernah lah dek,” jawabku padanya. “Memangnya kamu tadi dimarahi ibumu?” tanyaku kemudian.

“Ya nggak hari ini sih, tapi sering aku dimarahi ibu.”

“Hmm... mungkin kamu yang nakal atau kamu punya salah ke ibu jadi begitu. Lain kali kalau punya salah langsung minta maaf ya!” nasihatku padanya.

***

            Malam ini tidak ada jadwal mengajar, aku dan keluargaku seperti biasa berkumpul dan nerbincang-bincang. Membicarakan hal-hal menarik di hari ini.

“Buk, tadikan kula ngajari Raka, kok Raka bisa tahu kalau Raka bukan anak mbak Tarsi?”

“Hmm... Mungkin karena feeling kali ya. Kalau nggak gitu pasti karena ada temennya yang ngolok-olok kalau Raka itu bukan anak kandung mbak Tarsi. Jadi Raka bertanya-tanya apakah benar Raka itu anak mbak Tarsi atau bukan. Soalnya kemarin pas ibu belanja di toko mbak Tarsi, mbak Tarsi cerita pas lihat sinetron Raka tanya ke mbak Tarsi. Raka tanya kalau Raka itu dulu lahir dari perut mbak Tarsi atau bukan,” jawab ibuku.

            Aku mengerutkan kening, “Kok Raka bisa tanya gitu buk?” Tanyaku penasaran.

“Oh... Ituloh, kan mbak Tarsi suka liat sinetron ‘Dari Atap SMA’, kan di sinetron itu ada tokoh namanya Bulan. Nah, si Bulan itu ceritanya ternyata bukan anak asli ibunya. Terus tiba-tiba si Raka nyeletuk begitu.”

“Kalau teman Raka yang ngolok-olok kalau Raka bukan anak mbak Tarsi itu siapa?”

Entah... ibuk juga lupa, tapi pokoknya dulu itu ada. Teman sekelasnya. Sampai mbak Tarsi sama suaminya muruki anak itu...”

“Tapi kan masa temannya tiba-tiba tahu kalau Raka bukan anak mbak Tarsi,” celetukku lagi

Halah, palingan itu sibuk temennya ember, kan hampir semua arang di desa ini tahu asal-usul Raka,” sela adikku dengan nada agak sinis.

            Aku berpikir sebentar, betul juga kata adikku, kemarin ketika aku mengajar les ada salah satu muridku yang berkata bahwa sebenarnya Raka itu bukan anak mbak Tarsi. Ketika ku tanya, kata muridku ibunyalah yang memberitahunya. Yah... sepandai-pandainya orang menutupi rahasia, pastilah ada yang akan mebocorkannya.

“Tapi Raka beruntung ya di asuh mbak Tarsi. Walau bukan anak kandung, mbak Tarsi sayang sekali sama Raka.”

“Iya, tapi sayangnya si Raka itu mbeler, selalu membuat mbak Tarsi pusing tujuh keliling. Masa ada tugas dia sekolah ndak mengerjakan, kejaannya main terus,” cerita ibuku.

“Iya lho buk, masa pas kula ajari Raka selalu nganyang,” sahutku.

“Lha kok sama kamu, dulu pas sebelum daring, si Raka nggak mau mengerjakan tugas, untungnya gurunya sabar. Padahal mbak Tarsi sudah mencoba banyak cara. Mulai dari memberi reward setiap Raka ngerjain tugas, mengabulkan semua permintaan Raka, sampai undang guru privat juga. Kemarin nih ya, si Raka minta dibelikan pentul, lah terus sama mbak Tarsi dikasih syarat bakal dibelikan kalau semua tugasnya Raka selesai.” cerita ibuku lagi.

“Terus tugasnya nggak selesai semua,” timpalku.

“Ya begitulah Raka,” sahut ibuku.

            Tapi dibalik kebadungan Raka selalu terselip hal-hal yang membuat aku terkejut,  seperti ketika ibunya sakit. Ketika ibunya sakit tenggorokan Raka setiap malam selalu membuatkan ibunya jamu atau minuman hangat. Ketika kutanya dia dapat dari mana resep itu ia menjawab bahwa ia mencari sendiri resep tersebut di youtube. Sebenarnya ia adalah anak yang pandai jika ia rajin dan tidak malas belajar. Ia lebih menyukai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan tangan. Hal paling lucu yang aku ingat mengenai Raka adalah ia menyatakan kalau ia anak badung, ia sangat bangga ketika mengatakannya. Walau ia mengatakan ia anak badung dan bangga dengan itu, tapi sebenarnya ia tidak tahu makna badung yang sebenarnya. Sungguh lucu sekali anak ini.

            Hal lucu lainnya yang pernah aku dengar dari anak-anak adalah ketika mereka meggosipkan orangtua mereka. Pernah suatu hari ketika aku sedang mengajari anak TK kelas satu datanglah anak-anak kelas empat dan lima. Karena jam belajar mereka belum dimulai, kusuruh mereka menunggu sebentar. Sambil menungguku mereka berbincang-bincang bertiga dengan ibuku yang sedang menjahit. Mereka membicrakan bahwa sangat tidak suka jika orang tua mereka menceritakan keburukan mereka dan membanding-bandingkannya dengan anak tetangga. Salah satu dari mereka berkata, “Aku ingin balas dendam ke ibuku, tapi takut dosa, tapi kalau nggak begitu ibu selalu gibahin sama banding-bandingin aku terus.” Aku dan ibuku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, hingga aku lupa sudah sampai mana soal yang aku ajarkan karena cangking lucunya. Lucunya lagi, mereka meminta tolong ibuku untuk mengatakan kepada orang tua mereka untuk tidak menggibah dan membanding-bandingkan anaknya.

Ikuti tulisan menarik Annisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler