x

Sumber: Majelis Ulama Indonesia.

Iklan

Musaafiroh El Uluum

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Senin, 15 November 2021 06:01 WIB

Juliet Abad 21


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Tidak ... aku tidak akan mengulangi kekonyolan Juliet Abad ke-14.” Sembari memberi jarak beberapa langkah ke depan, perempuan itu menegaskan keputusannya. Sementara lelaki di belakangnya mulai merasa insecure mendengar kalimat itu.

# # # #

Angin mendesau kencang, menabrak setegak tubuh di seberang trotoar. Berdiri dengan gundah namun wajahnya menggurat sumringah. Air muka itu sesekali tercuri oleh jilbab yang dikenakannya. Seakan tak rela kembang yang ia balut rapat dilirik mata-mata nakal yang kebetulan melintas atau pun mencuri-curi pandang dari balik jendela mobilnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wajah itu kian berseri ketika mendapati seseorang tengah berdiri berseberangan dengannya. Keduanya saling melemparkan senyum sebelum satu dari mereka memutuskan untuk menghampiri.

“Yet, kamu banyak berubah,” lirih lelaki yang kini tepat di hadapannya. Ia sontak menaikkan sebelah alisnya lalu bertanya, “Apa?”

“Kian cantik.” Ia lantas tersenyum, menampakkan barisan kumis tipis di atas bibirnya. Sedang gadis itu ingin sekali berlari menyembunyikan rona yang tak lagi sama di pipinya.

Gadis yang “kolot” di pesantren semenjak lulus SD itu merasa kikuk bertemu lawan jenis yang hampir tak pernah terdengar “aumannya” kecuali Gus, anak kiai dan tukang azan di masjid seberang jalan.

Hingga lulus menengah atas pun, gadis itu masih “kerasan” di tempatnya menimba ilmu. Selama itu pula ia menyimpan benih-benih yang kian subur, hingga dirinya sendiri tak ingat kapan serbuk-serbuk magnet itu ia siangi.

“Astaghfirullah.” Seketika gadis itu tersadar karena telah lancang memikirkan yang tak pantas.

Kedua insan itu telah bercengkerama ria di atas kursi taman dekat danau di ujung senja, sampai sebuah suara menggegerkan ketenangan surya yang mulai padam. Menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Muda dan mudi itu pun menoleh ke sumbernya, lantas berdiri dengan mata berbinar setelah sebentuk rupa terlihat jelas dari balik masker yang disingkirkan.

“Ibu,” seru gadis itu lantas berlari menghampiri dan merengkuh tubuh wanita yang lama tak dijumpainya.

Ibu dan putrinya itu saling bercipika-cipika, mengurai rindu yang terpintal gulungan waktu. Sekian tahun, sejak dirinya masih balita. Hidup jauh dari orang tua, yang mengadu nasib ke negeri tetangga demi menyambung hidup yang jauh dari kata mampu.

Setelah sedikit lega dengan pertemuan yang singkat itu, mereka memutuskan untuk melanjutkannya di rumah. Namun tangan lembut milik gadis itu menghentikan langkah ibunya dan memberitahu bahwa ia belum lama melangsungkan perjumpaan dengan seseorang yang juga tak pernah ditemuinya.

Kilat mata wanita itu sekilas mengerling dan hendak menanyakan siapa gerangan yang tampan di taman itu. Akan tetapi rautnya berbubah, sorot matanya menajam mendengar nama pemuda yang keluar dari bibir putrinya.

Wanita dengan penutup kepala mirip selendang yang hanya disampirkan ujung kanan dan kirinya, serta beberapa anak rambut yang menyembul sana-sini itu segera menarik kuat lengan putrinya seraya berkata ketus,

“Usah kau bercakap dengan budak miskin macem tuh.”

Gadis itu teperangah. Ingin sekali ia mengelak, tapi genggaman ibunya terlalu kuat untuk dia lepaskan. Alhasil, ia hanya menurut dengan dengan sesekali menengok pemuda yang telah lebih dahulu berfirasat bahwa hal ini akan terjadi.

Binar di mata cemerlangnya kian layu, menyaksikan perlakuan yang masih sama dari orang tua karibnya itu.

Bagaimanapun ia sadar, dirinya bukan siapa-siapa. Hanya seorang piatu, anak petani yang penghasilannya tak seberapa.

<--more--># # # #

Di rumah

Gadis bermata bening itu hanya diam, termenung di atas kursi yang hampir-hampir reyot jika ditiup angin kencang. Beruntung perawakan mungilnya tak berefek apa-apa. Justru deritannya tersamarkan cericitan unggas-unggas yang memenuh angkasa, hendak kembali ke peraduannya.

Rona bahagia yang tadinya menggebu-gebu kini tinggal sunyi yang mendekap. Rindu itu seolah telah terkikis oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Bahkan sikap dingin ibunya menjalar ke tangannya, lalu merambah ke dalam seisi rumah.

Tak betah berlama-lama diam, gadis berjilbab itu segera beranjak tepat berkumandangnya azan magrib dari toak musala.

“Nak kemane, kau?” tanya ibunya, wanita di dekat pintu ruang tengah itu sinis.

“Ambil wudhu, Bu. Udah magrib,” jawabnya pelan sembari hendak berlalu.

“Ingat pesan ibu ...”

Ingat pesan ibu ... ucapannya terhenti saat mendadak notifikasi panggilan masuk berdering. Ia mencep, lantas me-reject nada pengingat prokes rilisan Padi di ponselnya, sejurus menatap putrinya yang berhenti di ambang pintu.

“Jangan lagi kau dekat-dekat dengan si Rom, siapa itu ... Romeo?”

“Romi, Ibu.”

“Ya, tulah, Romi.”

Roman gadis itu bertambah beberapa mili kesalnya. Rasanya dada mendidih dan ingin meledak setelah wanita itu kembali menghina sahabatnya.

Hampir saja sebuah tamparan mendarat di pipi gadis itu jika saja neneknya tak menghalau tangan wanita yang tak henti meluncurkan hinaan demi hinaan kepada orang yang tak kelihatan batang hidungnya sama sekali di rumah itu karena merasa putrinya terus saja membela pemuda yang sama sekali tak diharapkannya.

“Ini yang kau dapat dari pesantren? Melawan orang tua?” Wanita itu semakin muntab hingga napasnya ngos-ngosan.

Sedangkan perempuan ayu itu tertunduk lesu. Ia hanya pasrah. Tak ingin mendebat ibunya lebih jauh. Bisa-bisa bukan hanya sahabat, justru pesantren atau bahkan kiainya ikut-ikutan menjadi kambing hitam atas permasalahan antara ia dan ibunya.

“Oh ... jangan-jangan kau suka sama budak miskin itu, cinta, iye?”

Wanita itu terus saja menyudutkan dirinya. Memberondong pertanyaan seenak jidatnya hingga pada pertanyaan yang membuat gadis itu tak kuasa berkata apa-apa.

Sungguh, dilema yang tak pernah ia alami sebelumnya. Dihadapkan dengan pertanyaan yang bahkan ia sendiri tak tahu harus menjawab apa. Jika ia bilang iya, memang benar. Akan tetapi, sanggupkah ibunya menerima hal itu? Ia mungkin tak akan tinggal diam, mengetahui putrinya mencintai lelaki yang bukan pilihannya.

Namun, jika dirinya mengatakan tidak, maka itu berarti ia tak hanya membohongi satu objek. Tetapi semuanya–perasaan, dirinya, dan orang-orang yang dia sayangi. Ia lalu berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Terlintas dalam benaknya untuk men-skip sebuah permainan yang terlanjur ia mainkan, lalu kembali berjalan ke kehidupan yang sebelumnya tak ada kisah tentang harap dan kepastian. Atau menyusun rencana pertemuan antara ibu dan Romi, ketika pemuda itu telah sukses sesuai ekspetasi ibunya. Atau bisa juga ...

Ah, tapi itu semua hanyalah angan semata. Waktu berjalan begitu teratur, tanpa perlu di-restart, di-reset, bahkan di-skip sekalipun.

Ibunya tetap ibunya, yang angkuh dan keras kepala. Selamanya akan begitu.

# # # #

“Tidak ... maafkan aku. Ini adalah keputusanku, dan sudah bulat,” tegas seorang gadis berwajah rembulan, membelakangi seorang lelaki, air mukanya nampak kelelahan.

“Tapi, Yet. Tak ingatkah kau dengan kisah Romeo dan Juliet?” tanya lelaki itu.

Sedang gadis yang binar matanya mulai layu sedikit terbelalak. Lalu yang terlintas adalah julukan taman-teman semasa kecil yang disematkan kepada dirinya. Ya, Romeo dan Juliet. Namun kenyataannya namanya adalah Yeti, dan pemuda yang bersamanya kini adalah Romi.

“Mereka sepasang kekasih, dan selamanya akan begitu,” lanjut Romi.

Namun gadis itu tetap pada pendiriannya. Justru meminta Romi untuk tak lagi berusaha menemuinya. Mendengar hal itu Romi tak terima, lalu meminta penjelasan, musabab ia meminta hal itu padanya. Yeti bungkam, menciptakan keheningan antara keduanya.

“Ada yang harus dikorbankan untuk sebuah rasa yang diperjuangkan, Yet.” Pemuda itu mengambil posisi. Menambah kekalutan dalam hati dan pikiran Yeti. Dia tahu ke mana arah pembicaraan pemuda itu.

“Benar, ada yang harus dikorbankan,” jawab Yeti. Membuat redup di wajah Romi sedikit memudar.

“Keegoisan kita.” Plasss. Hati pemuda itu mencelos. Setelah merasa ada yang seserpih harap yang menerbangkannya, tiba-tiba kembali dilempar ke jurang paling curam.

Bagaimana bisa cinta disebut sebagai keegoisan. Ia sama sekali tak habis pikir.

“Dengar, Yeti. Juliet mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan cinta yang hanya dipersembahkan untuk kekasihnya, Romeo. Agar mereka bisa hidup bersama.”

“Tapi apakah mereka benar-benar hidup bersama?” Yeti menyanggah perkataan Romi. Gadis itu sendiri tak habis pikir, pemuda yang dikaguminya itu bisa kehilangan akal karena cinta. Apa dia lebih memilih jalan seperti kisah kasih itu. Membuat dirinya semakin yakin untuk mengatakan semuanya.

“Yang mereka dapat bukan kebahagiaan. Justru luka baru yang ditinggalkan. Karena apa? Karena mereka egois. Hanya melihat dari satu sisi. Yang dihiraukan hanya hasrat mereka sendiri dan tidak memikirkan perasaan orang lain, terutama orang-orang yang kehilangan.” Perempuan itu menggebu-gebu, menggamblangkan kesalahan makna cinta yang dianut dua tokoh legendaris yang dielu-elukan para kasmaran.

“Yet ...,” Baru saja pemuda itu angkat bicara, Yeti buru-buru memotongnya.

“Tidak ... aku tidak akan mengulangi kekonyolan Juliet abad ke-14.” Sembari memberi jarak beberapa langkah ke depan, perempuan itu menegaskan keputusannya.

Sementara lelaki di belakangnya mulai merasa insecure mendengar kalimat itu. Tak berselang lama, ada seserpih harapan di mata lelaki penuh kasih itu. Ia lalu menyodorkan pertanyaan yang ia yakini akan membesarkan hatinya,

<--more-->“Apa kau mencintaiku?”

Lagi-lagi Yeti dihantam pertanyaan macam itu. Kenyataan bahwa ia memang mencintainya, dan lelaki itu pasti telah menaruh harapan jika jawabannya adalah iya. Maka ia akan bahagia. Namun tidak bagi Yeti, ia menganggap pertanyaan semacam itu merupakan bumerang. Diiyakan salah, dipungkiri juga salah.

“Katakan, Yeti. Apa kau tidak mencintaiku?” laki-laki berkumis tipis itu terus mendesak seiring kepercayaan pada dirinya tergerus angin yang sedari tadi lalu lalang di antara pembicaraan mereka.

“Tidak!” Tak terasa air telah menggenangi seluruh badannya. Ya, aliran bening yang membaur dengan rinai senja. Ia berharap suaranya tek terdengar oleh Romi karena tersamarkan bunyi gaduh air yang tumpah ke jalanan.

Sayangnya, Romi telah terlebih dahulu mencuri-dengar setelah angin saling berbisik dengan dedaunan beringin, dan kurang dari sedetik sebelum rintik senja menyentuh bumi.

Telinga pemuda itu bagai disambar petir, dadanya bergemuruh. Tak kalah hebat dengan huru-hara tegangan-tegangan yang saling bertabrakan di atas sana.

Perempuan itu terkulai, tak berani menoleh ataupun menatap mata milik pemuda yang selama ini dikaguminya itu. Menutup mulutnya rapat-rapat, menahan agar tak menarik perkataan yang baru saja diucapkannya. Walau jiwanya meronta-ronta. Sedang si lelaki menghampiri lalu berkata,

“Baiklah, Yeti. Aku sudah mendengarnya langsung darimu. Kenyataannya, kau memang tidak mencintaiku. Maaf, ini semua salahku. Aku terlalu berharap. Aku yang salah.”

Dengan bibir bergetar, ia meninggalkan Yeti. Membawa rasa bersalahnya pergi dan berlari.

Sementara Yeti, gadis itu bergeming di bawah guyuran hujan. Isaknya semakin keras, hingga mengguncang seluruh tubuhnya. Maaf, satu kata sebagai penutup pertemuan dua insan yang saling mencintai, akan tetapi memutuskan untuk sama-sama mengakhiri.

Sungguh, kisah yang sangat mengiris. Bahkan, ramuan termujarab manapun tak sanggup menutup luka yang terlanjur menganga.

Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Tak terlihat lagi lampu-lampu penerang di tepian jalan. Langit pun berhenti menumpahkan airnya. Beberapa detik kemudian riuh tepuk tangan mengudara setelah sesaat tejadi keheningan. Barisan lighting panggung kembali menyala, lalu tirai besar menyingkap tampang-tampang lelakon sandiwara serial “Juliet Abad Dua Puluh Satu”. Mereka tampak sumringah, merasa berhasil menghibur ribuan penonton yang rela membuang waktunya menyaksikan pertunjukan yang rutin diadakan Komunitas Pecinta Seni dan Pemerhati Lingkungan Sekitar sebulan sekali.

Dari ritme gerakan tangan, mimik wajah yang terbawa emosional drama, tarikan lebar bibir, serta siulan-siulan penonton, tampak sekali mereka setuju jika suguhan anak-anak bangsa itu disebut-sebut sangat menginspirasi.

Ikuti tulisan menarik Musaafiroh El Uluum lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler