x

Iklan

Ayn Zafira

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 November 2021

Selasa, 16 November 2021 12:23 WIB

Pot Semen Ibu


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sedari tadi aku mengamati ibu yang berjongkok di depan tanaman bunga anyelir berkelopak merah muda yang tertanam di potnya yang terbuat dari semen. Menurut pengakuan ibu, pot itu dibelikan oleh bapak saat mereka baru menikah. Pot berukuran sedang yang aku taksir beratnya bisa mencapai enam kilogram. Separuh pot itu dilahap oleh lumut.

            Tiba-tiba ibu berdiri dan membungkuk mengangkat pot semen itu. “Ibu!” Aku nyaris memekik. Bergegas ke luar menghampiri ibu.

            Aku tak pernah mengerti mengapa ibu senang merubah posisi pot itu sendirian. Kebiasaan ini dimulai sejak aku mendengar pecahan kaca dari kamar ibu dan bapak. Aku tempel telingaku ke dinding dingin yang memberi batas. Nihil. Aku tak dapat menangkap apa yang mereka bicarakan, hanya tarikan ingus ibu saja yang jelas terdengar. Malam itu aku nyaris tak dapat tidur. Mereka bertengkar. Itu yang aku simpulkan. Sudah lima belas tahun kami seatap, sekalipun aku tak pernah mendengar atau melihat mereka cekcok. Seperti kata teman-temanku, kami seperti keluarga cemara. Keharmonisan kami tak pernah dibuat-buat dan tak pernah pudar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Dua hari kemudian tak sengaja aku menangkap basah ibu sedang menangis di depan tanaman bunga anyelir itu. Aku tanyakan mengapa ibu menangis, ia hanya menggeleng dan langsung menghapus air mata yang mengalir di pipinya yang sudah kendur dimakan waktu, sambil berjongkok menatap bunga yang terpancang di pot semen itu ia bercerita sejarah pot semen yang dibeli oleh bapak tujuh belas tahun yang lalu. Aku tak pernah mengerti mengapa ibu begitu menyukai pot semen itu. Aku juga tak pernah mengerti mengapa harus ditanami oleh bunga anyelir berkelopak merah muda. Ketidakpahaman ini pernah aku tanyakan langsung pada ibu. “Karena Ibu ingin menjadi seseorang yang setia.” Jawaban itu semakin membuat aku tidak mengerti. Apa hubungannya antara pot semen, bunga anyelir, dan kesetiaan?

Ibu beranjak dan membungkuk. Ia berusaha mengangkat pot bunga itu bersusah payah. Aku ikut beranjak dan menepis tangan ibu. Biarkan aku yang memindahkannya. Saat itu ibu membalas tepisan tanganku. Ia marah karena telah menganggap dia perempuan tua yang tak bisa apa-apa. Aku hanya diam. Dua minggu kemudian aku mendapati ibu yang sedang mengangkat pot semen. Lagi-lagi ibu memarahi aku yang ingin membantunya.

            “Ibu bukan nenek-nenek. Ibu masih kuat,” ibu menyanggah.

            “Nanti pinggang Ibu sakit lagi. Ibu lupa kata dokter kemarin? Bukan masalah kuat atau tidaknya, Bu. Aku tahu Ibu masih kuat. Tapi Ibu juga harus menyayangi diri Ibu sendiri, aku tak pernah sanggup melihat Ibu merintih kesakitan karena sakit pinggang Ibu kambuh.” Air mataku nyaris menetes. Kesal melihat ibu yang sangat batu.

Ibu hanya diam menatap mataku.

“Ibu…”

Aku mencoba melunak dan membujuk ibu.

“Ibu akan memindahkannya sendirian selagi ibu bisa mengerjakannya sendirian.”

            Ibu menatapku dengan ekspresi yang tak dapat aku terjemahkan. Terik matahari begitu menyengat menembus rohku. Aku menjadi gagu. Diam. Membiarkan ibu yang melanjutkan pekerjaannya memindah posisi pot semen berisi bunga anyelir.

***

Malam begitu sepi. Sepertinya malam ini jangkrik tengah bercuti, meliburkan diri. Aku diam di kamar sambil memikirkan mengapa ibu sangat tak ingin dibantu. Begitu berharganyakah pot semen pemberian dari bapak itu? Ada banyak sekali tanda tanya yang bertengger dalam pikiranku. Terkadang aku begitu penasaran hal-hal yang ibu simpan dalam hatinya. Ibu tak pernah bercerita banyak padaku, hanya sejarah pot semen itu yang selalu ibu gaungkan. Aku juga tak pernah memaksa ibu untuk bercerita. Aku tahu, ibu akan bercerita jika ia ingin menceritakannya padaku.

            Aku tersentak ketika mendengar bentakan dari kamar ibu dan bapak. Suara laki-laki. Suara bapak. Mengapa bapak membentak ibu? Jantungku menderu dengan kencang. Aku terkesiap mendengar pintu kamar ibu terbuka dan tertutup dengan keras. Langkah kaki membuat penjuru rumah bergetar, aku menggigil. Begitu juga dengan pintu depan dan disambut suara mesin mobil yang menderu. Bapak pergi bersama mobil sedannya meninggalkan luka. Air mataku tak dapat terbendung. Mengalir begitu deras. Aku tak pernah mengerti tentang apa yang sudah terjadi.

            Ayam jantan belum melek. Dingin menusuk tulang. Aku dapati ibu dengan tatapannya yang kosong. Aku tak berani menanyakan perihal bapak. Hendak menghampirinya. Lalu enggan dan lari ke kamar. Membenamkan wajah ke bantal dan membuat aku sesak. Aku menangis.

            Entah berapa lama pagi itu aku menangis. Aku terjaga kembali pukul enam pagi dengan mata yang bengkak. Aku mengetuk kamar ibu. Aku mengajak ibu untuk sarapan. Lagi-lagi berbagai tanda tanya itu mengambang dalam benakku.

            Rupanya ibu sudah menyiapkan sarapan lebih dulu. Tiga piring disediakan ibu. Aku duduk dengan tenang dengan pikiran yang berlarian ke sana kemari menunggu ibu. Tak seperti biasanya pagi ini ibu terlihat kacau. Rambut awut-awutan, matanya yang kosong, dan kali ini ibu terlihat sepuluh tahun lebih tua. Tak ada dialog. Hanya suara sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring menghiasi sarapan pagi ini.

***

            Hampir sebulan bapak tidak pulang sejak kejadian malam itu. Telepon bapak tidak aktif. Saat aku coba hubungi kerabat bapak di Manado, bukannya mendapat jawaban, aku dibanjiri oleh pertanyaan dari mereka. Aku coba hubungi Bapak Suwarto, rekan kerjanya bapak yang juga sahabat karib bapak pun tak tahu keberadaan bapak saat ini. Menurut pengakuannya, bapak juga sudah lama tak bekerja. Buntu. Aku kehilangan arah untuk mencari keberadaan bapak. Ibu, ada apa sebenarnya? Aku bertanya dalam hati. Ragu menanyakannya pada ibu yang terlihat enggan berbicara banyak padaku.

            Sejak bapak pergi, ia tak pernah sekalipun mencoba memberikan kabar padaku atau ibu. Apakah bapak sudah tidak menyukai keluarga ini? Semua hal yang telah kami bangun telah ditiup angin. Hilang tak bersisa. Semua seperti rekaman yang diputar oleh kaset tua berulangkali hingga benangnya kusut dan putus.

            Ibu semakin sering memindah posisi pot semen pemberian dari bapak. Ibu yang dulu memindahkan sekali dalam dua minggu menjadi dua kali dalam seminggu. Ibu yang dulu memindahkan posisi pot semen itu dua kali seminggu kini nyaris setiap jam. Ibu juga semakin lama berjongkok menatap bunga anyelir berkelopak merah muda itu. Aku semakin gelisah. Ibu juga selalu mengusap-usap pinggangnya. Aku sampaikan padanya bahwa ingin membawanya ke dokter, namun ibu selalu menolak. Jika ibu berkata tidak, maka akan selalu tidak. Setiap kali aku ingin pemijat pinggang ibu atau sekedar memberikan salep, ibu selalu menolaknya. Ibu baik-baik saja. Itu yang selalu diucapkan ibu. Aku dan ibu juga semakin jarang bercerita. Matanya cekung, ibu semakin terlihat tua. Rasanya ibu kehilangan semangat untuk menjalani hari-harinya. Terkadang aku takut jika ibu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

***

Aku mengintip dari jendela. Mengamati ibu yang tengah sibuk dengan bunga anyelirnya. Dua puluh menit lamanya ia menatap bunga itu sambil berjongkok, lalu ia bangkit dan membungkuk. Ini sebuah ritual sebelum memindah posisi pot semen. Hari masih menunjukkan pukul sepuluh, tapi ibu sudah memindahkan pot itu lima kali ke sana kemarin, ke sisi dan sudut halaman rumah.

            Aku terbelalak melihat pot semen itu tiba-tiba jatuh saat ibu belum sepenuhnya menegakkan tubuhnya. Bergegas ke luar dan menghampiri ibu. Aku membanjiri ibu dengan berbagai pertanyaan mengenai kondisi ibu. Aku amati badannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pot semen itu tidak pecah, hanya terlihat retakan di bagian bawah. Ibu lunglai dan duduk di tanah dengan matanya yang kosong.

            Aku ikut duduk di depan ibu. “Bu, pot ini berat. Aku tahu Ibu masih kuat mengangkatnya. Tapi Ibu tidak sendirian. Kita bisa melakukannya bersama-sama.”

            Ibu menatapku. Air matanya mulai menguap. Ia memelukku dan tangisnya pecah. Aku diam mendengarkan tangisan ibu. Aku memeluk ibu dengan erat dan menepuk-nepuk punggungnya yang sudah mulai melengkung.

Ikuti tulisan menarik Ayn Zafira lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu