x

Iklan

Aldi AY

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 November 2021

Selasa, 16 November 2021 17:09 WIB

Masker yang Ingin Tersangkut di Monas

Sebuah cerpen tentang bumi setelah pandemi berakhir. Sudah siapkah kita?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pertama-tama biar kuceritakan tentang pantai ini dan hari ini. Hari ini adalah hari yang ke-7 sejak pandemi dinyatakan berakhir di dunia. Dan sekarang di sinilah aku, tersangkut di atas nyiur yang sedang melambai ditiup angin, di tepi pantai. Bisa kulihat, orang-orang berjualan, orang-orang berwisata, orang-orang pergi dan berdatangan. Namun juga bisa kulihat orang-orang itu tidak mendulang apa-apa. Orang-orang itu tidak tampak mendulang rupiah, orang-orang itu tidak tampak mendulang kebahagiaan. 

 

Sudah lebih dari dua minggu aku tersangkut di sini. Bahkan sejak sebelum orang-orang melepaskan masker mereka dan melemparnya ke langit di pantai ini seminggu yang lalu. Ya, langit, mereka melemparnya ke arah sana. Entah sebagai terima kasih kepada tuhan atau sebagai perayaan semata bahwa pandemi benar-benar sudah berakhir dan orang-orang bisa berbahagia. Ya, orang-orang. Bumi ini? Entah. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kebanyakan masker mereka hanya melayang sebentar. Sebagian jatuh, sebagian terbang bersama angin yang kebetulan berembus kencang. Yang terbang itu lalu jatuh dan bergabung bersama kaleng minuman di perempatan jalan, bersama plastik kresek di jalan perumahan dekat pantai, dan yang masih bisa kulihat, salah satu masker juga mendarat di atas ombak dan hilang ke laut. 

 

Oh, soal laut, kemarin sore aku juga melihat seorang nelayan bersandar di bawah nyiur ini sambil memperbaiki jaringnya yang sebagian jaringnya tersangkut dua buah masker. Nelayan itu baru pulang paginya, dengan ikan-ikan dan dan sekapal harapan, juga kerinduan kepada anak dan istrinya. 

 

Pada sore hari yang terasa biasa saja ini, aku melempar pandang ke sisi lain tanpa bermaksud mencari apa-apa. Dan kudapati beragam hal, yang satu pun tidak dapat memanjakan mata. Perihal mata, banyak mata yang kulihat di pantai hari ini. Banyak mata, dan mungkin hampir semuanya tampak tak menyiratkan apa-apa selain pandangan mereka yang terasa biasa saja. 

 

Aku tidak tau apa alasan orang-orang pergi ke pantai pada sore hari yang terasa biasa saja ini. Orang-orang memandang hampa ke laut. Seperti tidak ada yang mengerti untuk apa mereka pergi ke pantai hari ini. Ada dua orang yang bercakap-cakap di bawah nyiur ini. 

 

“Untuk apa kau ke pantai hari ini?” 

 

“Aku sudah lama tidak ke pantai. Sejak awal pandemi lah, kan sebisa mungkin hindari kerumunan. Mau keluar, bosan di rumah terus.” 

 

“Ooh. Apa yang kau cari ke pantai?” 

 

“Entah.” 

 

Dan mungkin, memang orang-orang pergi ke pantai bukan untuk mencari kebahagiaan. Melainkan hanya untuk pembuktian bahwa mereka sudah bebas dan pandemi benar-benar sudah berakhir, tanpa pernah bersiap sebelumnya. Sebab pandemi memang datang tiba-tiba, perginya juga tak disangka-sangka. Tidak semua memiliki persiapan untuk menyambut yang datang dan melepas yang pergi, menyambut hari-hari baru dan bermain dengannya. 

 

Lagi pula ombak sedang tidak bagus hari ini, entah mengapa ombak tidak pernah benar-benar sampai ke tepi, tidak pernah benar-benar sampai menyentuh pantai. Mereka pecah sebelum sampai ke pantai, persis seperti ketika ombak menghantam karang. Aneh memang, ombak bisa pecah ketika mereka menghantam sesuatu yang hampa. Atau mungkin ombak itu pecah ketika menghantam harapan? Kenyataan? Yang juga berasal dari tatapan-tatapan hampa orang-orang itu. 

 

*** 

 

Sekarang, biar kuceritakan bagaimana bisa aku sampai di atas nyiur ini, di pantai ini. Dahulu, ketika pertama kali aku melihat dunia, aku dibeli oleh seorang pria dengan jas necis dan mobil sedan berkilap. Di dalam mobil itu, aku melihat ada sebuah koran bergambar monas yang memberitakan tentang situasi pandemi di ibukota. Ia memakaiku tidak sampai satu hari. Kalau tidak salah, sekitaran sepuluh jam sebeum ia membuangku begitu saja. 

 

Banyak tempat yang aku singgahi bersamanya saat itu. Rumah, cafe, rumah makan, sampai kantor-kantor dan hotel. Dan setelah mengunjungi semuanya, ketika lampu merah akan berubah hijau, ia membuka sedikit kaca jendelanya. Kukira saat itu ia mau memberi seorang bocah pengemis beberapa ribu rupiah. Tapi ia melepasku begitu saja dan membuangku di perempatan yang aku tidak tau itu di mana. 

 

Kemudian lampu berubah hijau, bersama bunyi klakson dan kendaraan-kendaraan yang tergesa-gesa itu aku juga ikut diterbangkan angin. Jauh, jauh sekali sampai aku mendarat di pinggiran kota, di dekat dua orang bocah pengemis yang berbincang di sore hari yang terasa biasa saja. 

 

“Kau mau dapat uang tidak? Ada makanan juga.” 

 

“Mau, di mana?” 

 

“Di perempatan sana, ada yang bagi-bagi bantuan. Kau tinggal mau difoto pakai hape dia, lalu kau disuruh pasang wajah yang sengsara. Sudah. Lalu dia bicara dengan hapenya, seperti buat laporan pada tuhan kalau dia sudah berbuat kebaikan.” 

 

“Hah?” 

 

“Pokoknya seperti itu. Ayo cepat pergi!” 

 

“Oh, iya. Ayo pergi.” 

 

“Tunggu, kau juga harus pakai masker, harus patuh protokol katanya.” 

 

“Aku tidak punya masker.” 

 

“Ambil itu,” katanya sambil menunjukku, mengambilku, lalu pergi. 

 

Setelah berfoto, mereka menepi di pos polisi kosong di dekat perempatan itu. Membuka nasi kotak dan amplop, juga membuka masker mereka. Bocah yang satu membuang maskernya ke tempat sampah, bocah yang memakaiku meletakkanku di samping mereka. 

 

“Kenapa tidak kau buang?” tanya temannya. 

 

“Nanti pasti butuh lagi kalau ada bantuan.” 

 

Makan mereka lahap sekali. Lalu tiba-tiba angin berembus kencang, menerbangkanku lagi, tinggi sekali. Jauh. Melewati perempatan, melewati orang-orang yang kelaparan, melewati pekerja-pekerja yang terkena phk, melewati sekolah-sekolah yang sepi, melewati kantor-kantor yang lengang. Aku tertidur di ketinggian dan ketika bangun aku sudah berada di atas nyiur ini. 

 

*** 

 

Kulihat orang-orang bertambah ramai ke pantai di sore hari yang terasa biasa saja ini. Aku hanya melihat-lihat pemandangan sambil berharap angin kencang berembus lagi, membawaku ke tempat yang baru dan sunyi seperti di atas nyiur ini. Aku adalah masker, atau mungkin bisa disebut sampah yang penyendiri. Sebab aku tidak pernah ingin ada bersama teman-teman lain yang berada di bawah sana. Seperti teman-temanku yang di pertemukan di atas pasir sore ini. Seperti bungkus permen yang berteman dengan bungkus camilan, seperti puntung rokok dan kaleng minuman, dan juga seperti tusuk sate dan sendok plastik yang berserakan itu. Meskipun mereka berdua-duaan, tapi tak terlihat mesra sama sekali. Mereka berserakan di atas pasir di sore hari yang terasa biasa saja ini. 

 

Angin kencang belum datang, malam tampak masih jauh. Aku melihat-lihat sekeliling pantai ini sekali lagi, siapa tau pantai ini akan menjadi sesuatu yang aku rindukan setelah aku pergi diembus angin  kencang yang entah kapan datangnya itu. 

 

Pantai yang ramai, perasaan yang sepi. Aku semakin tak mengerti, banyak sekali orang-orang yang belum siap melepas pandemi pergi. Seperti teman-temanku itu, masih saja tergeletak di pasir yang membuat tak nyaman pemandangan. Juga orang-orang itu, mungkin juga semua orang-orang yang ada di pantai ini, belum siap menemukan kebahagiaan, mereka belum siap menemukan hal-hal baru yang harus ditemukan setelah pandemi. Apa kau tau? Apa yang ditawarkan pantai sore ini? Apa yang ditawarkan pantai ini seminggu setelah pandemi? Biar kuceritakan lagi, sebelum aku benar-benar pergi dan terbang bersama angin yang entah kapan datangnya itu. 

 

Sampah-sampah. Teman-temanku yang tergeletak di bawah nyiur ini dan sampai ke ujung sana, sebenarnya enggan berada di sana sebab bagi mereka pasir tidak bisa menawarkan masa depan, apalagi daur ulang. Ombak yang tampak gamang itu juga bercerita padaku dalam bahasa kalbu yang tidak akan pernah bisa kau dengar dan mengerti bahwa ia enggan menyentuh pantai, sebab ia tak ingin membawa sampah ke laut, sebab ia tak ingin laut marah lagi. Jadilah ia hanya  berombak namun tidak sampai ke tepi pantai. 

 

“Kenapa laut marah?” tanyaku berteriak. 

 

“Sebab dari hulu dan sepanjang sungai, sudah banyak yang bermuara padanya.” Ia menjawab sambil berteriak juga karena posisi kami yang berjauhan. 

 

“Apa saja?” tanyaku lagi yang juga berteriak. 

 

“Keringat dan air mata. Rasa lelah dan keringat penambang batu dan pasir di sepanjang sungai, kegelisahan orang-orang di tepian sebelum mandi, air mata seorang ibu yang ia curahkan sambil mencuci pakaian, dan banyak lagi. Kau tau? Itulah mengapa air laut asin. Sebelum bermuara ke laut, air sungai sudah banyak membasuh sesuatu lalu membawa keringat dan air mata. Tapi ini hanya kita yang tau, benda-benda dan mahluk selain manusia. Kalau menurut mereka, laut asin karena mengandung garam.” 

 

“Hm, iya.” Aku hanya bisa menjawab iya sambil bergumam. 

 

“Itulah mengapa aku enggan menyentuh pantai. Laut akan marah jika aku membawakan sampah dari orang-orang yang bertamasya.” 

 

Sedang aku, tidak tau akan bermuara ke mana. Sambil menunggu angin yang entah dari mana yang entah membawa cerita apa, aku memejamkan mata. Tidak berharap tertidur, hanya meresapi suara-suara di pantai ini yang mungkin akan kurindukan pada hari-hari berikutnya. Kepak camar yang sesekali terdengar merdu, ombak yang terdengar gamang, lalu bunyi bungkus plastik makanan terinjak kaki. Suara anak-anak, suara pedagang yang menawarkan dagangan, suara kendaraan berlalu lalang, lalu bunyi botol yang ditendang. Suara lirih nyiur diterpa angin, suara botol kaleng minuman dibuka, lalu suara manis anak-anak yang menawarkan suvenir. 

 

*** 

 

Aku adalah masker, atau mungkin bisa disebut sampah yang penyendiri. Sekarang aku sedang terbang diterbangkan angin sambil melihat-lihat pemandangan. Sesekali menyapa teman-temanku: kaleng minuman di trotoar, plastik kresek di depan kantor, botol air mineral di parkiran minimarket, dan teman-temanku lainnya yang tidak sampai ke tempat sampah. “Halo, teman-teman,” sapaku pada mereka dari ketinggian. Sekarang aku semakin jauh terbang dan semakin tinggi, melewati gedung-gedung yang sudah kembali ramai, melewati pabrik-pabrik yang beroperasi lagi, melintasi pulau-pulau yang tidak tampak sepi lagi, menyeberangi lautan yang sudah sibuk lagi. Sambil aku berangan-angan biar nanti bisa mendarat di puncak monas, lalu melihat-lihat Jakarta dari ketinggian. 

 

Bonjol, Oktober 2021

Ikuti tulisan menarik Aldi AY lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler