x

Bunga Senja

Iklan

Ade Aulia Ashlah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 17 November 2021 06:01 WIB

Kesempatan

Tentang Arunika dan kesempatannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lengan lentiknya tidak berhenti untuk mengganti lembaran demi lembaran buku yang ia baca. Telinganya seolah tuli akan ramainya anak kecil di tempat yang sama. Bola matanya bergerak seirama kata demi kata yang dibaca. Hembusan angin sudah memporak porandakan rambut cantik kesayangan sang pembaca.

Tepat di kata terakhir, ia menutup buku itu. Meminum sebentar es teh yang tidak bisa lagi disebut sebagai es. Sang pembaca itu bangkit dan keluar dari taman. Kakinya melangkah mendekati tempat yang diisi para pekerja di sore hari. Mengantri demi mendapatkan sebuah mesin berjalan untuk pulang ke kediaman masing-masing. Titik terlelah, tapi mampu menjadi tempat pelarian sebagian masalah.

Perkenalkan tokoh utama cerita ini. Dia, Arunika Setya. Seorang gadis berdarah Sunda yang sama sekali tidak mengenal adat istiadat Sunda. Lahir di Jakarta, 4 Juli 2004. Seorang gadis tunggal dalam keluarga yang terbilang sederhana. Seorang penyuka musik dan buku. Seorang gadis yang suka menyendiri, tetapi tidak suka merasa kesepian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baginya, menyendiri itu obat yang sangat ia butuhkan. Tapi, kesepian itu adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

Langkah sepasang kaki memasuki pelataran rumah yang terbilang sepi. Runi, sebutan gadis utama kita, menyalakan saklar tempat ternyamannya. Merebahkan tubuh dan membiarkan emosi ibunya nanti meluap ketika pulang mendapati barang berserakan.

Hari yang melelahkan, tapi amat ia butuhkan.

Keesokan pagi, burung berkicau menjadi alarm menyebalkan. Runi sudah siap dengan seragam putih abu-abu miliknya. Selesai, kemudian ia turun menuju tempat kedua orang tersayangnya sedang bercengkrama. Mencium pipi sang ibu dan sang ayah.

Setelah itu, waktu bergerak begitu cepat. Terbukti saat ini seseorang yang ia perhatikan tengah menjelaskan suatu hal yang membuat otak kecilnya pusing. Mungkin ia bisa dalam beberapa mata pelajaran, tapi sang pemikir di tubuhnya tidak sejenius itu.

“Runi, Jelaskan soal nomer 3!”

Sial! Tampaknya 3 adalah nomer yang ia benci mulai sekarang.

Tidak berjalan lancar. Buburnya terasa hambar akibat soal yang memalukan, ditambah pemandangan dua sahabatnya justru tertawa senang.

“Diamlah!” Tegasnya, tetapi membuat tawa mereka semakin menguar.

“Hahaha. Baiklah-Baiklah, maafkan kami.” Ucap Tika. Salah satu sahabat Runi sejak duduk di bangku kelas 10.

“Lagian lo tumben-tumbenan gak bisa jawab, Run.” Runi mendengus mendengar celetukan Kiko, sahabatnya yang lain.

Mereka bertiga adalah sahabat, tetapi tidak selalu berkumpul bersama. Aneh? Memang. Mereka adalah tempat berpulang ternyaman untuk masing-masing. Meskipun sangat sedikit waktu yang dihabiskan bersama, tapi itulah kenyataannya. Masing-masing dari mereka bertiga membutuhkan satu sama lain untuk mengisi daya.

 “Ekhem! ngomong-ngomong Run, sebentar lagi ada lomba cipta karya. Lo ikutan boleh kali.” Bersamaan dengan ucapan Kiko, jemari Runi berhenti memainkan sendok. Diam sejenak, selanjutnya menggeleng.

Kiko dan Tika mengehela nafas. “Run, coba dulu.” Bujuk mereka sekali lagi. Namun, nampaknya tidak berhasil.

“Gak dulu.” Balasnya.

“Sampe kapan, Run?” Jengah Tika.

“Sam-“

“Eh Runi! Untung ketemu lo di sini. Bentar lagi kan ada lomba cipta karya, gue mau minta pendapat lo tentang tulisan gue. Tolongin gue ya, Run.” Runi mengangguk dan menggeser tubuhnya untuk menyediakan tempat duduk bagi gadis itu.

Mereka berdua terlihat serius mendiskusikan karya tulis sang gadis. Runi tidak menyadari hawa panas di antara kedua sahabatnya menguar. Baru setelah 10 menit dan sang gadis itu pergi, Kiko dan Tika menatap menusuk ke arah Runi.

“Arunika Setya. Lebih dari 10 kali lo nyia-nyiain kesempatan besar. Gue udah angkat tangan sama lo!” Runi menatap kepergian Kika dengan pandangan lirih.

“Run, dengerin gue. Gue tau tujuan lo itu bagus. Tapi, percuma. Kalo lo selalu ngasih kesempatan ke orang lain untuk menang, dan gak pernah ngasih kesempatan satu pun untuk diri lo. Run, hidup lo harus lo yang pegang kendali. Jangan terus jadi pendorong orang lain kalau lo sendiri justru mendorong diri lo jatuh.”

Runi terdiam. Buburnya bertambah hambar ketika Tika meninggalkan kantin tanpa dirinya.

Ceklek

“Runi pulang.”

Ibu Runi tersenyum menyambut. Diserahkan tangannya untuk disalim Runi. Senyum lembut tadi berganti khawatir melihat anak tunggalnya terlihat letih.

“Kamu tidak apa-apa, Runi?” Dibalas dengan gelengan pasti.

“Makanlah dulu, nak.”

Selepas makan, pikiran Runi benar-benar membutuhkan air dingin untuk luruh. Walaupun setelahnya tidak ada perubahan yang ia rasakan. Tangan Runi membuka pintu balkon kamarnya, dan mata Runi menatap lelah ke arah jalanan ramai yang tersaji.

Runi, gadis itu terbiasa dimanja sedari kecil. Bukan dimanja dengan semua keinginannya dikabulkan, tapi dimanja dengan semua keputusannya boleh dia yang memutuskan. Sampai dimana pikiran Runi kalut karena tidak bisa mengenali pilihan yang harus ia ambil. Ia tidak tahu mengenai minatnya apa, atau lebih tepatnya ia tidak memiliki keyakinan akan hal itu.

Ia tertarik dalam bidang sastra, dan itu sudah terlihat. Kedua sahabatnya, para guru, teman sekelas, dan kedua orang tuanya mengetahui bagaimana keahlian Runi memainkan tipu daya dalam berkata. Berlembar-lembar puisi yang seharusnya sudah tercipta, justru terkunci rapat dalam ingatan Runi. Berlembar-lembar karya tulis yang mampu memenangkan teman-teman sekolahnya dalam sebuah ajang, nyatanya ide dan revisi Runi yang banyak berkontribusi. Kemampuan berbicara di muka umum yang selalu memukau mereka, justru hanya digunakan sesekali oleh Runi.

Mereka sudah berusaha untuk membuat Runi terbuka akan bakatnya, tapi bagaimana mereka bisa jika Runi sendiri yang memaksa pintunya untuk tetap tertutup?

Runi memutuskan untuk keluar. Mencari udara segar dari bus kota yang sesak. Kegiatan yang mulai menjadi kebutuhannya mulai kini. Baru telapak kakinya menyentuh pintu masuk halte bus, seorang anak menarik hati Runi. Ia berbalik, dan menunduk memindai buku yang dijual anak itu.

“Buku ini, Berapa?” Tanya Runi menunjuk salah satu buku. Terlihat bekas, tapi menjadi harapan sang bocah yang pastinya tidak bisa Runi abaikan.

“Rp. 20.000 kak.” Runi tersenyum sembari mengeluarkan kertas berwarna hijau.

“Terimakasih kak.”

Runi terdiam menyandar pada sebuah pilar tidak jauh dari tempat sang bocah. Tangannya membuka lembaran pertama pada buku yang baru dibeli.

“Dido! Hei, Dido! Acara menulis itu sudah mulai, cepat bereskan daganganmu!”

Telinga yang terbiasa tuli, justru lancar terbuka. Matanya berpindah, menelisik ke arah dua bocah penjual buku yang berlari menuju suatu tempat. Tanpa terkendali, kaki Runi melangkah mengikuti. Pikirannya kosong dan tidak berusaha mencari alasan kenapa bisa ia melakukan hal ini.

Terhenti. Begitu ia menangkap kalimat, “Lomba Menulis Antar Sekolah Dasar.”

Berbagai pasang kaki memenuhi lapangan cukup luas di hadapan Runi. Dua anak kecil tadi tidak terlihat lagi di pandangan. Badan Runi sedikit tersenggol oleh ibu-ibu yang beramai-ramai menonton perlombaan itu. Aneh memang, waktu menunjukan pukul tiga sore hari tapi perlombaan itu baru mulai. Tidak habis pikir dengan panitia yang mungkin meyampingkan jam istirahat para murid Sekolah Dasar.

Setelah berteduh di tempat yang nyaman, Runi mencoba kembali mencari kedua bocah penuntun jalan. Dan dapat! Tapi, alis Runi mengeryit. Ia mendapati kedua bocah itu berada di atas dahan pohon sembari fokus menatap ke arah tempat lomba.

Runi mendekati keduanya. Berdiri menyandar di pohon yang sama dengan mereka. Badannya yang tinggi membuat Runi bisa dengan mudah melihat perlombaan, tanpa perlu ikut duduk di dahan. Kedua anak itu tidak menyadari kehadiran Runi. Nampak sekali, mereka sangat menantikan acara ini.

“Eh Do, seru pasti ya ikut acara seperti itu?” Tanya teman sang penjual buku tadi.

“Pastilah. Andai saja kita bisa ikut.” Balasan Dido, bocah penjual buku, membuat Runi dengan cepat menengok ke atas.

“Kenapa kalian tidak bisa ikut?”

Dido dan temannya terkejut. Hampir saja keduanya jatuh, jika tangan mereka tidak buru-buru berpegangan erat. Dido menatap ke arah Runi bingung, seperti pernah melihat kakak di hadapannya ini. Setelah beberapa saat, barulah ia mengingat Runi sebagai satu-satunya pembeli buku yang ia jual.

“Loh, Kakak yang tadikan?” Runi mengangguk.

“A-ah i-itu, Kami tidak bisa ikut karena tidak bersekolah. Orang tua kami tidak ada uang, lagipula kemampuan membaca kami hanya berasal dari buku-buku bekas yang harus dijual.”

Senyum itu. Senyum yang paling anti untuk dilihat Runi. Senyum yang berusaha untuk terlihat baik-baik saja ketika dunia amat menekan mu untuk tidak baik-baik saja.

“Kalian ingin mengikuti lomba itu?” Tanyanya untuk kedua kali.

Dido dan temannya mengangguk semangat, “Sangat ingin.”

Harapan, tergambar jelas di kedua pasang mata mereka. Sedangkan Runi terdiam tidak tahu harus merespon seperti apa.

“Dido, Sigit. Dicari ibu kalian di rumah!”

Dido dan Sigit tersenyum ke arah sosok pria yang memanggil mereka. Keduanya menuruni pohon dan meninggalkan Runi serta pria itu berdiri bersisian. Runi menatap bingung sosok di depannya, sedangkan yang di tatap tersenyum kaku.

“Hai. Nama saya Sagra. Kamu kenal Dido dan Sigit? Dua bocah itu anak didik saya. Mereka selalu melupakan waktu dan membuat ibu mereka khawatir. Memang dasar bocah itu menyusup terus ke tempat ini.”

Banyak bicara. Itu pandangan Runi terhadap Sagra.

“Runi. Pembeli buku Dido.” Tangan Runi menjabat tangan Sagra yang sedari tadi melayang.

Sagra mengangguk paham. Keduanya terdiam cukup lama, seakan-akan terlalu terbius pada suara dua panitia perlombaan. Padahal nyatanya Runilah yang tidak tahu harus bercakap apa lagi.

“Saya sudah lama mengajar di daerah pinggiran ini. Ah bukan di sini lebih tepatnya. Itu, atap masjid itu adalah daerah pinggiran tempat dua anak tadi tinggal.” Runi melihat ke arah yang ditunjuk Sagra.

“Buku-buku yang mereka jual berasal dari sumbangan anak-anak sekolah, seperti sekolah ini contohnya. Mereka terlihat senang sekali, terutama Dido dan Sigit. Keduanya lancar membaca setelah sebulan saya mengajar. Waktu itu, keduanya seperti tergesa menemui saya. Menanyakan tentang lomba menulis yang mereka lihat. Tentu saja, saya berikan penjelasan.”

Runi tetap terdiam, meskipun begitu telinganya setia terbuka lebar.

“Setelah saya jelaskan, terbesit rasa menyesal dalam hati. Nampak sekali bahwa harapan keduanya ingin sekali mengikuti lomba ini. Tapi, kegiatan saya memang tidak terlalu didukung oleh materi. Saya hanya bisa membawa mereka ke pohon ini dan mengintip perlombaan. Nyatanya apa yang saya lakukan salah. Melihat harapan mereka tumbuh semakin besar, membuat rasa menyesal saya semakin menjadi.”

Runi sedikit terhenyak. Sekilas ia pandang mata Sagra, dan murni terlihat di sepasang matanya.

Ting!

Runi mematung ketika membuka pesan, sedangkan Sagra tidak sengaja mengintip isi pesannya. Ia tersenyum singkat menyadari kegelisahan Runi.

“Kamu tahu? Kesempatan yang tuhan berikan itu tidak berlaku lama. Jangan menyia-nyiakan keuntungan yang kamu dapatkan, setidaknya sebelum semuanya terlambat.”

“Halte Harmony. Pastikan barang bawaan anda tidak tertinggal! Terimakasih.”

Setelah pertemuan tidak disengaja tadi, Runi menjalankan rencana awalnya. Tapi tidak bisa ia nikmati, karena sayangnya hati Runi terlalu patah setelah mendengar kalimat terakhir milik Sagra.

Benarkah apa yang selama ini ia pikirkan? Benarkah ia tidak mengenal dirinya sendiri? Benarkah selama ini ia yang terlampau egois dengan keberuntungannya?

Ya Tuhan, apa yang sudah ia perbuat?

Tangan Runi gemetar memegang ponsel hitamnya. Netra Runi semakin dalam menatap indahnya senja, yang seolah menyadari juga kesalahan yang ia perbuat. Dua bocah tadi berhasil menampar Runi secara mendalam. Membuka telak pintu kokoh yang selama ini terkunci rapat.

Ia bersekolah. Fasilitas selalu diberikan kedua orang tuanya. Kesempatan selalu diberikan untuk Runi. Dukungan tidak pernah sekalipun beranjak pergi dari orang-orang di sekitar Runi. Otak kecilnya pun terlampau jenius dalam bermain kata. Apa lagi yang ia butuhkan?

Tidak. Runi memiliki semua yang kedua bocah tadi butuhkan. Mungkin, hanya takdir bertemunya Runi dengan kedua bocah itu terlampau lama terjadi.

Netra hitam Runi teralih. Membaca kata demi kata dalam pesan yang Bu Sofi, guru Bahasanya, kirimkan.

Bu Sofi

Runi, ibu harap kamu ikut dalam lomba kali ini. Ibu sudah menyisihkan satu formulir untukmu, dan akan segera ibu kirimkan untukmu. Tolong segera infokan kepada ibu bila kamu berubah pikiran. Setidaknya untuk kali ini saja, Run.

Seperti itulah isi pesan Bu Sofi yang merupakan salah satu guru terdekat Runi. Mungkin jika kalian baca sekilas pesan itu seperti paksaan, tapi bagi Runi itu adalah sebuah harapan. Sejak dirinya duduk di kelas 10 hingga kini ia duduk di kelas 12, Bu Sofi tidak pernah tidak menyisihkan satu formulir untuknya. Semua teman seangkatan Runi dan para guru pun tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mereka justru akan mendatanginya dan mencoba membuat ia tertarik mengikuti lomba itu, sama seperti yang dilakukan gadis di kantin pagi tadi.

Semua orang di dekatnya terlampau mencintai gagasan Runi dalam berkata. Lalu, mengapa ia sendiri membencinya ? Sudah, tangis Runi tidak bisa lagi dibendung. Dengan gemetar akhirnya jari Runi mengetik beberapa kata sakral.

Runi

Bu, Runi akan mendaftar

Tangis di wajahnya berganti senyuman pada bibirnya. Tapi sayang, Runi terlalu fokus akan apa yang ia pikirkan dan tidak menyadari apa yang terjadi dalam bus itu. Bertepatan dengan matanya yang terpejam, sebuah berita hadir disimak seluruh Warga Indonesia.

“Berita Terkini. Kecelakaan beruntun yang melibatkan satu bus kota telah terjadi di Jakarta. Telah dipastikan bahwa jatuhnya korban tak terselamatkan tidak bisa dihindarkan.”

Ah, ia baru menyadari. Mungkin waktulah yang tidak ia miliki.

Ikuti tulisan menarik Ade Aulia Ashlah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB