x

Iklan

Laila Nurrahma

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Rabu, 17 November 2021 06:06 WIB

Izin-Nya Tak Pernah Sampai

Pertemuan yang tidak akan pernah ada karena izin-Nya tak pernah sampai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kelap-kelip lampu jalanan ibu kota memenuhi pandanganku dari sepuluh menit yang lalu. Itu berarti sejak duduk di bangku transportasi ini, aku langsung saja melamun. Kulihat lampu-lampu yang sederhana dengan warna kuningnya, yang nyatanya membuat suasana ibu kota seperti dipenuhi oleh bintang-bintang yang jatuh dari langit di sisi-sisi jalannya. Keindahan ini tiada duanya. Begitu juga kenangan di dalamnya. Tiba-tiba, tanpa aku inginkan, setitik air jatuh mengenai pergelangan tanganku. Aku mengerjap. Setitik air jatuh lagi yang disusul titik-titik lainnya, membuatku menggelengkan kepala dengan kaku, dengan kepala itu tertunduk, melihat tangan yang terkena air mata tadi, lalu mengusap wajahku dengan kasar. Rasanya tak percaya saja kenangan itu kembali menyeruak di ingatan, yang seketika itu pula inginku menangis tersedu-sedu. Aku menggigit bibir bawahku yang bergetar menahan tangis. Siapa yang sanggup memutar kembali memori--yang tak diinginkan--yang membuat hati bak ditusuk-tusuk jarum?

Aku kembali memandang kelap-kelip lampu jalanan melalui jendela bus. Tentu saja diselingi dengan isak kecil yang berhasil kutahan menggunakan telapak tanganku. Setiap kali kenangan itu sekilas muncul, aku memejamkan mata. Aku tak mau bus ini, kursi dekat jendela ini, dan waktu malam ini menjadi saksi bisu tangisanku karenanya. Tangisan yang berisi segala goresan hati yang entah kapan pulihnya.

Aku mendengar entakan kaki yang tergesa-gesa sesaat bus berhenti sejenak di halte yang pastinya untuk mengangkut penumpang. Bus pun menjadi makin ramai, lalu mulai melaju perlahan. Aku mengintip sebentar untuk memindai suasana bus ini dan kursi yang tersisa hanyalah yang ada di sampingku. Aku pun menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya pelan-pelan agar isak yang menyelimuti diriku dapat mereda. Aku kembali memandang keindahan langit malam ibu kota ketika orang itu menempati tempat duduknya. Bedanya, yang sekarang, aku memandang langit itu dengan sendu yang masih terasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Aku lagi perjalanan ke sana."

Deg

Suara itu ....

Tanpa aku bisa cegah, kenangan itu sekali lagi terputar di pikiranku. Meski hanya sepenggal demi sepenggal, tetapi sanggup mengoyak-oyak hatiku, membuat air mata kembali turun. Kali ini kubiarkan air mata itu turun dengan deras. Aku semakin memojokkan diriku ke dekat jendela, berharap kelap-kelip itu mampu mengalihkan pikiranku. Sayang sekali, aku hanya membawa kain tipis untuk melindungi tubuhku dari dinginnya malam, yang terpaksa kugunakan sekarang juga untuk menutupi kepalaku dari jangkauan matanya.

Seakan sedari tadi ada awan abu yang menghalangi pandangan, aku tersadar. Berpikir jernih. Memangnya benar itu suara dia? Aku saja belum melihat postur tubuh orang di sampingku. Ya, aku mengetahuinya, tetapi mungkin sudah agak berubah. Bagaimana aku bisa menyimpulkan sendiri kalau orang di sampingku adalah dia?

Aku menyandarkan kepalaku di jendela. Getaran bus yang sedang membelah jalanan ibu kota, aku rasakan. Lagi pula kalau orang di samping adalah benar-benar dia, harapan sembilan tahun yang lalu sirna. Dia berbicara di telepon dengan nada lembut, yang kupikir ia sedang berbicara dengan perempuan yang ia kasihi. Sekadar spekulasi yang mampu membuatku merasa perih. Lagi dan lagi pikiran ini bikin aku merasa kalah. Aku harus bisa mengendalikan pikiranku.

"Stay positive," gumamku.

Suasana bus tiba-tiba hening. Aku merasa sedikit tenang. Tanpa aku duga, seseorang yang duduk di sampingku melontarkan pertanyaan yang membuatku mengumpat dalam hati.

"Kamu habis nangis, ya?"

Berbagai spekulasi muncul lagi dan silih berganti. Bagaimana orang itu bisa tahu? Kalaupun tahu, mengapa pura-pura diam saja sedari tadi setelah teleponnya ditutup? Maksudnya tidak seperti kebanyakan orang yang menanyakan keadaan. Dia langsung to the point. Oh, aku berprasangka kalau dia berbeda dari laki-laki lainnya. Omong-omong, dia menunggu jawabanku, sedangkan aku mencari alasan yang lebih logis ketimbang mengiyakan pertanyaannya.

"Jujur aja," ucapnya, lalu mengembuskan napas panjang.

Sebelum sempat aku membuka bibir untuk menjawab, dia sudah lebih mendahuluiku dalam berbicara. "Kalau enggak mau ngasih tau, enggak apa-apa."

Aku berpikir lagi. Apakah sesuatu yang baik jika membeberkan suatu perasaan kepada orang tak dikenal? Takut-takut akan berdampak pada masa depan. Setelah berpikir sejenak, aku lebih memilih bungkam. Itulah jawaban dari pertanyaannya. Aku mengalihkan fokus dengan meminum air yang ada di botol yang aku simpan di tas selempang.

"Vera."

Tersedak. Aku tersedak minumanku karena panggilan itu saat diriku meneguk air minum tersebut. Beberapa detik setelahnya, aku tersadar, kemudian menoleh untuk menghadap orang itu.

Deg

Orang itu ....

Yang selama tiga tahun ini kutunggu setelah hilang kontak begitu saja. Yang selalu kusebut namanya dalam doa agar menepati janji setelah mengingkarinya. Yang selalu kuharapkan ketulusan cintanya sejak tiga tahun yang lalu. Yang ternyata--dan aku sesali--aku menyukai topengnya selama ini.

Tanpa sadar, air mataku mengalir, menyusuri pipi lagi. Kenangan bersamanya di dunia virtual terbayang di benakku. Tentang apa pun yang belum pernah kutemui dalam diri laki-laki mana pun. Apakah penantian selama sembilan tahun berakhir detik ini juga? Tentu saja untuk menagih janji yang sudah lebih dahulu diingkari. Namun, aku tetap akan menagih janji itu ... hingga dia sendiri yang kembali mengulang kesalahan yang sama.

Aku beruntung mengetahui kalau orang di sampingku adalah dia. Namun, aku tidak mau jika dia tahu kalau seseorang yang pernah dicintainya, yang aku tidak tahu benar tidaknya, sedang duduk bersebelahan dengan dirinya. Sudah telanjur. Aku mengira kalau kain yang aku kenakan terjatuh saat aku sedang membasahi tenggorokanku dengan air.

"Vera," panggilnya lirih. Aku mengangguk pelan.

Dia pun menuntun kepalaku untuk bersandar di bahunya yang tegap. Punggungnya bergetar. Tak lama kemudian, aku merasakan sesuatu yang basah di kepalaku. Aku menebak kalau dia sedang menangis. Dia menangis? Itu merupakan hal lucu yang takkan pernah dia lakukan tanpa alasan yang jelas dan pasti. Itu merupakan candaan yang dibuatnya sendiri tiga tahun yang lalu. Namun, tidak untuk hari ini, malam ini, dan detik ini. Mengetahui kalau dirinya menangis, membuatku merasa berharga, apalagi kalau menangis terharu karena diriku.

"Aku kangen sama kamu."

Pernyataan itu bikin aku merasa bahagia. Senyumku tertahan. Aku ingin merespons perkataannya, tetapi aku tak punya cukup tenaga untuk berbicara. Alhasil aku hanya membiarkan diriku bersandar di bahunya, yang aku pikir akan menjadi tempat ternyaman selain rumah.

"Jangan pergi lagi."

Aku mengucapkan perkataan itu yang langsung diangguki olehnya. Haru bahagia menyelimuti kami di bus ini. Tempat yang ternyata menjadi saksi bisu pertemuan pertamaku dengan dirinya. Penantian yang berakhir seperti ini, bukankah hal itu bagus? Aku memejamkan mata kuat, kebahagiaan yang tak pernah kurasakan karena seseorang yang lain.

Aku tersentak.

Mataku melirik ke segala arah tanpa adanya gerakan kepala. Aku linglung beberapa saat. Air mataku jatuh lagi. Karena air mata itu, aku baru mengetahui kalau wajahku basah. Apa ini karena aku menangis? Tetapi sejak kapan?

Deg

Mimpi.

Pertemuan itu hanyalah mimpi. Jantungku nyeri. Kenyataan kalau aku hanyalah memimpikannya membuat diriku seperti dipermainkan oleh diriku sendiri. Mimpi itu menyesakkan dadaku.

Aku ingat, kelap-kelip lampu itu membuatku merasa nyaman sampai akhirnya aku tertidur lelap. Sialnya, aku bermimpi seseorang yang takkan pernah hadir lagi di hidupku. Dia takkan memenuhi janjinya. Dia takkan membuktikan ketulusan cintanya. Dia takkan diizinkan untuk bertemu denganku.

Aku menyadarinya. Sejauh apa pun aku mencarinya, aku tidak akan bisa bertemu dengannya tanpa izin-Nya. Mimpi kali ini seperti tamparan keras untukku. Pertemuan yang tidak akan pernah terjadi dalam hidup kami walaupun cuma sekali.

Bus berhenti dan inilah akhir dari perjalanan menuju suatu tempat baru. Tempat yang kuharap dapat mengobati luka. Aku turun dari sana dan berdiri kaku seraya memeluk tubuhku sendiri dengan sehelai kain di depan bus yang kembali melaju. Lagi, setetes air mata turun dibarengi bus di hadapanku yang sedang bergerak maju dan menghasilkan angin yang berembus lumayan kencang. Aku sama sekali tidak merasakan dinginnya malam ini.

Kukira bus itu akan menjadi saksi bisu pertemuan yang diizinkan oleh-Nya. Namun, ternyata, bus itulah yang menjadi tempat terakhir aku menangisi segala keresahan hati tentangnya. Bunga tidur yang terbukti menamparku akan ketidakhadiran dirinya. Pertemuan yang tidak akan pernah ada karena izin-Nya tak pernah sampai.

Ikuti tulisan menarik Laila Nurrahma lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler