x

Galang Open donasi

Iklan

Nayoko Aji

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 November 2021

Rabu, 17 November 2021 15:46 WIB

Peduli Sesama Bukan Dunia Maya

Untuk saling memperhatikan tetangga kita, jangan sampai mereka kelaparan sedangkan kita tercukupkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nenek Taralem hidup bertiga bersama anak perempuannya yang bernama Niksim dan cucu lelakinya, Erek anak Niksim. Suami Niksim meninggal sewaktu Erek berusia belum genap 1 tahun. Saat ini usia Erek 4 tahun.


Kini Niksim harus menjadi tulang punggung keluarga. Sedang Nenek Taralem sakit jantung sehingga tidak bisa kerja. Niksim bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan pepaya milik Pak Fadholi. Meskipun kebunnya di desa, tapi Pak Fadholi tinggal di kota. Kebun di kelola oleh orang kepercayaan pak Fadholi.


Musibah berawal saat Niksim menderita sakit. Karena keterbatasan biaya Niksim tidak bisa rawat inap di RS yang dianjurkan dokter.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan


Beruntung masih ada tetangga yaitu Bu Fatma yang peduli sama keluarga Nenek Taralem, meskipun Bu Fatma sendiri juga hidup pas-pasan. Rumah Bu Fatma agak jauh dari rumah Nenek Taralem. Sedang tetangga terdekat yaitu Bu Maya, orang berada tapi kurang kepedulian. Ibu Maya disebut Bu Bigos karena memang terkenal sebagai biang gosip di kampung. 


Selama Niksim sakit, Nenek Taralem sudah beberapa kali datang ke rumah Bu Fatma untuk pinjam uang. Oleh Bu Fatma selalu diberi beras dan sedikit uang.


 “Terimakasih banyak Bu, saya malu berulangkali kesini, Allah yang membalas, semoga Bu Fatma sekeluarga sehat selalu dan diberi rejeki yang berkah” Hanya do’a tulus dari Nenek Taralem yang bisa diberikan.
“Aamiin, nggak usah malu Nek, itu rejeki Nenek juga, besuk kalau masih belum bisa beli beras kesini saja” Bu Fatma juga tulus membantu Nenek Taralem.


Nenek Taralem harus berhemat beras pemberian bu Fatma. Sayang juga kalau ada nasi sisa. Karena kondisi Niksim yang sakit jadi susah makan. Tapi Nenek Taralem selalu memaksa Niksim dan menyuapinya untuk makan. Setelah Niksim betul-betul nggak mau melanjutkan makan, barulah nenek Taralem memakan sisanya.


Untuk membuat sayuran, nenek Taralem kadang ambil daun beluntas yang ditanam buat pagar, kadang mengambil jantung pisang yang dibuang, sering juga mengambil daun bayam liar yang tumbuh di sepanjang jalan kampung.


Suatu hari Nenek Taralem mencari daun bayam sampai ke kebun pepaya milik Pak Fadholi. Ada pepaya milik Pak Fadholi yang agak roboh menjulur keluar pagar dan ada buahnya yang hampir matang. Nenek Taralem tergoda mengambil buah pepaya itu. Nenek Taralem berfikir tentu tidak apa, toh kalau Niksim kerja kadang juga bawa buah pepaya matang. Dia teringat Erek cucunya yang suka buah pepaya. Niksim juga harus makan buah biar cepat sehat, begitu pikirnya.


Naas bagi Nenek Taralem, ada pekerja tukang kebun Pak Fadholi yang melihat Nenek Taralem ambil buah pepaya. Hari si tukang kebun itu membawa nenek Taralem ke Setya satpam kebun. Setya telepon ke pak Fadholi bilang kalau pencuri pepaya berhasil ketangkap basah. Pak Fadholi meminta Setya untuk membawa si pencuri ke kantor Polisi.


“Saya ibunya Niksim yang kerja di kebun sini juga Nak Setya” Nenek Taralem berusaha menjelaskan sewaktu mau jalan ke kantor Polisi.


“Iya Nek, kata Pak Fadholi kalau ketemu pencurinya disuruh laporkan ke Polisi”


“Niksim kalau kerja juga suka bawa pepaya tidak apa?”


“Itu pepaya rejeckan Nek, kurang bagus dan mungkin terlalu matang buat dibawa ke buyer/distributor.” Jelas Setya.


“Nenek yang ambil tadi juga kurang bagus, agak ndungkik dan tidak besar” Nenek Taralem masih mohon pada Setya supaya tidak dibawa ke kantor Polisi.


“Sudahlah Nek, pak Fadholi suruh melaporkan ke Polisi!” Dengan agak membentak Setya selalu berkata atas perintah pak Fadholi.


Di kantor Polisi Nenek Taralem langsung dibuatkan berita acara oleh penyidik. Nenek Talarem dimasukkan ke tindak pidana ringan (tipiring).


“Nenek tidak ditahan, tapi 4 hari lagi saya pastikan nenek disidang, ada jadwal sidang tipiring yang bisa dilaksanakan secara marathon” Demikian penjelasan penyidik.


“Empat hari lagi tanggal 20 Desember, pas Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) Nek!” Penyidik kembali mengingatkan Nenek Talarem sewaktu mau pulang. Tapi mana tahu Nenek Talarem sama HKSN.


" Aku malu sampai mencuri hanya karena kita kelaparan." Sesampai di rumah Nenek Taralem mengatakan itu pada Niksim sambil menangis.


“Memang apa yang terjadi? Mak ambil apa?” Tanya Niksim


Nenek Taralem menceritakan semua pada Niksim.


“Jadi Mak tadi sampai kantor Polisi?”


“Iya Nik, Mak malu”


Beberapa hari kemudian sewaktu Nenek Taralem mau ke rumah Bu Fatma, Nenek Talarem bertemu Bu Bigos, dia menegur Nenek Taralem dengan nada menghakimi. Entah tahu dari mana Bu Bigos mengetahui berita Nenek Talarem mengambil pepaya. Dasar bigos, tahu aja hal begituan.


“Eh, Nek!, suka nyuri pepaya ya?!” Dengan mata sedikit melotot Bu Bigos menegur Nenek Taralem.


“Malu-maluin saja, punya tetangga pencuri!” Lanjut Bu Bigos yang tidak dihiraukan oleh Nenek Taralem.


Sambil mencuri mengambil foto Nenek Talarem dengan HPnya (jadi sebenarnya siapa pencuri itu ya?), kemudian Bu Bigos membuat status di WA. Dia upload foto Nenek Talarem di status WA nya dengan narasi “Inilah wajah Nenek Talarem tetanggaku, pencuri pepaya di kebun Pak Fadholi”


“Besuk disidang ya?” Masih saja Bu Bigos bicara meski Nenek Talarem berlalu dengan acuh.


Setelah dikatain pencuri oleh Bu Bigos, Nenek Talarem kembali menangis. Yang semula niatnya mau ke Bu Fatma, diurungkan niatnya. Nenek Talarem merasa malu dan takut kalau Bu Fatma juga sudah mendengar beritanya. Padahal Nenek Talarem sudah tidak punya beras sama sekali.

Nenek Talarem kembali pulang dengan tidak bawa apapun yang bisa dimasak untuk hari ini. Nenek Talarem terpaksa merebus bonggol pohon pisang dengan diberi garam untuk memberi makan Erek yang menangis kelaparan.


Sampai malam hari Nenek Talarem terus menangis. Nenek Talarem berfikir kalau  Bu Bigos sudah tahu, yang berarti juga sudah banyak orang yang tahu kalau dirinya pencuri dan besuk disidang.


“Besuk Emak disidang, Emak malu Nik, Emak minta maaf Nik!”


“Sudahlah Mak, Emak istighfar saja!” Bisik Niksim yang karena sakitnya sebetulnya tidak bisa berfikir lebih jauh.


Sementara itu di waktu bersamaan di rumah Pak Fadholi. Bu Fadholi tahu kasus Nenek Taralem dari membaca status WA bu Bigos yang upload foto Nenek Taralem dengan narasi menyebut Pak Fadholi suaminya. Bu Fadholi ketua club ibu-ibu sosialita yang sering mengadakan program amal dan Bu Bigos salah satu anggotanya. 


“Waduh, ada yang salah ini Ma, Papah waktu itu ditelpon Setya sebenarnya pas sibuk sama klien, tidak sempat menanyakan lebih lanjut, Setya bilang kalau pencuri pepayanya tertangkap basah”. Pak Fadholi menjelaskan kronologis kenapa bisa mengkasuskan seorang nenek-nenek tetangga kebun sendiri.


“Besuk Mama jadi ikut upacara HKSN bersama club Mama di lapangan kabupaten? Papa mau ke kebun briefing karyawan, lalu ke Kantor Polisi dan Pengadilan untuk mencabut laporan kasus nenek.” Lanjut pak Fadholi.


Sepanjang malam Nenek Taralem beristighfar dan sampai tertidur dipinggir ranjang Niksim.


“Mak! bangun Mak!, sudah subuh” Niksim menggoyang-goyangkan tangan nenek Talarem.


Nenek Talarem sudah tidak bergerak. Niksim memeriksa kondisi nenek Taralem.


“Innalillahi wa innailaihi rojiun, mak sudah meninggal” ucap Niksim.


Badan Niksim belum bisa diajak bangun. “Bagaimana membaringkan jenasah mak?” Batinnya bersedih.


Untuk memberi tahu bu Bigos, tetangga terdekat pun nanti gimana?” Niksim hanya bisa berguman sendiri. Sedang Erek belum juga bangun.


Niksim mencoba duduk. Kepalanya semakin pusing.


Kalaupun Erek sudah bangun, mana mungkin Erek bisa menyampaikan berita kematian Emak ke bu Bigos, sedang rumahnya tertutup pagar rapat.


Erek bangun, langsung mendekat ranjang Niksim.


“Mak belum bangun buk?” Tanya Erek yang memanggil neneknya dengan sebutan Emak, sedangkan panggil Niksim ibunya dengan sebutan Ibuk.


“Mak sudah meninggal Rek” Bisik Niksim dengan masih menahan sakit dan pusing.


“Mak... Mak... Mak...” Sambil menangis Erek memegang-megang tubuh neneknya.


“Kita harus ke bu Bigos Rek, tolong ambilkan sapu itu” Kata Niksim yang maksutnya minta tolong ambil sapu buat tongkat membantu jalannya nanti.


Hampir jam 6 pagi, Niksim dengan tertatih-tatih dan terhuyung-huyung menuju rumah Bu Bigos diikuti Erek. Mengetahui yang datang Niksim, Bu Bigos merasa terganggu karena mau segera ke kota untuk mengikuti upacara HKSN di lapangan kabupaten.


Pasti mau minta tolong atau mau berhutang, ah biarin aja.” Batin Bu Bigos dengan suudzon.


Di luar Niksim sudah tidak tahan sakit dan semakin pusing. Niksim menyuruh Erek pergi ke rumah Bu Fatma sendirian sedang Niksim mau pulang. Erek sambil menangis terpaksa jalan sendiri. Sesampai di teras rumahnya, Niksim jatuh tersungkur.


Sesampai di rumah bu Fatma, Erek hanya bisa menangis sambil berucap “Emak.. emak...”


Bu Fatma langsung menyambut “Ada apa dengan nenekmu Rek?”


“Emak meninggal.” Jawab Erek sambil terisak.


Sesaat bu Fatma bingung “Keadaan Niksim gimana?, aku harus bawa apa?”


Sebentar ya Rek. Bu Fatma mengecek magic com, untung nasi sudah matang, tapi tadi belum selesai membuat sayur dan lauk. Akhirnya Bu Fatma hanya bisa membawa nasi putih saja.


Sesampai di depan rumah Nenek Taralem, Bu Fatma terkejut. Niksim tergeletak di teras rumah.


“Ibuk... Ibuk...” Erek lari mendekati ibunya.


Bu Fatma mengecek kondisi Niksim “Innalillahi wa innailahi rojiun, ibukmu juga sudah meninggal Rek.”
Kemudian Bu Fatma juga mengecek kondisi jasad nenek Taralem, masih lemas, berarti belum lama juga Nenek Taralem meninggal.


Segera Bu Fatma ke rumah Bu Bigos, ternyata dia sudah pergi. Bu Fatma kemudian ke tetangga lain, minta tolong berita lelayu ini disampaikan ke pak RT.


Sampai rumah nenek Tarlem lagi, bu Fatma melihat Erek tampak pucat dan masih sesenggukan menunggui jasad ibunya yang masih tergeletak di teras.


Jangan-jangan Erek juga sakit” Begitu batin bu Fatma.


“Erek mau makan?” Tanya bu Fatma yang dijawab Erek dengan anggukan.


Nasi putih saja yang dibawa bu Fatma tadi dibuka. Bu Fatma menuju dapur untuk mencari garam, piring dan sendok. Didapatinya panci dan sisa rebusan bonggol pohon pisang sisa kemarin.


Berarti nenek Taralem sekeluarga kemarin makannya bonggol pisang?” Tanya bu Fatma dalam hati.


Di cek juga periuk tempat beras, ternyata betul, tidak ada tersisa beras satu biji pun. Bu Fatma jadi banjir air mata. Menyesali kenapa kemarin setelah 3 hari lebih Nenek Taralem nggak muncul dia tidak berusaha menengok. Disapu air matanya sebelum menuju Erek untuk memberi nasi putih yang sudah ditaburi sedikit garam.


Erek makan dengan lahap. Bu Fatma bersyukur berarti Erek sehat, tapi melihat Erek menjadi tidak bisa membendung air matanya lagi.


Berarti memang Erek kelaparan, dan kemungkinan meninggalnya Nenek Taralem dan Niksim kecuali sakit juga karena kelaparan” Bu Fatma makin menyesali diri.


Di ruang pertemuan kantor kebunnya, Pak Fadholi menyampaikan briefing ke semua pegawai. Pak Fadholi semakin marah setelah mengetahui nenek yang mengambil pepaya itu ternyata ibu dari Niksim yang bekerja juga di kebunnya.


“Yang disebut pencuri itu yang mengambil cukup banyak seperti yang kamu bilang selama ini Hari! Setya!”


“Ini nenek-nenek tetangga sendiri, anaknya juga kerja disini, mengambil 1 buah pepaya saja kamu sebut pencuri, sudah saya bilang jika ada orang mengambil pepaya hanya untuk dimakan sendiri nggak perlu dikasuskan, kalau terlalu sering cukup diingatkan dan paling keras hanya sampai pos satpam”


“Pepaya rejeck yang saya suruh bagikan ke tetangga selama ini jalan nggak, kok sampai ibunya Niksim ambil?


Panjang lebar Pak Fadholi kembali menyampaikan kebijakan mengenai harus berbagi ke tetangga. Karena kasus Nenek Taralem ini jadi terbongkar program tersebut tidak dijalankan pegawainya. Entah dibawa kemana pepaya-pepaya rejeck itu.


Selesai briefing pegawainya, sebelum ke kantor Polisi dan Pengadilan pak Fadholi menuju rumah nenek Taralem yang bermaksut mau minta maaf. Sampai di rumah nenek Taralem, pak Fadholi terkejut. Bu Fatma menceritakan yang terjadi pada nenek Taralem dan Niksim. Pak Fadholi semakin terpukul.


Pak Fadholi tidak jadi ke Kantor Polisi dan Pengadilan, merasa bertanggungjawab atas jenasah ibu dan anak yang meninggal hampir bersamaan ini. Pak Fadholi menghubungi semua kolega dan kenalannya dan minta untuk memberi perhatian kasus ini.


Bu Fadholi tidak bisa menerima telepon suaminya saat upacara masih berlangsung, karena masih mendengarkan amanat Bapak Bupati sebagai pembina Upacara. Amanat yang disampaikan Bapak Bupati mengingatkan momen peringatan HKSN ini untuk meningkatkan kepedulian pada sesama terutama pada orang kurang mampu di lingkungan terdekat. Untuk instansi atau perusahaan, apalagi perusahaan yang berskala nasional yang berada di wilayah kabupaten untuk meningkatkan program CSR (Corporate Social Responsibility).


Selesai upacara Bu Fadholi membaca pesan WA dari suaminya. Lalu menegur keras Bu Bigos yang ternyata tidak punya kepedulian, sifatnya berlawanan dengan tujuan club didirikan. Ironi, club hanya dipakai pansos. Kemudian Bu Fadholi mengajak semua anggota club untuk takziah.


Atas tindakan pak Fadholi, kasus meninggalnya Nenek Talarem dan Niksim menjadi viral. Dengan viralnya kasus itu, banyak donasi buat Erek, juga buat Bu Fatma yang selama ini peduli keluarga kurban. Sampai Bapak Bupati memberi bantuan khusus buat Erek dan bu Fatma.


Pak Hakim yang mau mengadili Nenek Talarem juga ikut Takziyah. Beliau berpesan, bukan tajam ke bawah tumpul ke atas. Kejadian semacam ini tidak akan terjadi, juga tidak akan sampai ke pengadilan jika dari awal ada kepedulian kita.

Ikuti tulisan menarik Nayoko Aji lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler