x

Iklan

Kama Gita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Rabu, 17 November 2021 15:58 WIB

Izinkan Aku Mencintaimu dengan Caraku

Terima kasih karena telah mau menunggu seorang pecundang sepertiku, terima kasih karena mau menunggu dan menerimaku kembali.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku Rania Agatha, mahasiswa semester akhir, Fakultas ekonomi, disalah satu Universitas di kotaku. Jika boleh jujur, sebenarnya aku merasa salah jurusan. Bagaimana tidak, aku yang gemar membaca novel, menyukai puisi dan juga bacaan sastra, lebih menyukai hal-hal yang berbau dengan kata-kata dan juga kepribadian seseorang, kini harus bergelut dengan angka-angka yang aku sendiri tak tahu berapa dan belum pernah menyentuh uang sebanyak itu, mungkin juga tidak akan pernah. Jika saja bukan karena keinginan kedua orang tua, sudah ingin rasanya aku pindah fakultas dan juga universitas. Tapi mau bagaimana, aku harus menjalaninya dengan sungguh-sungguh bukan?, tidak mungkinkan aku harus mengecewakan orang tuaku, walaupun sebenarnya alasan aku kuliah sangat lucu. Aku belum ingin dinikahkan di usia yang di bawah 20 tahun, dan juga tidak ingin dijodohkan. Lucu bukan. Tapi ya sudahlah, aku tidak akan menceritakan bagaimana kuliahku, toh tidak akan ada yang menarik. Tapi, aku akan menceritakan tentang dia. Ya, lelaki yang aku kagumi dan sayangi sejak entah kapan aku tidak tahu . Dia adalah Adima Vindi.

Adima Vindi, usianya selisih tiga tahun di atasku, dia sudah lulus dari UT sekitar satu setengah tahun lalu. Cumlaude. Dia cerdas, berwawasan luas, menyukai dunia sastra serta seni dan juga sangat pandai dalam dunia pemrograman. Entah kenapa aku lebih suka memanggilnya dengan Vind. Aku dan dia berada di satu kota yang sama, hanya berbeda kecamatan. Adima bekerja disalah satu perusahaan yang mengembangkan teknologi di kota lain.

Mari kita mulai ceritanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sore itu hari Minggu, 29 Desember, langit murung, angin berembus kencang. Sore itu rumahku cukup sibuk dengan persiapan pernikahan Mbak Ani. Kakak perempuanku. Acara akan dilaksanakan esok hari Senin, 30 Desember. Aku lupa pukul berapa waktu itu ketika seorang anak laki-laki bertubuh tinggi besar dan ibunya datang ke rumah untuk kondangan. Intinya sudah sore, mungkin sekitar jam setengah lima. Orang tuaku mengobrol bersama ibu tersebut, sesekali bertanya kepada pemuda itu. Aku hanya melihat dari kejauhan. Sejak saat itu aku tahu namanya. Adima, lelaki itu bertubuh tinggi besar, berkulit kuning langsat, kumis tipis. Padangan yang dingin, sedikit bicara.

###

Waktu berjalan begitu cepat. Setahun berlalu, aku sejenak melupakan Adima, karena memang sejak saat itu aku tidak pernah melihat atau bahkan bertemu dengannya. Hingga akhir Desember tahun kedua setelah aku bilang ke bapak bahwa aku ingin melanjutkan studiku. Aku ingin berkuliah. Bapak menanggapinya dengan baik, aku diperbolehkan untuk lanjut. Tapi, bapak khawatir jika aku lanjut sekolah di luar kota, selain itu, keluargaku terlalu awam mengenai perkuliahan karena memang sebelumnya tidak ada yang berkeinginan untuk kuliah seperti aku. Akhirnya, bapak menyarankan aku tuk bertanya tentang perkuliahan kepada Adima. Awalnya aku menolak, aku malu dan juga takut, jika-jika aku mengganggunya, jika-jika dia tidak mengenalku bagaimana? Atau jika-jika dia memiliki kekasih yang posesif? Duh, mampus hidupku akan penuh masalah. Dan Perintah itu hanya masuk telinga kanan keluar kiri.

Hingga pada awal Januari, aku beranikan diriku untuk bertanya karena bapak yang begitu berisik menyuruhku. Jantungku berdegup kencang, kutarik ulur nafasku. Rasa-rasanya, aku seperti akan menghubungi presiden saja. Tak karuan rasanya. Akhirnya kukuatkan tekad, Aku mulai menghubunginya, benar saja dia sama sekali tidak mengenalku. Tapi, aku senang sekarang dia mengenalku, setidaknya aku tidak lagi mengagumi orang yang tidak mengenalku bukan. Kita hanya bercakap-cakap seperlunya. Lalu kita lost Contact.

21 Januari, ditahun yang sama, dia kembali menghubungiku. Kita bercanda melalui kolom chat, ternyata dia orang yang cukup asyik, meski bercandanya garing. Dan pada suatu hari Minggu sore, tanpa aku sangka-sangka. Dia mengajakku untuk berkomitmen. Ya Allah, aku sangat senang. Sungguh. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Aku menerima dia menjadi teman komitmenku. Tapi, kedekatan kita tidak berjalan lama. Ini karena aku kalah dengan pikiran-pikiran burukku.

Pertengahan bulan Maret, aku merasa Adima seperti mempermainkan aku. Aku merasa dia tidak serius denganku. Dan bayang masa kecilku bermain main di dalam ingatan. Padahal sebelumnya hubungan kita baik-baik saja, meskipun Adima sangat sibuk dengan perkuliahan dan kerja. Entah bagaimana pikiran buruk itu merasuk dalam otakku ini. Adima hanya mempermainkan aku pikirku. Lalu kuutarakan semua gundah gelisah dalam hati dan pikiranku itu. Kupikir Adima akan meyakinkan aku. Ternyata tidak. Dia hanya bilang “maaf, jika aku sudah membuatmu berpikir begitu. Maaf juga aku sudah mengganggumu,”. Dan setelah itu dia pergi begitu saja. Dia tidak pernah lagi membalas pesanku, maupun membacanya, dan juga tidak pernah mau diajak bertemu. Ya Allah, mengapa jadi begini? Salahkah jika aku berbicara tentang rasa takutku terhadap hubungan ini? Bukan ini yang aku minta ya Tuhan. Aku menangis, rasanya marah, kecewa, sedih. Tapi dengan diri sendiri, bagaimana mungkin aku begitu bodoh membicarakan hal semacam itu kepada dia? Tapi akhirnya aku mencoba berdamai dengan keadaan.

Tiga tahun berlalu, tepatnya lima bulan yang lalu. Bapak mengajakku berbincang, sepertinya ada hal serius. “Ta, sini duduk sama bapak. Bapak mau cerita,” kata bapak sambil menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, aku pun mendekat dan duduk. Beliau kembali berbicara tapi pandangannya melihat ke depan, jauh menerawang. “Bapak kemarin ke rumah paklik Yono, dan disana bapak ketemu sama orang tua paklik Yono dan juga adiknya. Mereka semua sangat baik nduk, ramah. Apalagi simbah, dari dulu tidak berubah, jika bapak mau pulang pasti dibawakan bingkisan,” bapak berhenti bercerita, lalu dia kembali melihatku. Aku tahu jika keluarga besar paklik memang baik, tapi sepertinya bukan itu yang akan bapak bicarakan. Aku melihat bapak, dan bapak melanjutkan ceritanya “Nduk, bapak sama mamakmu ini sudah tua, sudah sering sakit-sakitan. Apalagi bapakmu ini, bapak ingin melihat kamu bahagia, bersama dengan orang yang baik dan tulus nduk. Seperti halnya mbak Ani, bapak senang melihat mbakmu seperti sekarang ini. Rasanya bapak lega. Kini tinggal kamu nduk,” bapak kembali berhenti bercerita, dia kembali melihatku. Aku mulai paham dengan arah pembicaraan. Kubiarkan bapak bercerita, tak lama bapak kembali melanjutkannya “Kamu belum pernah membawa teman laki-lakimu ke rumah nduk? Kenapa? Takut bapak tidak suka?” bapak melihatku kembali, kini dia menunggu jawaban. “Bukan begitu pak, hanya saja memang belum ada yang cocok, aku juga masih ingin fokus sekolah sama kerja dulu,” jawabku seadanya.

Bapak kembali terdiam cukup lama, hingga beliau berbicara kembali “Nduk, bapak tahu tujuanmu sekarang, bapak paham dengan jalan pikiranmu beberapa tahun ini karena semua kejadian yang menimpa keluarga kita. Tapi, mau bagaimanapun ini juga akan bapak sampaikan,” bapa menghela nafas panjang sebelum kembali melanjutkan. “Kemarin, sewaktu bapak bertemu Simbah Darmo (orang tua paklik Yono) dan istri, mereka bertanya tentangmu. Banyak hal. Yang bapak tangkap dari perbincangan kami, mereka menyukaimu nduk, dan mereka menginginkan kamu menjadi menantu di keluarga itu. Mereka ingin, kamu berjodoh dengan cucu sulung mereka, Adima. Kamu kenalkan?. Tapi, bapak hanya bilang, akan saya sampaikan kepada Tata, mbah. Soalnya ini masalah hati, kalau saya boleh saja asal anak saling mau, toh Adima anak baik. Begitu pula dengan simbah Darmo, mereka juga akan membicarakannya dengan Adima. Jadi, bagaimana nduk? Kamu mau? Bapak berharap kamu mau, bapak juga telah membicarakan hal ini sama mamakmu, dia memperbolehkan, karena Adima adalah anak yang baik dan juga bertanggung jawab, kamu tahu sendiri itu. Tapi keputusan ditanganmu, bapak tak ingin memaksa,” bapak kini menatapku. Astaga, rasanya seperti ada guntur yang begitu besar dan juga kilat yang menyambar-nyambar hingga membuat aku terkejut di tengah jalan. Aku tidak bereaksi, masih ku-cerna sekaligus pikirkan. Bagaimana ini? Bapak mamak pasti kecewa dan sedih jika kutolak, tapi jika kuterima apakah Adima juga mau menerimaku kembali? Astaga, ini seperti buah simalakama. Sebelum aku menjawab, bapak terlebih dulu berkata, “pikirkan sebaik mungkin, bapak tak ke dalam dulu,” bapak pergi seraya menepuk pundakku. Aku bingung, sungguh. Aku putuskan tuk menelefon Adima, berharap dia mau kuajak bertemu esok hari.

Akhirnya kita bertemu di taman kota, aku memaksanya bertemu. Bilang ini sangat penting, menyangkut hidup dan mati. Dia pun setuju. Dia sedikit terlambat, tapi tidak masalah. Aku memulai berbicara “Mas Vind?” panggilku sambil melihatnya, dia menoleh. Astaga, ternyata dia masih sangat manis seperti dulu. “aku mau berbicara serius denganmu,” aku diam mengatur nafas, yang kuajak bicara juga hanya diam tanpa merespon. “bapak semalam bercerita denganku, katanya aku mau dijodohkan denganmu,” ya Tuhan, rasanya panas sekali hari ini sampai-sampai pipiku juga terasa panas, tubuhku sedikit bergetar mengatakan semua ini, dan dia masih diam. Setelah terdiam aku kembali berkata “apakah kamu mau?” dan Adima hanya melihatku sekilas, lalu berdiri “tidak tahu,” hanya itu jawabannya, dan dia pergi. Sudah kuduga dengan jawabannya. Lalu? Apa yang harusku katakan pada bapak?.

Malam datang dengan dingin dan pekatnya, aku menghampiri bapak, aku akan mengatakan itu “iya, aku mau,” betapa hatiku sangat senang sekaligus miris, melihat bapak dan mamak dengan wajah begitu cerah mendengar jawabanku, aku senang, sedang hatiku miris karena aku tidak tahu jawaban Adima.

Dan tanpa aku sangka ke esokkan harinya, ternyata keluarga Adima datang ke rumah untuk melamar dan membahas pernikahan tanpa sepengetahuanku. Sungguh, aku terkejut. Tapi, aku hanya mengiyakan saja, mau bagaimana lagi?. Setidaknya Adima seperti terlihat biasa-biasa saja, wajahnya tetap datar, sesekali tersenyum. Pikirku, dia menerima ini dengan hati yang lapang dan ikhlas, mungkin.

Waktu begitu cepat berlalu, tidak terasa pernikahanku dan Adima kurang satu minggu lagi. Tapi, sejak acara itu, aku tidak pernah berkomunikasi dengan dia. Dan hari ini, di sore yang cerah, untuk pertama kalinya, Adima mengajakku bertemu di pantai, ada yang ingin dia bicarakan katanya. Tentu saja, aku akan datang dengan senang hati. Dan ketika aku sampai, ternyata dia sudah terlebih dahulu sampai, dia melambaikan tangan dan aku menghampirinya. Kita duduk bersebelahan di tepi pantai menghadap matahari yang mulai tenggelam. Merah merekah. Kita diam, sebelum pada akhirnya “Ta,” dia memulai pembicaraan, “ya?” Jawabku sambil melirik dia. Pandangan dia masih ke arah senja. “Maaf kan aku Ta, maafkan aku yang begitu menjadi pecundang karena telah meninggalkanmu enam tahun lalu. Bukan maksudku untuk menyakitimu, membuatmu kecewa, sedih bahkan menangis. Hanya saja, apa yang kamu katakan membuatku sadar, bahwa kamu bukan sosok yang main-main dalam hubungan. Sedangkan waktu itu, kamu tahu sendiri, aku masih berkuliah dan hanya bekerja buruh di toko yang kecil dengan gaji yang tidak seberapa, yang juga habis untuk keperluan sehari-hari dan juga kuliah. Maka aku tentu belum bisa memberikanmu sebuah kepastian apa pun, maka aku hanya pergi begitu saja, tapi aku tidak pernah meminta hubungan kita berakhir, karena aku memang tidak ingin berakhir. Maafkan aku yang tidak pernah membalas pesan-pesan darimu, bukan maksudku untuk itu, hanya saja, aku tidak pernah yakin dengan diriku sendiri Ta, bukan perasaanku. Karena sungguh, aku menyayangimu tulus. Melainkan untuk di masa depan denganmu. Maaf kan aku juga Ta, karena sikapku yang dingin ini kepadamu, kamu jadi merasa bahwa aku tidak menyayangi dan mencintaimu, kamu salah. Aku sangat menyayangi dan mencintaimu, sungguh. Dan kamu tahu, setahun terakhir aku diterima bekerja di kota lain, di perusahaan besar, dengan gaji lumayan besar pula. Dan rasa itu tidak pernah pudar Ta, maka enam bulan lalu aku berusaha mencari tahu tentang dirimu, aku bertanya kepada teman-temanmu, tapi aku juga berpesan kepada mereka agar tidak memberi tahumu. Betapa terkejut dan senangnya hati ini ketika aku tahu selama ini kamu menungguku, begitu yakin aku akan kembali. Terima kasih Ta, Terima kasih karena telah mau menunggu seorang pecundang sepertiku. Maka, aku putuskan pulang beberapa hari setelah mengetahui hal tersebut, kuceritakan pada ibu dan bapakku, mereka setuju, dan akhirnya mereka menceritakan keinginanku untuk mempersuntingmu kepada keluarga, mereka semua juga setuju. Mungkin Allah juga merestuinya Ta, tanpa di duga-duga, bapakmu datang ke rumah paklik, aku tidak tahu ada urusan apa, tapi yang terpenting mereka juga membicarakan perjodohan kita. Dan kamu tahu, hal yang paling membahagiakan dari itu semua ketika kamu memintaku bertemu di taman kota, dan juga jawaban iya darimu. Waktu itu aku menjawab tidak tahu karena jika dirimu menjawab tidak, maka aku juga akan tidak. Aku sangat bahagia Ta, sungguh, terima kasih karena mau menunggu dan menerimaku kembali. Minggu depan adalah pernikahan kita, maka sekali lagi izinkan aku mencintaimu dengan caraku,” kalimatnya telah selesai, Adima kembali memandangku, tak terasa air mataku menetes mendengar kalimat itu dari Adima dan aku buru-buru mengusapnya. Lalu aku bisikan “Aku izinkan kamu mencintaiku dengan caramu, maafkan aku juga, dan terima kasih tuk semuanya. Aku juga menyayangi dan mencintaimu,” Adima yang mendengarnya tersenyum, senyum yang sangat manis. Senja telah tenggelam, kini sekitar bertambah semakin gelap, kita pun bergegas pergi ke masjid tuk Shalat. Terima kasih Tuhan, keyakinanku tuk dia kembali tidak salah, penantianku tidak sia-sia.

 

Ikuti tulisan menarik Kama Gita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler