x

Sejak dalam kandungan, ibunya sudah berniat mengugurkannya. Aku pernah melihat ibunya memakan banyak nenas supaya bayi itu lekas gugur. Pernah juga aku melihat ibunya meminum pil aborsi.

Iklan

Tiara Nursyita Sariza

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 November 2021

Kamis, 18 November 2021 07:29 WIB

Ke Tubuh Rimba ke Tubuh Semesta

Sejak dalam kandungan, ibunya sudah berniat mengugurkannya. Aku pernah melihat ibunya memakan banyak nenas supaya bayi itu lekas gugur. Pernah juga aku melihat ibunya meminum pil aborsi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

             ENTAH tersebab apa janin itu menyetujui perjanjiannya dengan Tuhan agar ia lahir ke dunia. Maunya ketika itu ia menolak saja dan keluar dari rahim ibu tanpa wujud utuh. Dengan begitu segala urusannya akan selesai. Tidak ada persoalan lagi. Tidak akan ia rasakan derita di kemudian hari. Tetapi, aku tak bisa mengatakan kalau janin itu bodoh. Sebab ia juga sama seperti diriku. Aku dan janin itu sama-sama manusia, kami sama-sama punya nafsu untuk mencoba apa pun yang tidak sebaiknya kami coba. Akhirnya, kehendak Tuhan terjadi, dan disebabkan rasa penasaran melihat isi dunia, lalu lahirlah ia sebagai sesosok makhluk bernama manusia.

            Ketika masih berbentuk janin, aku sering berdoa untuk dirinya agar ia mati saja. Tidak usah berlelah-lelah menjalani kehidupan yang sebelas duabelas dengan neraka. Namun, ia tidak mendengar. Aku pernah berbisik kepadanya, kalau mau lahir jangan lahir dari rahim ibu yang ini, tetapi pilihlah ibu bidadari. Ia bengal. Ia tidak mau mendengar. Atau, mungkin ia mendengar tetapi sudah terlambat.

            Kini ia benar-benar telah lahir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

           Kautahu, kenapa aku masih menyebutnya janin, bukan bayi? Jawabannya, aku merasa kalau ukurannya sangat kecil untuk disebut bayi. Ia lahir prematur di usianya yang baru tujuh bulan. Ukurannya sekepal tangan orang dewasa. Kulitnya berwarna merah. Kalau kaulihat permukaan kulitnya, persis seperti mainan plastik barbie. Transparan. Aku bisa melihat urat-uratnya yang menonjol di tubuhnya. Tak heran, ketika lahir bayi itu telah bersemayam di inkubator. Menetek pun ia tidak dari susu ibunya, tetapi menggunakan alat bantu dan susu bantu. Alat bantu itu berupa selang yang dimasukkan dari mulut menuju lambung agar ia masih tetap bisa makan. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, dari balik kaca ruang inkubator. Aku melihat ia menangis dengan keras. Ketika menangis itu, urat-uratnya menyembul dari kulitnya, tegang seperti hendak putus.

             Di balik ruangan itu aku berdoa agar ia mati saja. Doa itu bukan karena aku kejam, tetapi aku kasihan kalau kemudian melihat ia hidup dengan segala kepahitan. Buktinya, sejak bayi ia sudah mengalami derita yang luar biasa. Apalagi ketika besar nanti, ia akan mendapatkan perlakukan temperamental dari ibu dan ayahnya, sama seperti diriku. Sejak dalam kandungan, ibunya sudah berniat mengugurkannya. Aku pernah melihat ibunya memakan banyak nenas supaya bayi itu lekas gugur. Pernah juga aku melihat ibunya meminum pil aborsi.

            Ketika kutahu ibuku berulang kali hendak menggugurkannya, aku dan ibu bertengkar hebat. Ibu memukulku dengan kursi sampai babak belur. Aku hanya bisa menjerit kesakitan. Tubuhku terempas  di lantai. Tanpa iba, ibu menambah tedangan demi tendangan bertubi-tubi ke tubuhku sebelum kemudian ia memaki-maki diriku.

            “Bukan urusanmu menilai anak ini. Aku tidak mau menambah beban kalau ayahmu masih miskin. Maka biarkan ia mati!” bentak Ibu.

            Ucapan ibu membuat aku spontas menjawab, “Ibu jahat! Ibu tega!”

            Itulah untuk kesekian kali tamparan, pukulan, mendarat di tubuhku. Ibu tidak peduli dengan bekas lebam yang kemarin ia tinggalkan di punggungku. Setelah ibu puas melampiaskan amarah, ia pergi meninggalkanku begitu saja, seperti tanpa bersalah. Sejak itu, kekerasan telah menjadi santapanku sehari-hari. Jika tidak makian yang kudengar, pasti pukulan. Bayangkan saja, kalau ibuku beranak lagi, adikku pasti akan lebih tragis nasibnya dari diriku.

               Kenapa dulu aku juga membuat keputusan untuk mau dilahirkan, kenapa tidak digugurkan? Tuhan, kenapa dulu aku lahir dengan selamat dan sehat? Kepada Tuhan, aku kadukan semua keluh kesah. Aku sering berdoa kepadanya supaya nyawaku segera diambil saja. Aku lelah menjalani kehidupan di dunia ini, setiap hari rasanya seperti terkena percikan api. Jika aku dihunjam pukulan karena berbuat salah, ingin rasanya kuhalangi dengan tangkisan, tetapi bila aku memberi perlawanan, ibuku pasti mengutukku sebagai anak durhaka yang tidak tahu diuntung. Karena tak kuat lagi, aku berniat ingin bunuh diri saja. Namun, pada akhirnya aku tidak berani melakukan perbuatan nekad itu.

              Mau tidak mau, aku harus sabar dan menerima suratan takdir yang begitu brutal. Dampaknya, di tengah sabar yang luntur, sedikit demi sedikit timbul juga kebencianku pada ibu. Bahkan, dalam amarahku aku bersumpah tidak akan menyayangi calon adikku jika ibu tidak mau melahirkannya. Sejak saat itu aku tidak peduli kepada ibu selama kehamilannya, walau kenyataannya sudah lebih 15 tahun kutunggu datangnya seorang adik. Tetapi jujur, di tahun kelima belas ini aku malah berharap kalau ia tak pernah lahir saja. Bukan karena aku cemburu kalau tidak lagi menjadi anak satu-satunya. Malah sebaliknya, karena aku begitu sayang padanya sehingga tidak tega bila ia menderita di dunia.

 

***

            Sudah sepekan bayi prematur itu berada di dalam kotak inkubator. Untunglah BPJS menanggung segala biaya di rumah sakit. Setiap hari aku ditugaskan orang tuaku mengunjungi anak mereka. Setiap aku menjenguknya tangisku pun pecah. Kalau kulihat janin itu di antara bayi-bayi lain di dalam ruangan inkubator, hanya adikkulah yang cacat. Aku ceritakan itu pada ayah dan ibu, tetapi mereka tidak peduli. Mereka katakan kalau dokter akan mengatur semua urusan. Duh, sungguh tega ibu dan ayahku. Dulu, ketika  keadaan ekonomi keluarga lebih baik, anak kedua didamba-dambakan kehadirannya. Kata mereka, anak laki-laki akan mewarisi marga. Namun sekarang, harapan kepada anak laki-laki sepertinya tidak lagi terbetik, apalagi janin itu adalah perempuan. Mereka bertambah tidak peduli.

            Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Satu-satunya langkah terbaik adalah mendoakan bayi itu agar ia beristirahat dengan tenang. Saat ini hanya aku satu-satunya yang berada paling dekat dengan dirinya, setidaknya hingga menunggu ia menemui ajal. Aku sempat memegang tangan kecilnya yang rapuh, dan dengan belas kasihan, kubisikkan kepadanya sebuah pertanyaan, “Apakah kau tidak lelah seperti ini? Percuma jika kau terus berjuang hidup, sebab perjuanganmu akan sia-sia. Toh, ibu dan ayahmu tidak akan menyayangimu.” Aku tidak tahu, apakah ia mengerti perkataanku. Yang pasti kulihat ia hanya menggerakkan sedikit tangannya di atas jariku.

            “Pulanglah, duhai, anak baik. Beristirahatlah dengan tenang dalam pelukan Tuhan. Dunia kejam,” bisikku lagi kepadanya. Ia tetap bergeming, dan kedua bola matanya teduh menatap ke arahku.

         Aku terus bercerita kepadanya tentang apa saja yang kadang tidak aku mengerti. Kadang aku bernyanyi. Kadang aku menangis. Kadang pula aku berteriak histeris. Aku melihat dinding-dinding putih memuncul wajah-wajah yang tak berbentuk. Seolah wajah-wajah itu hendak melompat ke luar, menerkam tubuhku dan tubuh bayi di hadapanku.

             Tiba-tiba, aku rasakan napas adikku itu tersengal-sengal. Dadanya berdetak kencang seperti kulit tambur yang dipukul kuat. Detak jantungnya semakin keras, seiring tangisnya yang juga keras namun lambat laun melemah. Aku panik. Aku berteriak memanggil dokter. Dokter jaga datang, dan memeriksa keadaan bayi itu. Tubuhnya yang lemah dalam sekejap telah penuh dengan kabel-kabel yang entah apa namanya, dan kabel-kabel itu menempel di sekujur adikku.

              Aku telah tidak sadarkan diri. Semua gelap. Namun, dalam kegelapan itu, tiba-tiba jari-jari tanganku ada yang menarik-narik lembut. Aku melihat ke bawah, dan kutemui wajah polos adikku. Di sampingnya aku melihat seekor induk orang utan, yang ikut menarik tanganku. Adikku tersenyum. Induk orang utan itu tersenyum, dan tubuhku dituntun berjalan menuju titik sebuah cahaya yang jauh.  Cahaya itu berada di tengah-tengah hutan lebat berbukit indah. Setiba di sana, tubuhku dan tubuh adikku menjelma menjadi pohon-pohon. Aku dan adikku rehat dalam pelukan tubuh rimba dan tubuh semesta. (*)

 

Aceh, November 2021

 

 Biodata:

Tiara Nursyita Sariza*, lahir di Pekanbaru, Riau. Saat ini berdomisil di Aceh. Menjalani kesehariannya sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ia penyuka buku-buku sastra. Buku tunggalnya kumpulan puisi berjudul 100 Detik Berpuisi serta beberapa buku bersama. Nomor gawai di 0822-8106-4358.

Ikuti tulisan menarik Tiara Nursyita Sariza lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler