x

Iklan

Camila N

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Kamis, 18 November 2021 07:24 WIB

Mon Ange

Dia yang datang pertama, bukan berarti dia pula yang akan menetap hingga akhir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

MON ANGE

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suara dari berbagai instrument musik, dari mulai gitar, drum, bass, keyboard, dan juga irama suara indah dari sang vocalis band pun terdengar menggema merdu dari sebuah studio di lantai tiga gedung TIRTA TETRA ENTERTAINMENT siang itu.

 

 

One, two, three, four, five, six, seven, eight. ANGKASA! Fokus! Chord lo salah lagi Sa,” seru Yidam, sang vocalis. “—hufftt. Kita break dulu 15 menit,” lanjut Yidam menyadari bahwa ada sesuatu yang lain sedang mebebani pikiran keyboardist-nya itu.  

 

 

Sadar dengan ekspresi cemas dari laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya itu, pemuda berkaos coklat dan bertubuh tinggi itu mulai mendekati Angkasa, lalu menepuk pundak laki-laki berparas dingin dengan raut cemas yang kental terasa di balik wajah dinginnya itu.

 

 

“Ada apa Bang?” tanya Harris—pemuda berbaju coklat tadi.

 

 

“Nggak ada apa-apa Ris,” jawab Angkasa sambil menggeleng semu dengan ekspresi yang masih sama seperti sebelumnya. Kecemasan masih tergambar jelas di raut wajah tampannya itu.

 

 

“Beneran gak ada apa-apa? Muka lo keliatan banyak pikiran Bang. Lo serius gak ada apa-apa?” tanya Harris sekali lagi. Mencoba membuat Angkasa Ariyan Hananta, salah satu anggota band dan anggota yang paling dekat dengannya itu untuk bercerita perihal alasan di balik wajah cemas dan perilaku tidak fokusnya itu.

 

 

Angkasa menghembuskan nafasnya kasar “Natasha... Gimana kabarnya?” tanya nya dengan tatapan kosong ke depan.

 

 

Harris yang mendengar nama kakak perempuannya di sebutkan oleh Angkasa pun ikut mengembuskan napas berat, ia menoleh, menatap sendu laki-laki di sampingnya itu. Angkasa, laki-laki itu pasti kembali memikirkan kakak perempuannya. Natasha Sekalandra, kakak perempuan dari Harris Tristian Kalandra sekaligus gadis yang dicintai oleh Angkasa. Gadis yang sangat ceria dan selalu menyebarkan energi positif kepada orang-orang di sekitarnya. Gadis yang tidak pernah luntur dari ingatan Angkasa, bahkan setelah kepergian gadis itu ke Singapura untuk menjalani perawatan penyakit kanker paru-paru yang sudah menggerogoti tubuh gadis itu dua tahun lalu. Pikiran Angkasa terus mengimpuls segala hal tentang gadis itu, hidupnya kembali seperti Angkasa kecil dahulu. Dia takut kehilangan Natasha. Angkasa bahkan sempat tidak mau berbicara kepada siapapun termasuk keluarga dan orang tuanya, kalau bukan atas bujukan dari sang gadis–Natasha, mungkin saat ini laki-laki itu masih enggan untuk membuka lisannya. Ya, seberpengaruh itu seorang Natasha Sekalandra di hidup seorang Angkasa Ariyan Hananta.

 

 

Harris mengembuskan napasnya. Ia tahu laki-laki di sampingnya ini sangat mencintai kakak perempuannya. Walaupun keduanya masih betah dengan status pertemanan yang mereka pertahankan hingga detik ini, namun tak bisa dipungkiri kalau ikatan batin mereka begitu kuat, getaran asmara di antara keduanya selalu meluap-luap setiap kali dua insan itu berpadu. 

 

 

“Lo tenang aja Bang, Kak Tata baik-baik aja kok. Sebenernya dia udah balik ke Indonesia dua hari yang lalu.” Ucap Harris, terpaksa memberitahu hal itu kepada Angkasa, agar laki-laki itu bisa sedikit tenang dan fokus selama latihan hari ini.

 

 

Angkasa menoleh ke arah Harris,“Dua hari lalu? Dan lo baru kasih tau gue sekarang?” tanya Angkasa dengan nada sedikit kesal. 

 

 

“Bukan begitu Bang, Kak Tata butuh istirahat full dua hari kemarin, bahkan yang boleh masuk ke kamar dia hanya dua orang maksimal, tapi lo tenang aja, kondisi Kak Tata sangat baik kok Bang, maaf baru ngasih tau lo sekarang. Gue belom dapet momentum yang pas buat ngasih tau lo," sanggah Harris cepat sebelum kesalahpahaman terjadi di antara keduanya.

 

 

“Kak Nata udah pulang?” tanya Januar, teman seumuran Harris di grup itu. Harris menganggukkan kepalanya sebagai jawaban untuk pertanyaan Januar.

 

 

“Sekalian kita jenguk aja sore ini, di rumah lo kan Ris?” Tanya Danny–anggota tertua di grup mereka. Harris mengangguk kembali, menyetujui saran Danny.

 

 

“Yaudah sekarang latihan lagi dah yuk, konser tinggal hitung minggu nih abang-abang sekalian,” saran Januar, memecah keheningan yang terjadi setelah potongan kalimat dari Danny. Mereka pun kembali melanjutkan latihan siang itu.

 

 

☆☆☆☆

 

 

Jam menunjukkan pukul empat sore, semua orang di dalam studio pun mulai merapikan alat musik mereka masing-masing dan mengemas ulang tas mereka, kemudian kelima pemuda itu pun mulai beranjak meninggalkan studio menuju basement untuk mengambil kendaraan masing-masing.

 

 

Sesampainya mereka di lantai basement, Angkasa menekan tombol untuk membuka mobilnya yang terkunci.

 

 

“Asa, lo mau langsung ke rumah Harris kan?” Tanya Danny.

 

 

“Iya.” Balas Angkasa tepat.

 

 

“Gue, Janu, dan Yidam nyusul aja ya. Mau cabut pulang dulu, lengket banget ni badan, apalagi si Janu tuh, badan udah bau getah karet.” Ucap Danny yang mengundang kekehan dari Harris.

 

 

“Iya Bang, gapapa. Mandi dulu aja, kalo gitu gue sama Bang Asa duluan ya.” pamit Harris yang kemudian menyusul Angkasa masuk ke dalam mobil pria itu. Angkasa menyalakan mesin mobilnya dan mulai melaju keluar dari area gedung, siap menembus jalanan sore hari kota Jakarta.

 

 

Setelah perjalanan sekitar tiga puluh menit menembus macetnya jalanan Jakarta, dua laki-laki rupawan itu pun akhirnya sampai di kediaman keluarga Kalandra. Mobil Angkasa melaju memasuki gerbang rumah besar itu dan memarkirkan mobilnya di garasi yang ada.

 

 

Mereka berdua pun turun dari mobil. Angkasa terlihat mengulum senyum samar, mungkin tidak sabar untuk bertemu gadis yang ia rindukan selama dua tahun belakangan ini.

 

 

Angkasa melangkah di belakang Harris, memasuki rumah utama keluarga Kalandra yang langsung disambut dengan sebuah figura foto keluarga besar di pintu masuknya. Angkasa tersenyum melihat potret Natasha dengan gaun berwarna coral dan senyum yang terukir manis di wajah kecilnya. Cantik, pikir angkasa.

 

 

Harris dan Angkasa berhenti di sebuah pintu berwarna coklat muda dengan sebuah figura note bertuliskan “Natasha’s Room do not entry if ur not nice” tulisan itu, sangat menggambarkan sang pemilik ruangan. Harris mengetuk pintu itu

 

 

‘tok tok tok’

 

 

Mereka mulai melangkah masuk ke dalam kamar tersebut, Angkasa pun ikut masuk di belakang Harris, berbagai kabel dan alat medis lengkap terpasang rapi di dekat ranjang tempat si putri tidur terlelap, wajah yang masih sangat cantik walau dengan kulit sepucat salju, pun rambut yang menipis karena rontok akibat prosedur pengobatannya. Aroma khas gadis itu menyapa indera penciuman Angkasa, membuat laki-laki itu tersenyum sendu sambil menatap lembut tubuh yang terbaring di ranjang tersebut. 

 

 

Angkasa mendekat menuju tepi ranjang, duduk di kursi yang tersedia di sana. Dirinya hanya diam menatap gadisnya lamat-lamat. Hingga saat kedua mata yang tertutup itu mulai mengerjap pelan, memperlihatkan kedua iris hazel itu perlahan, Natasha terbangun. Gadis itu tersenyum lebar hingga menampilkan lesung pipi yang begitu manis di pipi kanannya, persis seperti milik Angkasa.

 

 

“Hai Natasha, selamat sore.” Angkasa menyapanya dengan senyuman yang tak hilang sejak 5 menit yang lalu.

 

 

“Hai juga, Asa,” jawab gadis itu dengan suara yang parau sembari membalas senyuman si lawan bicara.

 

 

Harris tersenyum melihat keduanya, dua insan yang sangat beruntung dan sial di waktu yang bersamaan. 

 

 

“Gue mandi dulu ya Bang, Kak.” Pamit Harris yang kemudian melenggang pergi meninggalkan kamar itu, menyisakan Angkasa dan Natasha di dalam ruangan yang mendadak sunyi.

 

 

“Kamu apa kabar Sa? Baik-baik aja kan? Kamu nggak mogok ngomong lagi kan sama Om dan Tante? Kamu masih ngeband bareng Harris dan yang lainnya kan?” tanya Natasha, menyerbu Angkasa dengan rentetan pertanyaan.

 

 

Angkasa terkekeh pelan. “Iya Natasha, aku baik-baik aja, aku juga nggak mogok ngomong sama Ibu dan Ayah kok. Dan kalau aku berhenti ngeband, aku ga mungkin berangkat ke sini bareng Harris," jawab Angkasa seraya meraih punggung tangan pucat milik Natasha kemudian mengelus punggung tangan pucat itu menggunakan ibu jarinya. “Kamu sendiri, apa kabar? Apa masih sering ngerasa sakit?” tanya Angkasa, menatap wajah cantik Natasha sambil terus mengelus punggung tangan gadis itu dengan lembut.

 

 

“Aku jauh lebih baik Sa, dan soal rasa sakit, itu akan segera hilang," balas gadis itu seraya menyunggingkan gurat senyuman syahdu. Cahaya dari matahari terbenam yang mengenai wajah gadis itu, membuat wajah cantiknya jauh lebih cantik lagi. “Asa! Asa ingat gak? Dulu waktu kita baru ketemu pas SD. Tasha masih ingat kalau Asa sangat dingin dan menyeramkan, hahaha. Tapi saat mendengar Asa memainkan piano di ruang musik sekolah kala itu, semua anggapan yang tertumpuk di kepala Tasha langsung hilang seketika. Tasha juga masih ingat, bagaimana enggannya Asa saat ada orang yang tahu bakat indah Asa itu. Asa tau? Saat asa bilang dan suruh Tasha untuk diam dan nggak memberitahu orang-orang soal hal itu, anggapan-anggapan tadi kembali ke kepala Tasha, bahkan bertambah. Tasha pikir, Asa itu orang aneh. Karena sia-sia kalau Asa punya bakat sebagus itu tapi tidak ada orang yang tahu, Asa sangat aneh. Makanya Tasha terus memaksa Asa dan berusaha meyakinkan Asa untuk bisa menampilkan bakat Asa kepada banyak orang, Asa terlihat sangat kesepian waktu itu, jadi Tasha pikir, Asa nggak akan kesepian lagi kalau Asa mulai membuka diri untuk orang lain dan mencintai diri Asa sendiri,” Natasha berbicara, menceritakan awal mula mereka berdua bertemu, lalu tentang bagaimana Natasha mengubah seorang Angkasa Ariyan Hananta. Dan cerita diatas pula lah yang menjadi alasan mengapa seorang Natasha Sekalandra sangat penting bagi Angkasa. Gadis itu mengambil peran yang sangat penting dalam perubahan hidupnya, lembaran yang dulu hanya monokrom. Hanya ada coretan hitam dan putih. Namun saat gadis itu hadir di hidupnya, lembaran itupun mulai tergoreskan oleh ribuan warna.

 

 

Angkasa masih setia menatap gadis di depannya ini, Natasha balik menatap Angkasa, gadis itu mengangkat punggung tangan kanannya yang terpasang jarum infus dan oximeter di jarinya, ia menaruh tangan kanannya di atas tangan angkasa yang masih setia mengelus punggung tangan kiri Natasha, gadis itu menggenggamnya lembut.

 

 

‘Uhuk uhuk’ 

 

 

Batuk yang terdengar menyakitkan terdengar dari gadis itu, Angkasa terkejut dan langsung menanyakan kondisi gadisnya.

 

 

“Natasha?! Kamu gak apa-apa?!” tanya Angkasa panik, yang dijawab anggukan singkat oleh Natasha.

 

 

“Tasha gak apa-apa Asa. Asa ingat ini ya, Tasha sepertinya berhasil membuka hati Asa, tugas Tasha sudah selesai. Sekarang giliran Asa yang harus bisa membiarkan orang lain masuk ke sini, ke dalam hati Asa yang sudah Tasha buka.” Jari gemetar gadis itu terhenti tepat di dada laki-laki itu.

 

 

“Maksud kamu apa Natasha?” Suara Angkasa mulai gemetar, senyum lebar tadi perlahan mulai terganti dengan raut resah.

 

 

“Tasha sayang Asa, Tasha sangat menyayangi Asa. Tasha sedih saat melihat Asa kesepian, Tasha benci melihat Asa selalu merasa sendiri di dunia yang sangat besar ini. Asa dengar, ada tujuh miliar manusia di bumi ini Asa, Asa tidak boleh merasa kalau Asa hanya sendirian di dunia ini. Temukan bahagianya Asa, hiduplah dengan damai dan senang di saat Tuhan masih memberi kesempatan, riwayat Tasha sudah habis sampai di sini, di hari ke tujuh ribu tiga ratus ini halaman Tasha sudah sampai di epilog-nya Asa,” ujar gadis itu dengan senyum yang tetap terpatri indah walaupun air matanya terus mengalir yang membuat senyum manisnya terlihat amat menyedihkan.

 

 

Angkasa menggelengkan kepalanya, “Nggak! Kamu gak boleh ke mana-mana Natasha, aku masih butuh kamu, aku... aku—“ Angkasa tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya, laki-laki itu mengacak kasar rambut legamnya, dan kembali menggenggam tangan gadis yang kini masih mempertahankan senyumannya.

 

 

“Asa dengar… Asa dengerin Tasha dulu sebentar oke.” Natasha menenangkan Angkasa yang sudah kalut, Natasha masih mencoba bernapas dengan tenang, gadis itu merengkuh tubuh tegap laki-laki di hadapannya. Angkasa yang tadi sangat kalut mulai melembut, laki-laki itu balas memeluk erat gadisnya.

 

 

“Biarkan orang lain masuk ya Asa. Asa hebat… Tasha bangga bisa sampai disini, Tasha.... sangat menyayangi Asa.” Suaranya kian mengecil sampai ujung kalimatnya. Angkasa merasakan dekapan dari gadis di pelukannya mulai merosot, hingga Angkasa menyadari bahwa tubuh yang ada di pelukannya sudah tak lagi bernyawa. Gadisnya pergi meninggalkannya. Angkasa menangis sejadi-jadinya di dalam sana sambil tetap memeluk tubuh yang kini sudah tak bernyawa tersebut.

 

 

Sedangkan segelintir orang yang sedari tadi berada di balik pintu kamar itu pun ikut menangis menyaksikan kejadian yang tak mereka sangka akan terlihat begitu menyakitkan. Harris dengan matanya yang sudah memerah menyaksikan sendiri sebuah kisah pilu dari dua insan yang saling mencintai. Namun Tuhan nampaknya takdir berkata lain. Harris memeluk kedua orang tuanya, mereka semua sebenarnya sudah tahu akan hal ini. Alasan mengapa Natasha dibawa pulang adalah karena kanker yang menyerang Natasha sudah sangat menyebar, gadis itu pun terlihat sudah menyerah dan tidak sanggup lagi menahan sakit dari efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Gadis itu pun meminta untuk pulang ke Indonesia, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya di sana. Gadis itu juga meminta untuk membiarkan dirinya menghabiskan detik-detik terakhir hidupnya bersama Angkasa. Itulah mengapa orang tua dari gadis itu, Harris, dan yang lainnya membiarkan keduanya menghabiskan waktu terakhir mereka bersama.

 

 

 

5 years later 

 

 

Sepatu hitam berbahan kulit berkualitas tinggi itu melangkah di antara tanah basah yang baru saja selesai diguyur hujan. Seorang laki-laki dengan balutan long coat coklat, celana panjang dengan warna yang senada dan sebuket bunga mawar merah yang merebak terus berjalan, mencari tempat yang ia tuju. Setelah menemukan tempat yang ia cari, laki-laki itu tersenyum. Melangkah mendekat dan mulai terduduk tepat di samping batu nisan bertuliskan NATASHA SEBASTIAN KALANDRA. Ia menyandarkan bunga yang dibawanya tadi di hadapan batu nisan itu, matanya mulai berair dan  ia mengerjap beberapa kali, guna mencegah cairan bening itu tidak mengalir keluar dari pelupuknya.

 

 

“Hai, Natasha.” Suaranya mulai gemetar, laki-laki itu mengelus batu nisan dihadapannya.

 

 

“Sudah lima tahun semenjak kepergianmu, maaf aku baru menemuimu hari ini, maaf….”Ia tak kuasa menahan air matanya lagi, rintik gerimis jatuh berbarengan dengan turunnya air mata laki-laki itu dari pelupuk mata indahnya yang kini sudah memerah.

 

 

“Aku menepati apa yang kamu minta lima tahun lalu, Sha. Maaf aku terlambat dalam menyadari semuanya, kamu tahu Natasha? The Dawn Sky baru saja menyelesaikan tour kota kita minggu lalu, sesuai keinginanmu. Aku sekarang sudah kembali memainkan tiap tuts keyboard dan menikmati hidupku dengan damai dan bahagia. Walau tanpa ada kamu melengkapinya, aku akan terus hidup bahagia Natasha, kamu tidak perlu khawatir disana, ya,” ucap Angkasa dengan air mata yang berderai jatuh. Ia menghapus jejak air mata di pipinya dengan segera. 

 

 

“Aku merindukanmu Natasha. Kamu benar, aku tidak sendirian di dunia ini. Aku punya kamu, aku juga punya yang lainnya. Terima kasih karena sudah datang dan singgah di hidupku Natasha. Terima kasih sudah menyadarkan ku soal eksistansi manusia lain di hidupku. Semoga kau bahagia di sana… Mon ange,” ucap Angkasa sambil tersenyum sendu.

 

 

"You must always remember that it doesn't matter who comes first, but who you let in. No matter who opens the door, allow others to come in, too."MON ANGE 

 

 

 

17 November 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Camila N lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler