x

Fence from Pixabay

Iklan

Melvi Yendra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 November 2021

Kamis, 18 November 2021 13:08 WIB

Di Sini, Maling Langsung Mati

Beberapa orang bisa memaafkan kesalahan masa lalu orang lain dengan mudah, tapi ada juga yang mengingatnya sampai mati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PUKUL empat pagi, aku dibangunkan istriku yang sedang hamil enam bulan. Kupikir Nurmala minta dipijit atau digaruk punggungnya seperti biasa, tapi ternyata tidak.

“Ada rame-rame di depan, coba kamu lihat ada apa, mungkin ada tetangga yang kemalingan motor lagi,” kata Nurmala, dengan wajah tegang.

Aku cepat-cepat turun dari tempat tidur lalu keluar kamar. Pencurian motor sudah beberapa kali terjadi di lingkungan kami, dan beberapa menimpa tetangga terdekat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah membuka pagar rumah, aku langsung mengenali Murhali, Ketua Rukun Tetangga kami, yang sedang bicara dengan tiga orang pria tetanggaku di depan rumah Pak Nursal, rumah yang berada di seberang rumahku.

“Ada apa, Pak RT?” tanyaku setelah menyalami Mursali dan bapak-bapak yang lain.

“Maling motor lagi, Pak Zainal.”

“Di mana?”

“Ini, rumah Pak Nursal,” sahut Pak Amin, tetangga sebelah kananku.

“Gimana kejadiannya?”

“Biasa, Pak, gembok pagar dijebol, lobang kunci motor dikasih cairan, dibuka pake kunci T, trus motor dibawa kabur,” jelas Pak RT.

“Udah lapor polisi, Pak?” kejarku lagi.

“Udah, ini mereka lagi di jalan mau ke sini,” sahut Pak Amin.

Aku baru sadar Pak Nursal tidak ada di situ. “Pak Nursalnya ke mana?”

“Lagi di luar kota kata istrinya, Pak,” jawab Pak RT lagi.

Setelah nimbrung bicara basa-basi selama beberapa menit tentang keamananan lingkungan, terdengar azan dari masjid. Aku pamit masuk lagi. Kerumunan itu segera bubar, dan jalanan di depan rumahku kembali sepi. Pak RT masuk ke dalam rumah Pak Nursal, mungkin menunggu petugas kepolisian datang.

“Kasian, padahal kalau nggak salah, itu motor baru dua bulan,” kata Nurmala waktu aku cerita begitu sampai di dalam kamar.

“Udah bukan rejeki, itu aja,” kataku sambil berbaring lagi di kasur. Azan subuh baru saja selesai dikumandangkan dari masjid.

“Solat subuh dulu,” tegur istriku.

“Ngantuk,” kataku.

“Ih, pemalas amat kamu! Nggak malu apa sama calon bayimu?”

Aku bangkit lalu pergi ke kamar mandi.

 

SETELAH kejadian subuh itu, tiga hari kemudian, saat aku baru pulang kantor, Nurmala memberitahu rumah Pak Amin dimasuki maling siang bolong tadi. Yang diambil juga motor.

“Kita harus waspada, Pa,” kata Nurmala. “Kalau siang-siang, pas Papa lagi kerja, mobil kita di garasi bisa jadi sasaran juga.”

Aku melirik mobil minibus yang baru kami beli enam bulan lalu secara kredit.

“Tenang, nanti aku pikirin caranya, biar rumah kita tambah aman dari maling,” kataku menenangkan istriku.

Gawai yang dipegang Nurmala berbunyi. Nada panggil.

“Dari Ibu, ” katanya sambil berjalan ke kamar.  “Aku terima di kamar aja sambil baringan.” Nurmala pergi ke kamar.

Selesai makan malam, Nurmala curhat soal bapak dan ibunya yang ingin ke Depok, menunggui kelahiran si kecil.

“Aku bilang ini kan masih 6 bulan, nanti kelamaan kalau nunggu sampai lahiran. Mending ke sini udah bulan ke 9 aja. Lagian Bapak kan punya toko yang harus diurus di Palempang.”

“Ya, betul itu,” sahutku. “Tapi Bapak sama Ibu nggak sedih kan kamu bilang begitu?”

“Awalnya Ibu bilang justru lebih awal ke sini biar bisa bantu-bantu aku, gitu kata Ibu. Tapi, Ibu akhirnya ngalah.”

“Ya, baguslah.” Aku lega.

Nurmala melirikku agak lama.

“Papa gimana kabarnya?”

Aku langsung menghela napas. Papa. Sosok yang malas kubahas di kesempatan apa pun. Lelaki yang sudah sejak kecil menyakiti keluargaku, terutama mamaku. Waktu aku TK, dia diam-diam menikahi perempuan lain, sampai-sampai mamaku sakit karenanya dan kemudian meninggal dunia. Papaku kini tinggal dengan adikku, Risya, di Bogor. Istri keduanya sudah lama dicerai, tapi aku tetap tidak bisa memaafkan papaku sampai sekarang.

“Kayaknya sehat,” sahutku datar.

“Papa nggak pengen ke sini, nengokin calon cucu pertamanya? Kan dekat.”

“Tau ah, lebih baik nggak.” Aku langsung pergi ke kamar mandi. Nurmala sudah tahu, Papa bukan topik yang kusukai.

Habis isya, aku keluar sebentar ke tempat foto kopi dan pulangnya membawa kertas karton putih ukuran A2 yang sudah di-laminating. Karton itu berisi tulisan yang dicetak dengan komputer, “DI SINI, MALING LANGSUNG MATI”. Tulisan itu kupasang di depan pagar rumah kami.

Nurmala marah ketika melihatnya. “Ngapain kamu bikin itu?”

“Ya, buat nakut-nakuti malingnya lah.”

“Emang kalau misalnya malingnya ketangkap, kamu mau bunuh dia, gitu?”

“Ya, enggaklah, emang aku udah gila apa mau bunuh orang? Ini cuma buat nakut-nakutin malingnya doang, Ma.”

“Kalau maling takut baca tulisan itu, dia nggak bakal jadi maling, Pa.”

 

PAGI-PAGI, saat membuka pintu rumah, aku kaget ketika melihat salah satu kaca mobilku sudah bolong. Pecahan kacanya berceceran di samping mobil.

Aku berteriak memanggil Nurmala. Nurmala keluar dari dalam rumah.

“Apa?”

Aku menunjuk mobil kami. Nurmala pucat pasi. “Astagfirullah!”

Aku mengecek pagar, gemboknya sudah dijebol. Aku memeriksa mobil, untungnya interior mobil tidak diutak-atik. Di luar pagar, aku menemukan karton yang dilaminating sudah dipotong-potong dengan pisau. Aku sempat bergidik.

“Mungkin malingnya mikir ada barang berharga di mobil.”

Tiga jam kemudian, sepulang dari kantor polisi ditemani Murhali, Ketua RT kami itu memberitahu bahwa sebagian warga sepakat mau menjalankan ronda malam.

“Kenapa nggak pasang portal dan bayar sekuriti aja, Pak?”

“Biayanya mahal, Pak. Warga kalau soal duit susah, mah,” keluhnya.

Aku tidak berkomentar lagi. Seharian aku memikirkan apa yang bisa mengamankan rumahku dari maling. Ada mendapat ide, sedikit berbahaya, tapi tidak ada salahnya kucoba.

Waktu aku pulang membawa gembok baru yang lebih besar, trasformator, kabel bermeter-meter, colokan, saklar, dan beberapa peralatan lainnya dari toko listrik, Nurmala bertanya untuk apa itu semua. “Nanti saja kujelasin.”

Dua jam kemudian aku ke kamar, melaporkan apa yang kukerjakan pada Nurmala.

“Aku nyambungin gembok yang tadi aku beli ke colokan listrik. Pake trafo, jadi daya listriknya cuma bikin pingsan.”

Nurmala langsung syok.

“Buat apa?! Kalau aku nggak sengaja megang, aku sama bayi kamu bisa mati!”

“Tenang, ini aman. Lagian kan baru aku nyalain listriknya sebelum kita tidur.”

“Kalau ada tetangga yang datang trus kesetrum gimana?”

Aku tertawa. “Pagar kita pagar kayu, Sayang. Yang dari besi kan cuma gemboknya doang. Kalau ada tetangga mau ke sini, mereka pasti manggil-manggil kita dululah, masa mau langsung buka gembok kayak maling.”

Nurmala diam, rupanya dia tidak suka dengan caraku ini.

Selama beberapa hari, keadaan di lingkungan kami aman. Tidak terdengar lagi kabar ada maling masuk rumah dan motor-motor yang hilang dari garasi. Atas saran seorang teman di kantor, aku sudah memasang beberapa kamera CCTV di sekeliling rumah. Usia kehamilan istriku makin bertambah. Dari sekali sebulan, kunjungan kami ke dokter makin rapat jadi sekali dua minggu. Calon bayi kami alhamdulillah sehat. Aku makin sibuk di rumah.

Malam itu, tiba-tiba hujan lebat turun. Seperti biasa, sebelum tidur, aku memasang kabel listrik ke gembok besi pagar rumah kami. Aku tidak boleh lengah. Maling suka beraksi di tengah hujan lebat begini.

Menjelang subuh, aku tiba-tiba terbangun. Aku meraih gawai dan melihat sudah ada belasan panggilan-tak-terjawab dari Risya. Paling soal papa lagi, kataku dalam hati. Orang gaek itu pasti berulah lagi, yang bikin pusing adik semata wayangku itu.

“Siapa?” tanya Nurmala.

“Risya miskol beberapa kali.”

“Telepon balik, siapa tahu penting.”

“Ntar ajalah, masih subuh ini.”

Aku keluar membuka pintu depan, berjalan ke garasi dan melepas colokan listrik ke gembok ketika Risya menelepon lagi. Aku dengan kesal menjawab panggilan itu.

“Ada apa sih, Ris?” kataku.

“Bang, Papa ke situ nggak?”

“Ya, nggak adalah. Mana mau dia ke sini? Kenapa emangnya?” Aku membuka kunci gembok pagar.

“Papa nggak ada di rumah!”

Aku tertegun sebentar dan mulai serius menyimak penjelasan Risya.

“Emang semalam Papa tidur di mana?”

“Di kamarnya. Jam 2 tadi pas aku bangun mau pipis, aku liat Papa udah nggak ada di kamarnya, aku cari-cari ke seluruh rumah nggak ada, aku cari-cari sama Rizal ke jalanan sekitar kompleks juga nggak ada.”

“Sekuriti kompleks nggak liat?”

“Kebetulan sekuriti lagi sakit, jadi portal gak ada yang jagain.”

“Ya, udah, kalau gitu ntar Abang...”

Aku menarik pintu pagar, dan tersentak melihat sesosok tubuh meringkuk di depan pagar dengan posisi telungkup, tangan dan kaki sudah kaku. Pakaian dan jaketnya kuyup terkena hujan. Maling sialan, kena juga kau, kataku dalam hati setengah girang.

“Bang!” Risya memanggil di telepon.

Cahaya lampu di depan pagar temaram. Aku penasaran ingin melihat wajahnya, jadi aku merunduk dan memutar kepala sosok itu. “Astagfirullah!” jeritku seketika.

“Bang! Kenapa? Ada apa? Kok astagfirullah!? Bang! Kok diem sih? Bang! Abang!”

            Tak kudengar lagi suara Risya. Aku terpaku, tak bisa bergerak. Di depanku, ayahku tergeletak kaku, sudah tak bernyawa.[]

 

Melvi Yendra,

berdomisili di Depok, Jawa Bawat. Menulis naskah skenario film layar lebar dan serial televisi.

Ikuti tulisan menarik Melvi Yendra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler