x

Iklan

Agus Dwi Budiase

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Jumat, 19 November 2021 06:32 WIB

Cahaya Lentera

Hari Halloween sarat akan keranjang permen manis melimpah dan monster berbentuk labu. Tiada siapapun yang memetik kesedihan di bulan kelabu ini. Biasanya orang-orang menantikan tradisi spesial, berkelana meminta permen atau memilih untuk dijahili. Terkecuali Carolyn, seorang wanita muda yang menunggu kedatangan sang kekasih. Manisnya permen kala berbulan madu terasa hambar ketika Carolyn menyadari ada pertanda jahat yang sedang mengintai. Hantu, mungkin saja Carolyn sedang tidak bermimpi. Pikiran semunya memuram bersama desas-desus cerita klasik yang menyelimuti malam bersinar lentera.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Melihat Carolyn yang terbujur kaku di loteng, tentu Jack ingin menyapa setelahnya. Keinginan itu urung ketika ekor matanya menelisik jauh menengok ke sisi loteng, mengikuti tatapan sembab kekasihnya. Di situ, tergeletak sebuah lentera tua berumur sekitar puluhan tahun dengan besi berkarat. Pemandangan itu tak membuatnya takut tetapi berbanding terbalik yang dilihat Carolyn.

 

"Carol—"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Suara bariton Jack mengejutkan Carolyn, lantas ia menutupi bibir lelaki rupawan itu dengan jari telunjuk kotornya. Jack mengernyit heran seraya terduduk di salah satu kursi yang termakan rayap.

 

"Lihat apa?" tanya Jack.

 

"Itu... lentera!" sahut Carolyn. Ia menekankan kata-kata terakhirnya setelah kembali mendongak ke belakang. Tiada kepala berdarah disana selain lentera tua.

 

Kening Jack berkerut, "Bisakah kau jujur sekali saja?" 

 

"Jujur? Setiap hari aku jujur." Jelas Carolyn memutar kepala beberapa kali.

 

"Maksudku, kau sering terkejut. Ada apa? Karena serangga? Bibi Parsha? Atau hantu?" 

 

Carolyn mengangguk lemah. Energinya terkuras habis hanya melihat penampakan aneh itu. Ia memeluk Jack erat untuk mengusir kesepian. Setitik kebencian muncul dibenaknya. 

 

Ingatan Carolyn tertuju pada peramal yang meramal dirinya bersama Jack seminggu lalu. Tangannya mengepal kuat, seperti ingin memukul tetapi seseorang yang ia benci sedang tidak ada. Ramalannya memang pikiran semu belaka. Namun, Carolyn menduga bahwa peramal itu memang tidak bermain-main rupanya. Seolah ada hal buruk lagi yang sedang menunggunya. Oh, ingin sekali baginya mencampakkan tangan pada peramal itu sekali saja.

 

"Jack! Ambil lentera itu ya, aku akan mencari bibi!" ucap Carolyn meninggalkan kekasihnya sendirian.

 

Malam tiba begitu cepat, menenggelamkan matahari yang tampak lelah menerangi dunia sekaligus bercampur takut melihat segerombolan monster labu. Lentera menyala-nyala disudut perumahan meninggalkan kesan artistik dan bayangan hitam. Anak-anak berkostum labu berlari ria seraya berdiri didepan pintu rumah, menunggu permen manis. 

 

Wendy dan Heen tak kalah seramnya pula dengan membawa sepasang pistol yang rupanya itu hanyalah pemantik api. Mereka bersenang-senang mengelilingi perumahan. 

 

Sementara Jack, ia sedang sibuk mengantar lima lentera yang akan diperbaiki sesuai suruhan bibi Parsha dengan menaiki mobil.

 

Carolyn menembus gelapnya jalanan sepi dengan berselimut kain wol. Rembulan bersinar jernih menyelusup diantara rerimbunan pohon oak. Riuh kelelawar menyambar ke pepohonan tinggi berbuah lebat, bahkan apel yang telah terjatuh pun tetap dimakan. Napas Carolyn menderu disertai guratan senyuman puas. Pagar besi kuburan telah terlihat dari kejauhan.

 

Mungkin bagi sebagian orang, hal itu sangat konyol. Seorang wanita mengendap-endap pergi ke kuburan? Mencari mayat? Oh, Carolyn tidak segila itu. Tujuannya hanya satu. Membalas dendam akibat ramalan yang sungguh membuat nasib hidupnya kian memburuk.

 

Jalan yang ditempuh sangat panjang. Terlebih, sampai detik ini pun Carolyn belum melihat rumah kuno itu. Kesunyian malam hanya terusik oleh suara geraman kesal yang keluar dari mulut Carolyn. Mayat-mayat dibalik tanah menghitam mendengar keluhannya dalam bisu. Retakan nyaring terdengar setiap kali Carolyn menginjak ranting kering bagai bunyi tulang patah. Batu nisan berdiri antara timbunan dahan pohon dijejali dengan kasar.

 

Guratan senyum terukir, Carolyn telah sampai di rumah peramal itu. Seperti biasa, energi rohani menyeruak di tempat itu bersama kepulan asap tipis melewati lentera. Meskipun kedamaian menggelora, pikiran gelap Carolyn tidak berubah. Segenap keberanian ia kumpulkan dan sedetik kemudian dahan berukuran besar mengenai peramal berjenggot tebal itu.

 

Erangan keras menyelimuti pepohonan pinus gelap. Burung-burung perkutut berterbangan dari sarangnya yang bising. Namun, Carolyn tersenyum licik dengan tertawa terbahak-bahak, layaknya nenek sihir membawa petaka. Peramal berjubah ungu itu memekik penuh amarah.

 

"Hei, wanita busuk!" umpatnya seraya merintih menahan sakit.

 

"Kaulah kebusukan itu! Ramalan milikmu sangat menyiksa hidupku!" cela Carolyn tak kalah geramnya pula.

 

Peramal itu terkejut, "Itu memang benar. Kalaupun aku memang hanya mengada-ada saja, hasilnya tetap sama. Ramalanku hanya antisipasi dan tidak berpengaruh buatmu!" serunya lantang.

 

"Kau gila? Tidak berpengaruh katamu? Hei, lihat! Sekarang aku selalu ditakuti hantu!" 

 

"Aku tidak bisa membantumu. Aku hanya peramal, bukan paranormal."

 

"Ya, kau sama tidak normalnya! Cepat, putuskan ramalan itu sekarang!" desak Carolyn. Darahnya naik turun sejak awal.

 

Peramal itu mulai komat-kamit, mengucapkan sepatah kata dan berlalu begitu saja. Intinya, Carolyn sama sekali tak mengerti. Lagipula ia tak ingin tahu menahu soal itu. Kemudian peramal itu mengambil sebuah permen dari dalam stoples lantas menyimpannya ke kantung celana Carolyn. Wanita itu menepis saat ingin didekati.

 

"Peramal mesum! Kau bukan kekasihku!"

 

"Tenang. Aku hanya ingin memberitahu bahwa kau setidaknya harus membawa satu permen ketika bepergian selama hari Halloween ini. Ingat pesanku." Tuturnya lembut bak malaikat surga. Carolyn mengangguk jijik dan berlalu meninggalkannya.

 

"Sayang! Aku punya kabar bagus!" 

 

Carolyn membuka pintu rumah bibi Parsha dengan girang. Tiada yang berceloteh hingga hanya terdengar tetesan air dari keran dapur. Terlihat Jack yang sedang asyik memasak dibalik pintu dapur berkaca bening dan memunculkan bayangan hitam. 

 

Koper dikeluarkan dari dalam kamarnya, Carolyn memasukkan beberapa baju harian dan kostum labu. Tak lupa alat-alat kecantikan dengan sekantung permen. Hatinya begitu riang hari ini.

 

"Sayang, jangan buka pintunya. Aku sedang memotong." Celetuk Jack dari dalam dapur.

 

Carolyn tersenyum, "Jack, kau masih ingat rencana kita pergi berdua di hari Halloween bukan? Aku senang sekali!"

 

Tangan-tangan manisnya merapikan dompet, uang saku dan kaus kasual. Carolyn mengganti pakaiannya dengan setelan anggun dihiasi poni berwarna merah muda. Lipstik tak luput dari meja riasnya dan kini ia bagaikan bidadari dari langit.

 

"Sayang, jangan buka pintunya. Aku sedang memotong." Suara Jack terdengar kembali.

 

"Oh, sayang. Aku sudah cantik. Bagaimana kalau kita berpiknik juga? Sangat romantis, 'kan!" Carolyn menggerakkan pundaknya berulang kali. 

 

Tatapannya terarah pada pintu dapur, "Kau masih ingat dengan peramal itu? Kau tahu, aku sudah mencampakkannya! Dia sudah menghapus ramalan kesialan itu!" katanya.

 

"Sayang, jangan buka pintunya. Aku sedang memotong."

 

Karena tidak tahan, dahi Carolyn berkerut panas dengan senyum memudar yang tergantikan pipi cemberut. Matanya melotot dan mengepalkan tangan.

 

"Keluarlah sayang! Aku bosan mendengar kata-katamu seperti suara dugong!" 

 

Suara keras dari mulut Carolyn berhasil menghentikan Jack di balik pintu dapur yang kini berbalik menghadap ke luar.

 

"Sayang." 

 

Tatapan Carolyn mengarah ke pintu dapur. Tenggorokannya mengering seketika dengan bibir yang bergetar hebat mendengar nada bariton dari kekasihnya. Ia tidak dapat berkata apa-apa setelah melihat pemandangan itu.

 

"Jangan buka pintunya, aku sedang memotong." Lanjut Jack, nadanya terdengar begitu dingin.

 

Di sana, di pintu dapur berkaca bening terlihat bayangan hitam tinggi milik Jack yang mengarah kearah Carolyn seraya memegang pisau. Gambaran itu sangat serupa apa yang Carolyn lihat beberapa minggu lalu dan ia tidak dapat memastikan apakah itu Jack atau bukan sebab di matanya hanya terlihat bayangannya saja.

 

Wendy dan Heen menerobos masuk sembari merebut remote televisi. Mereka tetap mengenakan kostum labu dengan menonton pertunjukan pesta Halloween di layar. 

 

"Sudah selesai meminta permen?" tanya Carolyn santai. Rasa takut ia sembunyikan dengan tersenyum manis.

 

Wendy menghardik, "Tidak ada yang memberi permen. Kami hanya menjahili."

 

"Kalian tidak me—" 

 

Carolyn ingin memberitahu mereka terkait bayangan hitam di pintu dapur tetapi televisi tergantikan dengan berita mengenaskan yang berhasil membangunkan bulu kuduk ketiganya. 

 

Terpampang jelas, seorang lelaki berkendara mobil mengalami kecelakaan di jurang wilayah hutan. Tubuhnya masih belum ditemukan dari sejam lalu. Namun, pihak kepolisian dan bantuan medis mengindikasikan mereka berhasil mengetahui sampel DNA dari darah, sidik jari pada kemudi dan sebuah bingkai. Di bingkai itu, terpotret Carolyn dan Jack tersenyum bahagia dengan latar pepohonan pinus yang kini terbelah menjadi dua. 

 

Sontak, Carolyn berteriak histeris. Wendy dan Heen mencoba meredakan tangisannya tetapi bertambah keras. Ia meronta-ronta pedih, menyahut nama kekasihnya yang berada di ujung tanduk.

 

Bibi Parsha menghampiri Carolyn yang bersedih hati dan menumpahkan sekeranjang permen dari pegangan tangannya. Beberapa kali ia menyebut nama Tuhan sebelum memeluk Carolyn.

 

"Aku harus... mencari dia!" seru Carolyn parau.

 

"Tidak! Tunggu sampai polisi memberikan klarifikasi!" sergah bibi Parsha.

 

"Omong kosong!"

 

Carolyn mengambil lentera di sudut pintu seraya mengenakan jaket tebal. Langkahnya terseok-seok berjalan menuju hutan lebat dan meneriakkan nama kekasihnya berulang kali. Semesta menurunkan rintik-rintik hujan seolah ikut merasakan kesedihan itu.

 

Sepasang sepupu menatap kepergian Carolyn dari jendela loteng. Mereka sedang asyik membaca buku lembaran demi lembaran sampai habis. Wendy bergurau, "Semoga saja, legenda pembawa lentera itu tidak mungkin benar."

 

"Maksudmu? Hei, tidak ada yang tidak mungkin. Di hari Halloween sekarang tentu legenda itu berjalan." Ucap Heen berwibawa.

 

Wendy mengangguk, "Ah, kau seperti guru sastra saja. Ayo, bacakan cerita klasik itu." 

 

Heen mulai bercerita, Wendy mendengarkan dengan serius. Di bawah gantungan sinar lentera, mereka melihat jendela loteng yang terlukis bulir-bulir air hujan dengan hiasan pohon akasia bagaikan iblis tengah malam dan seorang wanita berjalan lemah dari kejauhan. Carolyn mencari kekasih ditengah kehancuran perasaan dan hatinya.

 

Carolyn mendesah lelah ketika melompat diantara batang dan akar-akar besar yang menghalangi jalan. Celana miliknya pun terpaksa ikut robek. Kedua kaki mungilnya mengalami kram. Jujur saja, ia memang keras kepala. Ia tidak tahu arah jalan atau peta, tetapi mengikuti instingnya saja. Cukup aneh.

 

Berkilo-kilo berjalan, Carolyn menemukan seorang pria terduduk lemah dengan bersimbah darah. Buru-buru ia menghampiri lelaki itu dan senyuman sayang itu masih teringat di benaknya. Jack, ia sedikit batuk akibat udara dingin dengan kening berkerut.

 

"Jack! Aku kira kau sudah meninggalkan bumi ini!" celetuk Carolyn menangis tersedu-sedu. 

 

Jack terkekeh, "Ah, kau ingin aku mati? Ayo, kita pulang."

 

Mereka berjalan ditemani kunang-kunang malam dan tetumbuhan lavender mengusir nyamuk. Air hujan terjatuh demi setetes, mendinginkan rerumputan hijau berhias tanah granit bebatuan. Kelelawar usil berkelana  menjatuhkan buah busuk seperti ingin mengajak bercanda. Labu kekuningan mengiringi perjalanan mereka menuju rumah. Ibarat pucuk dicinta ulam pun tiba.

 

Jack berhenti saat mereka sampai di atas sebuah tanah hitam dengan hamparan hutan kering. Bulan remang-remang bersembunyi di balik awan, memancarkan ketakutan di hari monster labu. Carolyn merengkuh tubuh Jack agar ia tidak kedinginan.

 

"Carolyn... kita sudah sampai."

 

"Sampai? Kita belum melihat perumahan. Tunggu, dimana ini?" 

 

Jack memeluk erat Carolyn dengan berlinang air mata. Tangisannya menghilangkan arti kejantanan bagi seorang lelaki. Pakaian kemeja miliknya begitu basah dan aroma anyir darah tercium pekat. Carolyn sedikit ketakutan.

 

"Aku hanya ingin tahu, apa kau sedang merindukan soal cinta?" 

 

Carolyn mengangguk, "Tentu saja! Aku sudah lama ingin pergi berdua bersamamu."

 

Jack mengambil lentera yang diselipkan antara jaket dan syal berbahan wol miliknya. Tatapannya tajam sekaligus begitu mencekam di mata cantik Carolyn. Tubuhnya membeku seperti ikan dalam es batu.

 

Terangnya lentera menyinari wajah Jack tersenyum menyeringai dengan kerutan pipi kasar. Giginya kian meruncing disertai desah napas berat. Pakaiannya cukup kuno seperti orang-orang berkelana jauh dari pegunungan. Sekilas ia pria pembawa lentera dan memang bukanlah kekasihnya, Jack. 

 

Carolyn ingin mundur, tetapi punggung rampingnya dieratkan oleh lelaki pembawa lentera itu. Manik mata kekuningannya macam buah labu yang menyeringai. Beberapa kali Carolyn menelan ludah.

 

"Apa kau tak pernah mendengar cerita klasik Halloween?"

 

Lelaki berwajah kelabu itu mendekati Carolyn dengan tangan dingin menyentuh bibir pucatnya seraya berucap, "Trick or treat?"

 

Carolyn tergagap,"Treat." 

 

"Berikan aku permen, sebiji saja tak apa yang penting kau membawanya."

 

Carolyn meraba kantung celananya. Tidak ada apa-apa disana selain sebagian kantungnya robek tanpa isi. Oh, mulutnya kini mengeram marah dan ketakutan.

 

Tidak, ia pasti sedang bermimpi. Namun, lelaki itu menatapnya liar disertai hawa dingin. Bulan kembali bersua melihat pemandangan dibawahnya, antara cabang-cabang akar hutan kering bersama deretan batu nisan diatas tanah hitam.

 

Di sudut pekuburan, peti bersimbol kematian itu terbuka lebar diiringi teriakan dari seorang wanita muda yang masuk kedalamnya. Bersama seseorang menuntunnya pergi ke alam baka.

 

Sang rembulan bersama gugusan bintang-bintang tetap menantikan kehadiran wanita mencari cinta ditengah malam Halloween dengan bungkusan cerita klasik bersinar lentera.

Ikuti tulisan menarik Agus Dwi Budiase lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu