x

Iklan

Uyun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Jumat, 19 November 2021 15:34 WIB

Pulang

Tidak ada yang lebih menyesakkan dibanding melihat orang beramai-ramai mengunjungi tempat ini untuk melepaskan rasa penasaran sekaligus harapan mereka. Sudah hampir satu dekade aku menjadi penjaga tempat ini. Aku tahu bagaimana perkembangan tempat ini dari tahun ke tahun. Namun rasanya itu belum cukup menyurutkan semangat orang-orang untuk mengunjungi tempat ini. Ah, bagaimana pun berkembangnya dunia ini tidak bisa melunturkan keyakinan yang telah mengakar di hati orang-orang itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tidak ada yang lebih menyesakkan dibanding melihat orang beramai-ramai mengunjungi tempat ini untuk melepaskan rasa penasaran sekaligus harapan mereka. Sudah hampir satu dekade aku menjadi penjaga tempat ini. Aku tahu bagaimana perkembangan tempat ini dari tahun ke tahun. Namun rasanya itu belum cukup menyurutkan semangat orang-orang untuk mengunjungi tempat ini. Ah, bagaimana pun berkembangnya dunia ini tidak bisa melunturkan keyakinan yang telah mengakar di hati orang-orang itu.

            Aku memperhatikan seorang gadis yang saat ini sudah dalam putaran ke enam kalinya. Ia menenggelamkan dan memunculkan wajahnya secara berkala untuk menghabiskan tujuh putaran mengelilingi batu tersebut. Aku menggeleng-geleng melihatnya. Kali ini ia berdiri, menangkupkan kedua tangan di depan dada sembari memejamkan mata khusyuk. Lalu tak lama kemudian ia menepi ke pinggir kolam dan kemudian menghampiriku.

            “Kamu enggak capek datang ke sini setiap hari?” tanyaku memulai percakapan. Gadis itu tengah menepuk-nepuk kedua lengannya upaya meredakan dingin yang menerpa tubuh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            “Nggak. Aku punya tujuanku sendiri.”

            “Kamu tahu kan itu hanya mitos?” aku menoleh menatapnya sebentar.

            “Ini yang dinamakan ikhtiar,” balasnya.

            “Lebih tepat dikatakan musyrik daripada ikhtiar,” sahutku. Tak ada balasan lagi darinya, kami sama-sama diam.

***

            Keadaan di rumah sudah tidak bisa tenang lagi seperti biasanya. Tangisan dan senggukan mengudara sampai ke plafon-plafon yang warnanya sudah kusam. Si bungsu, terbaring lemah dibalut selimut tebal seperti kepompong. Bibirnya pucat gemetaran menahan dingin yang sudah seminggu ini dirasakannya. Kami sudah pergi ke dokter, namun obat pun tidak dapat menyembuhkan sakitnya.

            Aku marah, menyalahkan diri sendiri yang membuatnya menjadi seperti saat ini. Kalau bukan karenaku tidak mungkin ia menjadi seperti ini. Harusnya aku tahu mitos seperti itu tidak usah kuceritakan padanya. Mitos tentang batu quran dan pengabul harapannya itu. Ah, sialan! Mengapa adikku itu bodoh sekali percaya pada hal musyrik seperti itu.

            Setelah kuceritakan hal tersebut, dengan rutin ia mulai mengunjungi tempat kerjaku dan melakukan apa yang sudah aku kisahkan sebelumnya. Awalnya aku tidak menegurnya, karena kupikir ya sudahlah biar saja dia melakukannya sekali dan melihat hasilnya langsung kemudian sadar betapa bodohnya dirinya. Namun ia masih juga tidak sadar dengan kebodohannya sendiri. Sehingga suatu hari aku menegurnya dan melarang untuk datang kembali ke tempat ini. Namun ia malah marah besar kepadaku dan mengataiku tidak menghargai usahanya dan akan iri jika nantinya harapannya terkabul. Aku tidak mengerti apa yang ia inginkan sehingga dengan rajin ia melakukan hal sia-sia ini kemudian mengataiku akan iri pada pencapaiannya kelak. Sungguh tidak masuk akal.

            Setelahnya aku hanya bisa melihatnya berenang mengelilingi batu tersebut setiap pagi selama sebulan rutin tidak ada absen, ia juga seolah tidak peduli akan kehadiranku. Hingga pada akhirnya hari itu aku tidak melihatnya di tempatku bekerja. Aku bertanya-tanya apakah akhirnya ia jera dan merasa ini adalah hal yang sia-sia. Aku tersenyum memikirkan gagasan tersebut. Namun senyuman tersebut tidak bertahan lama saat aku pulang ke rumah dan menemukannya terbaring lemah di kasur lipat yang dipindah ke ruang tengah. Aku bertanya pada Ibu apa yang terjadi. Ibu hanya mengatakan badan adikku panas namun ia malah menggigil sejak pagi.

            Akhirnya pada hari itu aku hanya mengurus adikku dengan mengompres dan menyiapkan makanan untuknya. Sebelumnya aku juga bilang padanya, “Makanya kakak bilang kan apa, jangan melakukan hal yang sia-sia. Lihatlah akibatnya,” ucapku sambil mengelus rambutnya. Ia tidak menanggapi.

            Sehari, dua hari, tiga hari hingga aku memutuskan cuti dari tempatku bekerja hanya untuk menjaganya. Karena aku juga tidak tega meninggalkannya di rumah sendirian sedangkan ibu dan ayah harus bekerja juga. Suatu ketika ia menceritakan padaku apa yang diinginkannya sehingga ia melakukan hal tersebut yang menurutku tidak masuk akal.

            “Setahun yang lalu, aku melihatnya saat akan pulang bekerja. Ia begitu cantik menurutku, wajahnya jika tersenyum akan terlihat berkali-kali lipat lebih manis. Sejak saat itu, aku menyukainya. Setiap hari aku menunggu ia pulang kerja, namun tidak berani menyapanya. Melihatnya saja sudah cukup bagiku. Suatu hari, aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya dan mengajaknya pulang bersama, ternyata ia adalah warga dari desa seberang!” Pada saat itu aku melihat matanya berbinar saat menceritakan hal tersebut.

            “Kemudian selama beberapa hari kami pulang bersama, sampai suatu ketika ia menolak ajakan pulangku dan mengatakan ia akan dijemput oleh tunangannya. Aku merasakan sedih yang teramat sangat saat itu, Bang. Aku tidak tahu bahwa ternyata ia sudah memiliki lelaki yang dicintainya. Sore itu aku pulang dengan perasaan yang sudah hancur berserakan.” Ia menghela nafas.

            “Selama berhari-hari aku terpuruk menyadari kenyataan hingga suatu hari dirimu mengajakku ke tempat kerjamu untuk membantuku menenangkan diri, kemudian menceritakan mitos tersebut. Bagai dialiri oksigen, aku dengan semangat ingin memulai peruntunganku.”

            “Setiap hari aku datang ke sana, berdoa dan berharap agar ia berjodoh denganku. Aku hanya merasa tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain ini,” bibirnya masih gemetaran, aku tidak tahu apakah itu karena ia menahan rasa dingin atau ekspresi dari perasaan yang akhirnya ia ungkapkan kepadaku. Aku menghela nafas panjang, tidak tahu harus mengatakan apa.

            Aku hanya merasa apakah kehadiran seorang gadis bisa membuat adikku menjadi seperti saat ini. Aku merasa kasihan dengan adikku, namun tidak ada yang bisa kulakukan.

            Beberapa hari setelah menceritakan hal tersebut, pada saat menjelang adzan maghrib, Tuhan terlebih dahulu memanggil adikku ke sisinya dibanding memanggil umatnya untuk melaksanakan ibadah.

***

            Aku tidak tahu mengapa aku menceritakan hal ini pada gadis itu, namun ia mengingatkanku pada adikku. Aku tidak ingin ada korban kedua setelah ini. Kebodohan seperti ini harusnya dihentikan, betapapun besarnya keinginan mereka yang berharap dikabulkan. Tidak seperti ini caranya untuk mengabulkan apa yang kita inginkan.

            Aku melihat gadis itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Bahunya bergetar, dan terdengar tangis yang pilu darinya. Kurasa mungkin ia juga merasa berduka terhadap apa yang adikku alami.

            “Kau tahu apa harapan yang setiap hari aku ucapkan ketika datang ke tempat ini?”

            Aku menoleh padanya, tidak menjawab. Hanya ingin ia meneruskan ucapannya.

            “Aku berharap dipertemukan lagi dengannya, namun ternyata ia telah pulang, pulang ke tempat yang lebih tenang.”

 

Pandeglang, November 2021

 

 

Uyun adalah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi yang ada di Banten. Saat ini tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Bengkel Menulis dan Sastra. Ia suka membaca buku fiksi, namun jarang sekali menulis. Menulis hanya jika diperlukan saja. Ia merasa otaknya tidak dipenuhi ide-ide ajaib untuk bisa menuliskan sebuah cerita, ia juga merasa bahwa ia ditakdirkan hanya untuk membaca karya orang lain saja, haha. Kalian dapat menemukannya di media sosial instagram @uyuneviosa

Ikuti tulisan menarik Uyun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler