x

Iklan

Setiyo Bardono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Minggu, 21 November 2021 07:58 WIB

Suatu Sore di Terminal Bayangan

Di dalam angkutan kota, penumpang berkedudukan setara: tak ada miskin atau kaya, gemuk atau kurus, pendek atau tinggi, lelaki atau perempuan. Semua penumpang harus patuh dalam formasi yang diteriakkan calo angkot atau timer: enam empat, enam empat. Cerpen ini mengisahkan suasana sore di terminal bayangan dekat stasiun kereta rel listrik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di dalam angkutan kota atau biasa disebut angkot, penumpang berkedudukan setara: tak ada miskin atau kaya, gemuk atau kurus, pendek atau tinggi, lelaki atau perempuan. Semua penumpang harus patuh dalam formasi yang diteriakkan calo angkot atau timer: enam empat, enam empat.

Turun dari kereta rel listrik di Stasiun Tepi Kota, aku menyusuri lorong yang membelah tempat penitipan sepeda motor. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan sepeda motor harus bersabar seharian didera panas dan hujan, menunggu pemiliknya yang sedang mengadu nasib di belantara ibukota menggunakan kereta listrik. Di stang motor bergelantungan kantong-kantong kresek merah yang dipakai juru parkir untuk membungkus helm.

Kanan kiri lorong dipenuhi penjual yang menjajakan aneka makanan dan jajanan, minuman kemasan, sayuran matang, pulsa, kalender, jas hujan, buku mewarnai, dan lain-lain. Mataku sempat tergoda es cendol dan tempe mendoan yang dijajakan di atas gerobak. Namun sore ini aku ingin cepat sampai di rumah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di ujung lorong, angkot biru nomor 03 jurusan Tanah Harapan sudah antre menunggu. Semacam terminal bayangan. Terminal resmi ada di seberang stasiun dekat jalan protokol. Bagi penumpang yang tinggal di wilayah searah jurusan Tanah Harapan, naik angkot dari terminal membutuhkan waktu lama karena kemacetan dan harus melewati jalan memutar.

Aku lihat belum ada penumpang yang naik di angkot yang ngetem di antrean terdepan. Bangku sopir juga masih kosong, mungkin Sang Sopir sedang nongkrong di warung kopi. Jam di layar telepon genggam menunjukkan pukul 15:09, jadi belum ada luapan pekerja dari ibukota yang turun di Stasiun Tepi Kota. Sepertinya aku akan menunggu lebih lama di dalam angkot.

Aku masuk ke dalam angkot dan duduk di pojokan agar lebih aman dan leluasa bermain telepon genggam. Untung di bagian belakang tak terpasang speaker besar, yang hanya mempersempit ruang duduk bagi penumpang. Demi kesenangan pribadi, kadang ada saja pemilik angkot yang memasang speaker besar dan menyetel musik keras-keras. Ah, harusnya tak kuurungkan niat untuk membeli tempe mendoan atau Tahu Sumedang dan es cendol yang bisa kunikmati sambil menunggu penumpang lain masuk angkot.

"Harapan... Harapan..," kata timer yang berdiri dekat pintu angkot sambil mengetukkan uang logam di kaca angkot. Hampir tiap hari aku melihat timer itu selalu mengenakan jaket yang warna hitamnya makin memudar. Beberapa orang hanya melintas, mungkin ke arah penitipan motor milik warga atau ke shelter ojek online yang menjadi pilihan untuk menyibak kemacetan. Sebenarnya jika ingin cepat terangkut, aku bisa berjalan ke ujung jalan, menunggu angkot 03 yang tidak ngetem di stasiun.

Seorang lelaki masuk ke dalam angkot kemudian duduk di hadapanku. Matanya terus lekat layar telepon genggam. Tak lama seorang gadis berseragam sebuah swalayan duduk di samping lelaki itu. Tangan kirinya memegang bungkusan plastik berisi cilok kuah. Tanpa sungkan, ia menikmati cilok berlumur saos menggunakan tusukan dari bambu, terlihat nikmat dan menggoda. Mendadak perutku terasa keroncongan.

Dua orang lelaki dan perempuan masuk ke dalam angkot bersamaan dan duduk di sampingku. Keduanya asyik dengan telepon genggamnya. Tak ada tegur sapa di antara kami para penumpang angkot, semua larut dalam kesibukan masing-masing. Timer semakin semangat meneriakan jurusan, terutama karena ada kereta memasuki stasiun Tepi Kota dan siap menurunkan penumpang.

Seorang laki-laki seumuran anak SMA membuka pintu depan angkot dan duduk di bangku sopir. Dengan tenang, ia menyalakan sebatang rokok dan memajukan angkot satu meter lebih ke depan. Asap rokok dan asap angkot mengepul di udara. Angkot dengan sopir remaja bukan pemandangan asing di jalur 03. Kadang di samping sopir remaja ada gadis belia yang ikut serta, sendiri atau memangku balita.

Seorang ibu bertubuh tambun masuk ke dalam angkot sambil membawa tas belanja dan kantong plastik besar berisi sayuran dan bumbu dapur. Pasti ia habis belanja dari pasar tradisional yang ada di bawah jalan layang tak jauh dari Stasiun Tepi Kota. Ia memilih duduk di kursi belakang sopir angkot.

Satu persatu, penumpang masuk ke dalam angkot. Timer sibuk mengatur agar formasi enam – empat - dua - dua terpenuhi. Enam orang di duduk di bangku panjang yang ada tepat belakang sopir, empat orang di sisi lainnya, dua orang dibangku tambahan dekat pintu, dan dua orang di bangku depan samping sopir.

Jika formasi ini belum terpenuhi, maka angkot tidak akan meninggalkan terminal bayangan. Menurut kabar, banyak pungutan yang harus dibayar sopir angkot untuk bisa ngetem di terminal bayangan ini. Sopir akan rugi kalau formasi itu tidak terpenuhi, tanpa peduli dengan kenyamanan penumpang. Jika ada penumpang yang protes, jurus andalannya: “Kalau mau nyaman ya naik taksi.”

Sebenarnya sudah ada beberapa angkot baru yang ukurannya lebih besar. Angkot jenis ini lebih nyaman karena penumpang yang duduk berhadapan tidak adu dengkul. Tapi sopir tidak mau rugi, formasi untuk angkot baru diubah menjadi tujuh – lima – dua – dua. 

“Itu anaknya bayar atau tidak? Kalau tidak dipangku ya,” tanya timer dengan ekspresi wajah yang datar. Ibu muda yang ditegur timer cemberut. Dengan tangan masih memegang telepon genggam, ia menuntun anaknya yang sedang menjilati permen lolipop untuk duduk di pangkuannya.

Timer terus mengetukkan uang logam ke kaca angkot. “Tinggal satu lagi,” katanya sambil menunjuk bangku panjang yang masih terisi lima orang. Tak lama terdengar derak laju kereta memasuki Stasiun Tepi Kota. Salah satu orang yang turun dari kereta pasti akan mengisi kekurangan penumpang angkot ini.

Beberapa orang yang turun dari kereta memilih masuk ke angkot belakang yang masih kosong. Seorang perempuan yang mengendong tas rangsel masuk ke dalam angkot yang kunaiki. Aku bernafas lega, tak lama lagi angkot akan berjalan meninggalkan terminal bayangan.

Timer berteriak agar penumpang lain bergeser memberi tempat bagi perempuan itu, “Geser dong Bu, kasih tempat, jangan mager.” Penumpangpun mencoba mengeser duduknya hingga tersisa celah sejengkal. Perempuan itu mencoba duduk, tapi tampak kerepotan karena hanya sebagian pantatnya yang bisa nempel di bangku. “Nggak bisa Bang,” katanya sambil keluar lagi dan berjalan menuju angkot yang antre di belakang angkot yang kunaiki.

Gak muat Bang, maklum pantat kita gede-gede Bang,” kata seorang ibu bercanda.

 “Itu muat enam orang. Geser dikit dong bu. Kalau belum penuh sampai pagi juga nggak akan jalan,” kata timer dengan nada meninggi.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 15.43, berarti sudah tiga puluh menit angkot ini ngetem. Biasanya aku sampai di Stasiun Tepi Kota selepas magrib. Setelah berdesakan di kereta, penumpang akan tumpah ruah memenuhi peron stasiun. Angkot-angkot pun cepat penuh.

“Sudah jalan saja Bang. Nanti di jalan juga dapat penumpang, kalau rezeki nggak akan kemana,” kata penumpang lain.

“Ya nggak apa-apa kalau ada yang mau bayar dobel,” kata timer sambil terus mengetukkan uang logam di kaca angkot. Tak ada satupun penumpang yang menjawab tantangan timer itu. “Daripada bayar dobel mendingan naik ojek online,” gerutu salah satu penumpang.

Seorang laki-laki bertubuh tegap masuk ke dalam angkot, sambil meminta penumpang untuk bergeser, namun sepertinya celah yang tersedia sudah mentok. Ia kembali keluar setelah melihat celah sempit yang tersisa. “Nggak cukup Bang,” katanya.

“Cukup itu Pak, biasanya juga muat enam orang,” kata timer.

“Coba saja Abang duduk di sana. Jangan bisanya cuma teriak-teriak doang. Ukuran orang kan beda-beda Bang, jangan disamain dong,” kata lelaki itu sambil berlalu.

“Kalau nggak mau gak apa-apa, nggak ada yang maksa. Saya jadi timer sudah tahunan,” kata timer. “Kurang satu. Ayo yang mau saja,” lanjutnya.

Waktu terus berjalan. Kekurangan satu penumpang belum juga terpenuhi. Penumpang di dalam angkot mulai menggerutu dan kegerahan. “Kok belum jalan Bu,” tanya anak kecil sambil menjilati permen lolipop yang makin tipis. Satu penumpang malah turun dan memutuskan naik ojek online.

“Harapan… Harapan…” teriak timer dengan gigih.

Aku hanya bisa menarik nafas panjang sambil memantau berita yang beredar di media sosial. Lama kelamaan, cahaya layar telepon genggam membuat mataku terkantuk. Ketukan uang logam di kaca angkot seperti sihir yang membuat mataku semakin berat dan terseret dalam lelap.

“Bang… Bangun Bang,” kata sopir angkot sambil menggoyang tubuhku. Aku gelagapan dan menyeka liur yang hampir jatuh membasahi baju. Kulihat angkot sudah kosong melompong. Di luar terlihat lampu-lampu sudah menerangi jalan.

“Sudah sampai Tanah Harapan ya,” tanyaku sambil merogoh saku kemeja, mengambil uang untuk membayar ongkos angkot.

“Boro-boro Bang. Ini masih di stasiun, angkotnya mogok nggak mau jalan. Dari tadi Abang dibangunin susah banget. Nyenyak amat sih Bang tidurnya.”

Aku turun dari angkot dan berjalan gontai meninggalkan terminal bayangan. Cahaya lampu melukiskan bayangan langkahku di jalanan beraspal menuju shelter ojek online. Dari arah terminal bayangan masih terdengar teriakan timer: Harapan… harapan! enam empat... enam empat!   

--- oOo ---

Depok, 02-02-2020

SETIYO BARDONO. Penulis kelahiran Purworejo dan bermukim di Depok ini telah menerbitkan 3 buku antologi puisi tunggal yaitu  Mengering Basah (2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (2012). Tiga karya novelnya Koin Cinta (Diva Press, 2013), Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014), dan Bukan Celana Kolor Biasa (Kwikku, 2020)

Ikuti tulisan menarik Setiyo Bardono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini