x

Iklan

Dewi Oktaviana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 November 2021

Minggu, 21 November 2021 08:26 WIB

Ilmuwan Gila (Telepati)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa yang kalian bayangkan tentang membaca pikiran orang lain atau telepati? Keren bukan? Bahkan banyak sekali orang yang ingin mempunyai itu. Tapi tidak denganku. Bagaimana bisa aku menyukainya sedangkan aku seperti ini karena percobaan gila orang tuaku sendiri.

Namaku Erfan Devandra, kelas 1 SMA. Aku bisa membaca pikiran orang lain. Banya orang mengatakan itu keren, tapi sebenarnya itu mengerikan.

Aku lahir sebagai anak normal biasanya. Orang tuaku seorang ilmuan hebat. Mereka bisa menciptakan segalanya seperti cerita fantasi. Tapi suatu ketika penemuan-penemuannya ditolak dan dikecam oleh hukum. Alhasil mereka menjadi gila dan salah satu hasilnya yaitu aku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dikepalaku terpasang sebuah chip yang telah diprogram untuk membaca pikiran orang lain. Chip itu menggunakan gelombang suara dan listrik sederhana untuk bisa memasuki orang lain dan menghubungkannya ke pikiranku.

"Fan!" Sebuah panggilan membuyarkan lamunanku.

"Apa?" Tanyaku bingung. Sebentar, sejak kapan aku di sini?

"Kopimu dingin kalau kau cuma melamun," ujarnya dengan tatapan sedikit kesal.

Aku  memperhatikan kopiku yang masih utuh sedangkan kopi temanku sudah habis, hanya tersisa cangkirnya. Aku mengambilnya lalu meminumnya beberapa cegukan.

"Mikirin apa? Nasib?" Tebaknya penasaran. Aku hanya mengangguk kemudian dia tertawa.

"Kenapa?" Tanyaku bingung.

"Nasib orang itu beda-beda. Semua orang juga punya masalah sendiri-sendiri. Jangan dipikirkan, jalani aja dengan santai," jelasnya dengan nada santai. Aku menatapnya datar lalu kembali meminum kopiku.

"Kamu masih bisa dengar pikiran orang lain ya?" Tanyanya yang ku jawab anggukan. "Berarti kamu juga tau rencanaku buat menikung orang yang kamu suka?"

Sontak aku nyaris menyemburkan kopiku lalu menatapnya dengan sadis. "Awas saja kalau kau berani macam-macam." Dia tertawa. "Saya rasa anda gila."

"Bercanda. Aku juga ada sendiri yang aku suka, tapi dia belum kasih kejelasan apa-apa. Kamu bisa tolong baca isi hatinya ke aku? Apakah dia juga suka saya Iza yang tampan ini?"

"Gak," jawabku singkat. Aku rasa dia beneran sudah gila, mungkin kebanyakan minum kopi. "Ayo pulang," ajakku lalu bangkit dari bangku, membayarnya, lalu pergi.

"Kebiasaan," ujarnya kesal lalu mengikuti langkagku.

"Mau makan apa?"

"Sudah cantik, manis pula."

"Itu tempat makan sepu gak enak mungkin."

"Kebanyakan macet!"

"Mukanya bikin emosi aja!"

Banyak sekali pikiran orang-orang yang terdengar di pikiranku. Bukan tanpa sebab tapi karena chip yang ada di kepalaku. Dan itu permanen. Entah kenapa lama-lama aku pusing mendengarnya.

***

"Kak..." aku menoleh ke sumber suara lalu tersenyum. Adikku yang masih berusia 3 tahun berjalan menghampiriku dengan tertawa. Dia merangkak ke atas kasurku dan memberikanku sebuah buku cerita.

"Mau kakak bacakan?" Tanyaku padanya, dia mengangguk senang. "Jadi dahulu kala..." aku mulai membacakan buku cerita untuknya sesekali mengelus-elus kepalanya. Dia memperhatikanku dengan serius sampai akhirnya dia tertidur di atas dadaku.

"Biar mama pindahkan Fany ke kamarnya," ujar mamaku yang tiba-tiba masuk ke kamarku. Tanpa menunggu jawabanku, mama mengambil adikku lalu menggendongnya ke kamarnya.

"Bahaya jika sampai tau, semua akan kacau," sebuah pikiran terdengar di pikiranku.

"Apa yang bahaya?" Gumanku pada diriku sendiri. Mataku melebar setelah teringan sesuatu. "Jangan-jangan..."

Aku segera bangkit dari kasurku, memakai jaket mengambil tas kecil, lalu meraih sebuah kunci motorku.  

Aku segera berlari menuruni tangga dan keluar dari rumah. Aku segera menaiki memasukkan kunci, memutarnya, lalu menyalakannya. Motor ku-gas dengan kecepatan tinggi untuk menuju sebuah lokasi, lokasi yang membuat perasaanku tidak enak.

"Setelah 20 menit berkendara akhirnya aku sampai di tujuan walaupun beberapa kali nyaris menabrak pengendara lain. Sebuah gedung besar bertulisan, "Laboraturium Devandra" dengan 3 lantai dan taman asri di depannya. Aku memakirkan sepeda motorku lalu mencabut kuncinya.

Aku segera berjalan masuk tetapi dihadang oleh 2 satpam penjaga. Sekitar 1p menitan aku beradu mulut dengan mereka akhirnya aku diijinkan untuk masuk. 

Aku berjalan dengan cepat dan mencari sosok seseorang, papaku. Setelah berjalan cukup jauh aku menemukannya yang sedang mengobrol dengan para rekannya.

Sebelum aku menghampiri papaku, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sebuah ranjang yang dikelilingi oleh kabel, di atasnya terdapat bulatan seperti helm. Aku menghampiri tempat itu dan seketika mataku terbelalak saat membaca tulisan, "Fany Devindri."

Aku berlari menghampiri dan memandang lekat-lekat tempat itu. "Apa yang akan mereka lakukan pada adikku?" Batinku bingung bercampur takut. Tak sadar aku menyentuh kabel-kabel dan menelusurinya hingga ke sebuah kotak penuh tombol-tombol.

"Rencanaku bisa gagal." Aku menoleh ke sumber suara. Seorang lelaku berpakaian serba putih berjalan menghampiriku dengan raut wajah marah. "Kenapa kamu disini?"

"Pa, ini alat apa?" Apa yang akan papa lakukan pada Fany?" Tanyaku to the point. Tak ada jawaban dari papaku selain, "Pulang!"

"Jawab Pa! Apa yang akan papa lakukan ke Fany? Ah aku tau pasti papa mau jadikan Fany kelinci percobaan papa seperti aku dulu, iya kan?"

"Kalau iya kenapa?!" Jawabnya yang membuatku terkejut sekaligus marah. Orang tua mana yang menjadikan anaknya sendiri kelinci percobaan?

Reflek aku mengepalkan kedua tanganku. Aku menatapnya dengan tajam. "Pa sadar pa! Papa telah menghancurkan hidupku dan sekarang papa ingin menghancurkan hidup Fany? Papa ini udah gila! Jangan korbankan anak papa lagi karena percobaan bodoh papa!" Jelasku dengan nada tinggi.

"Plak," sebuah tamparan mendarat di pipiku hingga aku nyaris tersungkur di lantai. Aku menoleh ke arah wajah papa dengan marah. "Pergi!" Usir papaku sambil menunjuk ke arah pintu keluar.

"Aku tidak akan pernah pergi sebelum papa membatalkan semua rencana papa terhadap Fany!" Ujarku yang masih mengotot dengan kemauanku.

"Tidak akan pernah! Sekarang kau pergi atau kau akan habis di sini sekarang juga!"

Dengan terpaksa aku berjalan keluar laboraturium dengan amarah yang berkobar dan takut yang mendalam.

"Anak sialan!"

"Berani sekali dia!"

 

Ikuti tulisan menarik Dewi Oktaviana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler