x

Iklan

Dewi Oktaviana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 November 2021

Kamis, 2 Desember 2021 17:44 WIB

Misteri Mawar Emas

Jangan pernah mencium bau dari mawar emas atau kalian akan halusinasi dan hilang tak pernah kembali. ~isi potongan surat yang ada di dalam laci berdebu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di gudang sekolah penuh debu, terdapat beberapa laci-laci yang tertata rapi di pojok ruangan. Sebuah potongan kertas menarik perhatian 3 siswa lalu mengamatinya. Surat yang sudah menguning dengan tulisan sedikit luntur.

 

"Jangan pernah mencium bau mawar emas atau kalian akan halusinasi dan hilang tak pernah kembali," isi potongan surat yang ada di dalam laci berdebu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Faisha memandang Faakhan yang sedang berpikir keras untuk memahami kata-kata pada surat itu. "Kau memahami sesuatu?" Tanya Faisha.

 

Faakhan menggelengkan kepala. "Ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa mawar emas ada di sekolah ini? Dan tidak masuk akalnya lagi bisa membuat orang hilang."

 

"Tapi percaya atau tidak, buktinya sudah ada! Salah 1 guru, telah hilang tanpa jejak 3 tahun yang lalu," protes Thio.

 

"Tapi itu cerita lama!"

 

"Buktinya lagi sahabat kita, Thanvi juga hilang 1 minggu yang lalu kan?"

 

Suasana kembali hening. Mereka bertiga menoleh ke belakang, tepat di sebuah pintu yang dikunci rapat. "Ada yang satu pemikiran?"

 

"Hei...kalian!" Seru pak Fiku mengejutkan mereka bertiga. "Ngapain kalian di situ?"

 

"Anu pak...kami mau menyelidiki hilangnya sahabat kami, Thanvi," jelas Faakhan ragu.

 

"Jangan aneh-aneh, kembali ke kelas kalian!" Kamipun hanya bisa mengangguk dan segeta kembali ke kelas kami

 

***

 

Sore itu jam pulang sekolah, suasana mulai sepi. Faisha, Faakhan, dan Thio berjalan menuju gerbang sekolah. Thio meraba-raba sakunya mencari sesuatu. "Kenapa?" Tanya Faakhan bingung.

 

"Handphoneku tertinggal. Sebentar, tinggal aja gapapa kok," ujarnya kemudian berlari menuju kelas untuk mengambil handphone.

 

Pandangan Thio tertuju pada setangkai mawar emas yang berada di sebelah handphonenya. "Ini kan?" Thio teringat beberapa kasus yang hilang karena bunga itu. Jantung Thio berdebar kencang sekaligus takut, tapi akhirnya dia memutuskan untuk mengambil bunga itu dan sebuah kertas yang bertulisan, "Aku tau kau butuh uang, aku tau kau selalu dihina karena tidak punya apa-apa. Ikuti aku, akan aku berikan ribuan emas kepadamu."

 

***

 

Keributan terjadi di sekolah. Lagi-lagi hilang 1 murid secara misterius. Bahkan polisipun masih mencoba mencari bukti-bukti yang belum 100% jelas.

 

Faisha berlari menemui seseorang yang sedang menatap laptopnya dengan serius. "Pak, kami butuh bantuan bapak. Semua ini ada hubungannya dengan mawar emas!" Ujar Faisha terus terang.

 

Pak Fiki menatap Faisha lalu menghela nafas. Pandangannya beralih ke Faakhan meminta pendapatnya. Faakhan mengangguk setuju dengan Faisha. Pak Fiki mengalihkan pandangannya lalu menghela nafas kesal. "Baiklah."

 

Pada sore hari, saat semua siswa telah pulang ke rumah masing-masing, saat itulah mereka bertiga berkumpul untuk melaksanakan rencana mereka.

 

Mereka mengecek kelas demi kelas untuk mencari sesuatu, mawar emas. Tepat di ruang kelas paling pojok, yang sejak tadi dicari kini benar-benar ada. Mereka bertiga berjalan mendekati mawar emas yang tergeletak di atas meja.

 

Ada sebuah kertas yang menempel di tangkai mawar dengan tulisan, "Jika kalian ingin mereka kembali, maka ikuti aku!" Mereka saling menatap dengan ragu sebelum memutuskan untuk mengikuti petunjuklis dalam kertas itu.

 

Aroma harum tercium dari bunga emas itu, siapa yang menciumnya pasti akan ketagihan. Pandangan mereka mulai berhalusinasi. Tanpa sadar mereka berjalan ke sebuah ruangan terkunci depan gudang. Anehnya mereka bisa masuk tanpa membuka dengan kunci terlebih dahulu.

 

"Bruk..." pintu tertutup dengan kerasnya dan seketika mereka pingsan di ruang itu.

 

***

 

Mata Faakhan membuka secara perlahan dan seketika terkejut dengan apa yang dia lihat. "Apa ini?!"

 

Faisha dan Pak Fiki juga mulai sadar dan sama terkejutnya dengan Faakhan. "Ini dimana?" Tanya Faisha heran sekaligus takut.

 

Tanah yang di atasnya penuh koin emas, air berwarna emas, pohon daun emas, bunga emas, semua serba emas. Mereka menyapu pandangan dengan bengong. Hanya ada 2 kata di pikiran mereka, "tidak mungkin."

 

Tak lama mereka menemukan Thanvi dan Thio sedang bahagia menikmati emas yang mereka temukan. Mata mereka berdua beralih ke Faisha, Faakhan, dan Pak Fiki.

 

"Faisha!" Sorak Thanvi senang dan langsung memeluk Faisha yang masih kebingungan. Pandangannya berganti ke Faakhan dan Pak Fiki. "Kalian kenapa ke sini?"

 

"Kalian ini. Kami panik mencari keberadaan kalian, eh kalian malah asik sama emas," ujar Pak Fiki kesal.

 

"Mawar emas yang mengirim kami ke sini," kelas Thio berjalan mendekat.

 

"Ya, kami ke sini juga lewat itu. Kami ingin kalian kembali," ujar Faakhan.

 

"Vi, ayo pulang," ajak Faisha sambil menarik tangan Thanvi, tapi dia justru berdiam di tempatnya.

 

"Maaf."

 

"Kenapa?"

 

"Aku bahagia di sini. Aku bisa beli apa saja yang aku mau. Tidak ada yang menghinaku karena tidak mampu," jelas Thanvi lalu melepaskan genggaman tangan Faisha.

 

"Tapi duniamu bukan di sini! Ini semua hanya ilusi!"

 

"Ini duniaku! Di dunia asli aku tak pernah dihargai, selalu dicaci, direndahkan! Dan sekarang aku bahagia, kau mau apa?" Jawab Thanvi dengan nada keras.

 

Faisha terkejut dengan jawaban sahabatnya. Ia sekuat tenaga menahan tangisnya. Jangan sampai dia dicap lemah. Suasana hening sejenak.

 

"Bagaimana dengan Thio?" Tanya Pak Fiki meminta jawaban akan ajakan untuk pulang. Dia menatap mata Thio yang terlihat sedang melamun memikirkan sesuatu, tetapi seketika sadar.

 

"Sama pak. Saya capek pak setiap hari diperlakukan buruk. Saya selalu saja dibully, harga diriku dan keluargaku diinjak-injak, bahkan dipandang pemulung oleh teman-teman dan tetanggaku. Itu semua mereka lakukan hanya karena saya miskin." Jelas Thio sedih.

 

"Tapi aku dan Faakhan anggap kamu juga sahabat kami, kan?" Protes Faisha.

 

"Kalian tidak tau penderitaanku di luar."

 

"Sia-sia kita ngorbanin diri buat nyelamatin kalian kalau kalian sudah diperbudak oleh harta!" Ujar Faakhan emosi.

 

"Kalian tidak mau pulang?" Tanya Pak Fiki pelan.

 

"Tidak. Kami akan mencari penyihir di negeri ini dan melawannya. Setelah berhasil kami akan menguasai negeri ini dan mengajak keluarga kami menikmati bersama-sama.

 

"Makin tidak masuk akal," guman Faakhan

 

"Penyihir hanya dongeng, kalian jangan tertipu."

 

"Tidak, dia ada sungguhan, namanya Fika," penjelasan Thanvi membuat Pak Fiki terkejut. Pandangan seakan tak percaya. 

 

Suasana menjadi hening, hanya ada suara daun berguguran dan air mengalir. "Kami permisi," ujar Thio memecah keheningan lalu berjalan menjauh bersaman dengan Thanvi.

 

"Apakah yakin kita akan meninggakankan bereka?"tanya Faisha.

 

"Saya yakin 100% mereka tidak akan selamat." Jawab Pak Fiki.

 

"Tapi mereka telah terhasut oleh ilusi ini!" Ujar Faakhan.

 

"Tapi mereka sahabat kita-kan, juga murid dari Pak Fiki." Suasana kembali hening. Mereka bertiga hanya memandang Thanvi dan Thio dengan khawatir.

 

"Kita akan menunggunya hingga malam. Jika mereka tidak kembali, kita yang akan kembali ke dunia asal kami." jelas Faakhan yang disetujui oleh keduanya.

 

Hawa mulai dingin, seiring dengan angin yang yang mulai kencang. Langit mulai gelap, menambah ketakutan pada diri mereka bertiga. Suara petir menyambar tepat di depan mereka hingga mereka terpental beberapa meter ke belakang.

 

Sosok bayangan wanita cantik berpakaian serba emas tiba-tiba muncul. Rambutnya panjang sepunggung bergerak mengikuti arah angin.

 

"Selamat datang di duniaku," sambut wanita itu sambil tersenyum sadis yang menabah ketakutan pada diri Faakhan dan Faisha.

 

"Ternyata selama ini ulahmu!"seru Pak Fiki. Ia berjalan beberapa langkah mendekati penyihir itu. Tidak ada rasa takut pada raut wajahnya, tapi marah.

 

"Ah, saudara kembarku ada disini juga rupanya."

 

"Saudara kembar?" Faakhan dan Faisha saling bertatapan bingung.

 

"Bertahun-tahun aku mencarimu bahkan sampai kau dinyatakan benar-benar hilang. Tapi nyatanya aa? Kau malah disini menyebabkan siswa-siswiku hilang tanpa jejak sepertimu?!"

 

"Hei! Mengapa kau menyalahkan aku? Salah sendiri mereka yang yang menginginkan ini semua-kan? Buka salahku, aku hanya membantu mereka,"jelasnya dengan senyuman sinis.

 

"Kalau orang tua kita tau pasti mereka akan kecewa denganmu!"

 

"Buktinya apa?! Mereka tidak pernah peduli kepadaku! Mereka hanya peduli kepadamu sejak dulu kita masih sekolah!"

 

Pak Fiki terkejut mendengar perkataaan penyihir yang merupakan saudari kembarnya. Pak Fiki reflek mengepalkan tangannya tapi ia lepaskan kembali. Ia menghela nafas kasar. "Kau salah paham."

 

"Tidak, aku tidak pernah salah. Oh iya anak didikmu tadi mencariku untuk mengalahkanku ya? Bodohnya mereka dengan perkataan dan semua ilusiku," ujarnya yang membuat semya semakin bingung.

 

"Apa yang akan kau lakukan dengan anak didikku?" Tanya Pak Fiki dengan dahi mengerut dan alis menyatu karena marah.

 

"Itu bukan urusanmu," jawabnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Pak Fiki. "Kalian pulanglah. Cium kembali mawar emas yang kalian bawa tadi dan kalian akan pulang," lanjutnya lalu menghilang tiba-tiba bersamaan dengan suasana gelap tadi.

 

"Apa yang terjadi?" Tanya Faisha penasaran. Semua ini begitu membingungkan.

 

"Penyihir itu adalah saudari kembarku, Fika," jelas Pak Fiki membuat mereka berdua benar-benar terkejut. "Dan sekarang Thanvi dan Thio sedang dalam bahaya!"

 

"Kami akan membantu!" Ujar Faakhan yakin.

 

"Kalian pulanglah, biar aku yang mengurusnya."

 

"Tapi pak itu berbahaya."

 

"Sebahaya apa dia tidak akan mau menyakiti saudara kembarnya."

 

"Pak izinkan kami ikut!"

 

"Pulang kalian!" Bentak Pak Fiki membuat mereka berdua terkejut dan diam. Seumur-umur mereka baru mendengar bentakan Pak Fiki.

 

"Faakhan, ajak Faisha pulang seperti penjelasan wanita itu tadi. Aku akan menyelamatkan mereka dan juga Fika. Setelah kalian pulang, kunci rapat-rapat ruangan itu, kalau perlu dirantai!"

 

Setelah diam cukup lama akhirnya Faakhan mengangguk. "Bapak hati-hati ya. Kami akan mendoakan bapak selalu." Pak Fiki tersenyum.

 

Faakhan memegang tangan Faisha yang masih menatap Pak Fiki sedih. Tetlihat beberapa tetesan air mata jatuh membasahi pipinya.

 

Pak Fiki segera berlari menuju arah kedua muridnya untuk mencari penyihir itu. "PAK!" Teriak Faisha mencoba mengikuti gurunya tetapi ditahan oleh Faakhan. "Lepasin!"

 

"Gak! Ayo kita pulang!" 

 

"Tapi mereka juga harus pulang!" 

 

"Mereka sudah memutuskan. Ingat kata Pak Fiki tadi?"

 

"Ini salahku." Air mata Faisha meluncur deras hingga membasahi seragamnya. Faakhan meraih mawar emas itu lalu menghadapkannya ke Faisha. Tak lamapun dia pingsan lalu giliran Faakhan yang melakukannya.

 

***

 

Di sebuah ruangan gelap yang pengap, sebuah kelopak mata perlahan terbuka, mencoba untuk duduk dan meraba-raba sekitar. Tiga menit penglihatan mulai tersadar dan alangkah terkejutnya saat menyadari ruangan itu.

 

"Ini..ruangan terlarang itu kah?" Tanya Faisha takut. Faakhan yang barusan sadar ikut terkejut setelah menyadari. Ada tubuh Thanvi, Thio, dan Pak Fiki tergeletak tak sadarkan diri. Mereka panik dan menyecek denyut nadinya.

 

"Mereka masih hidup."

 

"Brak..brak...tolongg..." teriak Faisha sambari menggedor-gedor pintu.

 

"Percuma saja, kita tunggu sampai ramai isi sekolah," jelas Faakhan. Faisha turun ke lantai lalu memeluk lututnya dan kembali menangis saat teringat apa yang terjadi.

 

Suara siswa yang berisik telah terdengar. Mereka kembali meminta tolong sembari menggedor-gedor pintu. Agak lama akhirnya ada orang yang membukakan pintu. Dia memandang mereka dengan heran. "Bagimana kalian bisa terkunci di dalam?"

 

"Nanti kami jelaskan. Sekarang tolong bawa mereka ke rumah sakit!"

 

"Mereka terkejut dan ada beberapa orang yang teriak histeris membuat suasana menjadi kacau. Ada beberapa orang menelepon ambulan, ada polisi memfoto ruangan, ada beberapa mengecek keadaan kami semua, ada pula yang membubarkan kerumunan.

 

Setelah Thanvi, Thio, dan Pak Fiki dibawa oleh ambulan dan dinyatakan koma, pintu ruangan itu kini dirantai dan digembok karena berbahaya. Faisha dan Faakhan hanya bisa berharap mereka selamat dan bangun dari koma.

 

TAMAT

Ikuti tulisan menarik Dewi Oktaviana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu