x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Minggu, 21 November 2021 17:42 WIB

Taman Bacaan di Gunung, Berani Terima Sudut Pandang Orang Lain dan Tidak Mudah Menghakimi

Gunung itu tidak pernah berkata ia tinggi. Maka membaca buku di TBM jadi penting agar tidak mudah menghakimi dan mau melihat sudut pandang orang lain

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jangankan langit di atas sana, gunung yang di depan mata pun tak pernah berkata bahwa ia tinggi. Lalu, mengapa ada yang mengaku terbaik namun lupa menjadi baik?

 

Mungkin karena TBM Lentera Pustaka berada di kaki Gunung Salak Bogor. Pemandangan gunung jadi begitu biasa. Pagi, siang, dan sore yang tampak hanya gunung. Bahkan di malam hari pun sangat terasa hawa gunung-nya. Kata orang, gunung itu menenangkan. Gunung memang hanya diam. Sekalipun ratusan kali didaki, bahkan dinodai pendakinya. Diamnya gunung, tentu bukan karena salah. Tapi semata-mata karena gunung hati-hati dalam bertindak. Agar tidak melukai atau mencederai orang-orang yang ada di lerengnya.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Maka mendaki gunung, sejatinya bukan untuk menaklukkan gunung. Tapi justru di pendaki sedang berjuang untuk menaklukkan dirinya sendiri. Akibat ego diri, akibat kesombongan dan selalu merasa lebih tinggi dari orang lain. Siapa pun yang mendaki gunung, justru ia sedang ikhtiar untuk melihat dunia dari sudut pandang lain. Bukan agar dunia bisa melihat si pendaki.

 

Seperti itu pula, anak-anak yang membaca buku di taman bacaan. Membaca itu untuk memperkaya sudut pandang, memperluas cakrawala dalam melihat hidup dan dunia. Agar anak-anak itu nantinya, bisa melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang sebelum menyimpulkan sesuatu. Karena pada setiap objek, selalu ada sudut pandang yang berbeda. Termasuk dengan diri kita sendiri.

 

Sulit untuk dibantah. Membaca buku di taman bacaan memang sangat bagus, sangat penting di era digital. Tapi bukan berarti pula kegiatan membaca lebih baik dari main gawai atau main youtube kan. Bukan berarti taman bacaan lebih hebat dari warung kopi. Ini bukan soal buku lebih mulia, lalu gawai lebih buruk. Tapi hanya soal “menyeimbangkan” aktivitas anak-anak, antara buku dan gawai. Tanggung jawab orang dewasa untuk mengajarkan cara membagi waktu, dan mengarahkan anak-anak ke aktivitas yang positif.

 

Anak-anak di era digital, sangat boleh main gawai. Youtube-an pun boleh, menonton TV juga boleh. Maka membaca buku di taman bacaan pun boleh dan baik. Itu artinya, anak-anak dilatih untuk melihat segala sesuatu lebih dari satu sudut pandang. Agar anak-anak taman bacaan tidak perlu merasa lebih baik daripada teman-teman yang tidak membaca buku. Atau anak-anak yag kerjanya main atau nongkrong.

 

Bila anak-anak TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak membaca buku yang terlihat gunung. Bahkan main ke gunung, ke kebun atau ke sungai. Sementara anak-anak kota lebih suka main games, main laptop atau ke mal. Itu semua hanya soal kepraktisan dan kemudahan akses semata. Karena membaca buku pun hanya soal akses, bukan hanya soal minat baca. Jadi, anak-anak kampung yang membaca buku tidak berarti lebih baik dari anak-anak kota yang doyan main games, atau sebaliknya. Membaca buku di taman bacaan, bagi saya, adalah proses untuk membentuk pola pikir anak dari hal-hal yang sederhana. Agar tidak cepat menyimpulkan sesuatu dan mau menerima sudut pandang lain.

 

Karena mau menerima sudut pandang lain itulah, TBM Lentera Pustaka terus berproses dan berkembang. Tadinya hanya dihuni 14 anak pembaca aktif, kini TBM Lentera Pustaka terus berkenbang dengan menjalankan 12 program literasi yang terdiri dari: 1) TABA (TAman BAcaan) dengan 160 anak pembaca aktif dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya) dengan waktu baca 3 kali seminggu, kini setiap anak mampu membaca 5-8 buku per minggu, 2) GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) yang diikuti 9 warga belajar buta huruf agar terbebas dari belenggu buta aksara, 3) KEPRA (Kelas PRAsekolah) dengan 26 anak usia prasekolah, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang disantuni dan 4 diantaranya dibeasiswai, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo usia lanjut, 6) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7) KOPERASI LENTERA dengan 31 ibu-ibu anggota koperasi simpan pinjam agar terhindar dari jeratan rentenir dan utang berbunga tinggi, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU (RAjin menaBUng), 10) LITDIG (LITerasi DIGital) untuk mengenalkan cara internet sehat, 11) LITFIN (LITerasi FINansial), dan 12) LIDAB (LIterasi ADAb) untuk mengajarkan adab ke anak-anak seperti memberi salam, mencium tangan, berkata-kata santun, dan budaya antre. Tidak kurang dari 250 orang menjadi penerima layanan literasi TBM Lentera Pustaka setiap minggunya.

 

Kembali ke soal gunung. Bahwa akhirnya, gunung adalah salah satu karya terindah Allah SWT yang patut disyukuri. Gunung memang tinggi tapi tidak pernah berkata ia tinggi. Sebagai makhluk Tuhan, gunung tidak mengaku yang terbaik tanpa mau berbuat baik. Bahkan gunung itu selalu lebih jauh, lebih tinggi dan lebih sulit dari kelihatannya. Agar siapa pun, selalu mau menunduk saat mendakinya dna tetap tegak ketika menuruninya.

 

Belajar dari gunung. Siapa pun saat mendakinya, harus tahu kapan harus pergi, kapan harus tinggal, dan kapan harus mundur. Agar tetap fokus pada tujuan besar untuk menggapai puncak dengan semangat dan sepenuh hati. Seperti pegiat literasi di taman bacaan. Dan yang paling penting mampu jadi manusia literat. Manusia yang tidak mudah menghakimi dan mau mau memahami sudut pandang orang lain. Salam literasi. #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen #KampungLiterasiSukaluyu

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler