x

Bunga Senja

Iklan

Cut zidda ulya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Senin, 22 November 2021 18:36 WIB

Musim Semi yang Terkubur


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jepang, 2010.
Saat itu, tepat pada Bulan Maret aku melihatnya. Di bawah pohon sakura yang sedang mekar, dia duduk sambil membaca buku. Wajahnya yang manis, pesonanya yang anggun dengan potongan rambut sebahu menarik netraku untuk terus memandangnya di balik tembok besar yang bisu, mungkin kalau tembok ini bisa berbicara pasti akan bertanya, “Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
    Daun-daun berguguran akibat tiupan angin, menerpa helaian rambutnya sehingga menjadi berantakan. Matanya yang sedari tadi fokus pada bacaannya kini ia alihkan ke sekeliling, tangannya bergerak menyelipkan secarik rambutnya yang jatuh ke belakang telinga. Untuk sekian detik, debaran jantungku memompa dengan cepat, seperti orang bodoh kubalikkan tubuhku di pangkuan tembok. Sungguh, aku tak bisa menahan ketika menatap wajahnya. Sudah ketiga kalinya aku berdiri di sini sambil memperhatikannya. Entah kenapa, rasa takut ini selalu mengelabuiku sehingga aku tak berani menemuinya. 
    Ketika aku memalingkan kepalaku untuk melihatnya lagi, sosoknya telah hilang. Rasa kecewa bercampur kesal bergejolak di dalam dadaku, persiapan matang yang sudah kulakukan berulang kali selalu menjadi akhir yang sia-sia. Ku langkahkan kakiku menuju tempat dimana ketika jiwanya berteduh, dan ini pertama kalinya aku tidak berbalik arah untuk pulang. 
    Aku duduk di bawah guyuran bunga sakura yang saling berkumpul. Sembari membayangkan keberadaannya yang sedang duduk di sampingku. Kami sama-sama berbicara dalam diam. Menatap kekosongan di lintasan langit yang tak berujung. Pikiranku mulai menguras kembali, andaikan aku bisa bertemu dan mengenalnya lebih dekat pasti akan menyenangkan. 
    Ting!
 Terdengar suara benda jatuh ke tanah dan itu membuatku kembali terseret ke alam nyata. Aku segera mencari benda tersebut. Terlihat sebuah kalung perak berbentuk love tergeletak di tumpukan tanah. Rasa ingin tahu mendorongku untuk mengambil kalung tersebut. Jika dilihat dari dekat terselip sebuah huruf inisial A. Barangkali ada seseorang yang tak sengaja menjatuhkan kalung ini. 
    “Itu punyaku!”Tiba-tiba, muncul suara dari arah belakang. 
     Aku terkejut dan buru-buru bangkit. Ketika berbalik, seketika aku terkesiap, mulutku terkunci rapat. Gadis yang selama ini ku kagumi sedang berdiri tepat di hadapanku. Tanpa sadar, tubuhku mematung dan perhatianku hanya terfokus padanya. 
    “Sumimasen, itu kalungku. Bisa tolong dikembalikan?”ucapnya.
Beberapa detik berlalu, dan tak ada respon apapun. Dia mengulang sekali lagi ucapannya dengan sedikit ditekan. Seketika aku tersadar, aku langsung merasa gugup dan salah tingkah. 
    “O..oh ya, kono!”ucapku sembari menjulurkan kalung miliknya. Dia langsung mengambilnya dan mengucapkan terima kasih. Tanpa basa-basi lagi, dia melangkah pergi. Dengan kesempatan yang langka, aku mengejarnya yang masih dalam setengah perjalanan. Entah kenapa kali ini, aku memberanikan diri untuk menjadi stalkernya secara diam-diam. Menurut batinku, cara seperti ini mungkin akan berhasil.     
    Selang beberapa menit, dia sudah sampai di persimpangan jalan untuk menyebrang. Di balik semak-semak lautan manusia, aku menerobos cepat. Sambil menunggu lampu hijau berpindah ke lampu merah, aku mempersamakan jarak dengannya. Dengan penutup hoodie, aku bisa menyembunyikan wajahku agar tak terlihat olehnya. Tak berapa lama, lampu sudah berganti posisi. Dia langsung bergerak dan berbelok arah. Masih dalam perencanaan, aku mengikutinya lagi dari belakang. 
    Waktu terus berlalu, dan kami sudah memasuki gang yang sepi. Rasa heran menghampiriku serta batinku kini bersuara, ‘bagaimana bisa seorang gadis berani melewati jalanan yang sepi begini, apa dia tidak takut terjadi apa-apa nanti?’ Seperti dugaanku, tiba-tiba muncul sepasang pria yang bertubuh kurus dan bertubuh sedikit pendek dengan bubuhan wajah yang sangar. Perasaan was-was kini menggerogoti tubuhku. Segera aku mengambil tempat bersembunyi untuk mempersiapkan ancang-ancang jika terjadi sesuatu padanya. Dari kejauhan, telingaku sudah siap menangkap pembicaraan mereka. 
    “Ekhemm, hitori no bishojo?”ucap salah satu pria yang bertubuh kurus. 
Dengan sekejap, dua pria tersebut sudah menghadangnya. 
    “Doke!”balasnya dengan suara keras. Sedikit hentakan malah membuat mereka semakin menjadi-jadi. Sungguh keterlaluan, Pria bertubuh sedikit pendek menangkap tubuhnya dari belakang. Dan ini membuat emosiku meluap-luap seketika. Tanpa pikir panjang lagi, aku keluar dari tempat persembunyian. Tapi, ada yang janggal. Aku tertegun. Gadis itu malah membanting tubuh pria tersebut dengan tangannya sendiri. Melihat temannya yang sudah terkapar, pria yang satunya lagi merasa tak terima dan marah besar. Di ambilnya sebatang besi yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berada. Kemudian ia ayunankan tinggi-tinggi ke arah gadis itu. Belum sempat besi itu menyentuh tubuhnya, tangannya dengan gesit sudah menangkap benda keras itu. Pria tersebut mulai ketakutan. Dengan tatapan ganas dan amarahnya yang membara, di lemparnya besi itu ke tubuh pria kurus hingga kedua-duanya kini sudah tergeletak tak sadarkan diri. 
    Aku masih tak percaya dengan adegan ini, entah kenapa tubuhku segera mengajakku untuk menghampirinya. Ku tepuk sedikit pundaknya. “Daijoubu desuka?” walaupun begitu, aku tetap khawatir kepadanya. Tubuhnya berbalik, ekspresinya sedikit berubah ketika menatapku. Mungkin dia terkejut karena ada yang melihat aksinya. Tiba-tiba saja, Setetes cairan merah keluar dari hidungnya sedikit demi sedikit. Aku mulai panik. 
    “Anu.. hidungmu itu berdarah”
    Di sentuhnya darah yang semakin deras mengalir di atas bibirnya, saat itu juga dia terjatuh ke tanah. Kepanikanku semakin membuncah, rasa takut menjalari tubuhku. Aku segera mengangkat tubuhnya dan membawanya lari ke rumah sakit. 
    
                                  ***        

    Di depan bingkai kaca, aku menatap tubuhnya yang terbelangkai di atas kasur putih. Menunggu kabar dari dokter yang masih berada di dalam dengan raut wajah gelisah. Selang beberapa menit, dokter pun keluar. Dengan cepat aku langsung menanyakan kabarnya.
    “Bagaimana keadaannya, Dok?”
    “Dia sudah sadar dan kamu boleh melihatnya, tapi ada beberapa hal yang akan saya sampaikan kepadamu, gadis-mu itu terjangkit penyakit Leukemia yang sudah beroperasi sejak dulu. Kemungkinan besar hidupnya sudah tak bisa diperhitungkan lagi.”
    Mendengar penuturan dokter membuat tubuhku melemah. Dengan langkah lunglai, aku menghampirinya yang masih terbaring dengan kelopak mata yang sudah terbuka. Wajahnya yang pucat telah menampar kemanisannya yang terlihat sayu. Tatapan kami sempat bertemu ketika aku sudah berada di sampingnya, lalu dia langsung memalingkan mukanya. 
    “Kita baru saja bertemu. Dan terima kasih sudah membawaku ke sini, tapi aku tak mau kau ikut campur dalam urusan ini, tolong kau pulang saja, tinggalkan aku sendiri”
    “Maafkan aku jika aku ikut campur dalam kehidupanmu. Ini juga kesalahanku karena aku mengikutimu tadi. Tapi tolong izinkan aku menemanimu sampai keluargamu datang kemari”
    “Aku tidak punya keluarga, orang tuaku baru saja meninggal setahun yang lalu, dan aku tidak butuh kau untuk menemaniku. Jadi tolong pergilah”
    Aku tak menyangka dia begitu keras kepala. Wajar saja sih karena kami baru saja bertemu. Tapi dengan kondisinya yang seperti itu, membuatku terlena dengan penderitaannya. Hatiku tak terima jika ia harus berjuang seorang diri melawan penyakitnya, tanpa ada insan yang peduli dengan kehidupannya yang sedang sekarat. Aku akan berusaha menjadi orang yang bisa dia percayai untuk menjaganya. Ku paksa mulut ini lagi untuk membujuknya agar mau tinggal di rumahku. Setidaknya ia ada tempat tinggal yang lebih baik dan nyaman. Tapi dengan egonya yang melebihi kerasnya batu, ia tetap teguh pada pendiriannya. Aku pun tak mungkin memaksanya lagi, akhirnya aku menyerah. Ku langkahkan kakiku yang begitu berat untuk keluar dari ruangannya.
                                                                      
***

Dengan sikapnya yang seperti itu, tak membuatku luluh begitu saja. Aku tetap menunggunya di bangku rumah sakit sambil mempergoki medsos yang update hari ini. Sesekali aku juga membalas chat yang sudah bertumpuk di benda pintar ini. Beberapa menit berlalu, tiba-tiba dokter menghampiriku dan menyatakan bahwa dia diperbolehkan pulang. Segera saja aku membayar administrasinya dan siap untuk mengantarnya pulang. 
“Aku mohon, izinkan aku untuk mengantarmu pulang,”ucapku dengan penuh harap ketika kami sudah berada di luar rumah sakit. 
    Mulutnya masih membisu. Ku persilahkan dia untuk berpikir sejenak. Tak lama kemudian, dia menatapku. Di raihnya tanganku—dengan sedikit anggukan. Aku tersentak, sumpah kali ini dia tak menolak. Dengan hati yang berbunga-bunga ku genggam tangannya dan ku bawa dia pulang. 
    
                                                               ***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

    Jepang, 2020
    Itulah pertemuan yang mengikat kami menjadi lebih dekat. Tapi, ada sedikit perjuangan keras ketika sikapnya yang keras kepala itu menyeruak kembali. Tak apa-apa lama kelamaan kami bisa saling menerima satu sama lain. Hingga akhirnya aku dan dia menjalani sebuah hubungan romantis, tepat ketika pertama kalinya kami berciuman di tempat biasa aku memperhatikannya. Hadirnya musim semi menjadi saksi kisah kami di mulai, membalut sebuah pelukan hangat di tengah-tengah gugurnya bunga sakura, berpegangan tangan merajut mesra dalam keserasian dua insan menjadi lebih kuat. Aku tak bisa menceritakan lebih jauh bagaimana kedekatan kami terjalin karena itu akan menjadi sebuah rahasia yang terpendam di peti hati kami, menjadi sebuah serangkaian kenangan yang tak akan pernah pecah. 
    Hingga maut menjemputnya dalam pertempuran melawan penyakitnya yang semakin ganas. Untuk terakhir kalinya mataku menangkap tubuhnya terbelangkai tak berdaya dengan kain putih yang membungkus. Meninggalkan duka serta luka yang sangat meyayat di hati. 

    Ku taburkan separuh bunga mawar di atas seonggok tanah bernisan yang menjadi tempat jasadnya tertidur sekarang. Ku tuangkan doa kepadanya, berharap ia bisa kembali walaupun hanya sementara. Air mataku tumpah dengan derasnya, sungguh aku sangat merindukannya. Kenapa Tuhan begitu cepat merebutnya dariku?  Ku sentuh batu nisannya yang sudah di hiasi dengan lilitan akar. Menyisakan namanya yang begitu indah untuk disebutkan. 
“Raka, aku juga merindukanmu” sekilas aku mendengar bisikan halus yang cukup mengetarkan ragaku. Tepat di depanku ia menyunggingkan senyum manisnya. Tanpa berkata-kata lagi, ku peluk tubuhnya yang sudah menjadi bayangan. 

“Amicha ellavia kionacha”
      Lahir, 13-07-1998
     Wafat, 20-10-2020

 

Ikuti tulisan menarik Cut zidda ulya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

14 jam lalu

Terpopuler