x

Syarat Nikah ada serrtifikasi

Iklan

Meliana Aryuni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Senin, 22 November 2021 18:42 WIB

Buah Doa dan Penantianku

Kisah Annisa yang rela berdoa dan menunggu sang suami berubah dengan kebiasaan berjudi dan mabuk-mabukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Sudahlah, cinta itu bukan harus dituruti, Sa! Ibu tahu kamu cinta dengan Jamal, tetapi lihat kelakuannya selama ini! Ibu tidak sanggup melihatmu menderita, Nak!"

Tangisan ibu yang membuat aku tersenyum saat menerima lamaran Jamal kini kembali lagi, tetapi maknanya berbeda. Air mata membasahi pipinya yang mulai kempot karena beberapa gigi sudah tanggal dari gusi. Aku merasa iba melihat ibu, lalu kupegang punggung tangan ibuku dengan lembut.

"Nisa sebenarnya tidak mau, Bu. Namun, Nisa yakin bang Jamal pasti akan berubah." Aku bukan menyakinkan ibu terhadap kelakuan suamiku, melainkan untuk meyakinkan diri agar tetap menjadi istri Jamal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kamu memang keras kepala, Nisa! Apa yang diberikan Jamal untukmu dan kedua anakmu? Ibu rasa dia hanya membelikan kamu makanan saja. Selebihnya, dia hanya diam dan bersembunyi dalam balutan kekesalan dari penghuni rumah ini.

Pernikahanku dengan Jamal tergolong masih sangat muda, memasuki 5 tahun. Anak pertamaku hampir berusia 5 tahun dan bungsuku 3 tahun. Awalnya Jamal bekerja di sebuah restoran. Namun, restoran itu bangkrut dan Jamal dirumahkan. Sudah hampir 3 tahun Jamal tidak bekerja. Aku sendiri sudah lama tidak bekerja karena tidak ada yang mengasuh kedua anakku. Aku tidak mau seperti wanita karier yang menitipkan anaknya ke orang tua atau mertua. Kasihan mereka sudah tua dan masih direpotkan olehku.

Saat itulah keputusanku resign dari pekerjaanku sebagai kasir sebuah minimarket kuambil. "Bang, carilah kerja apa saja daripada main gaplek terus sama teman-teman Abang," ucapku kepada bang Jamal di suatu malam setelah dia pulang dari kumpul-kumpul bersama teman-temannya. Bang Jamal tidak menggubris ucapanku itu. Dia berlalu masuk ke kamar mandi. Setelahnya, langsung masuk kamar dan tidur. Aku jengkel dengan sikapnya itu.

***

"Ibu ada uang? Abang mau pinjam sedikit," ujar bang Jamal dengan suara keras. Aku yakin jika aku memberikan uang yang kudapat dari bekerja menyetrika pakaian tetangga, maka akan habis saja uang itu untuk kebutuhan mabuk, judi, dan rokok bang Jamal. Lalu, apa yang akan dimakan oleh anak-anakku nanti?

"Maaf, Bang. Ibu tidak punya uang. Abang kan sudah lama tidak memberi uang kepada Ibu?" Aku mulai memberanikan diri.

"Tolong berikan sedikit saja. Abang butuh sekali hari ini," pintanya disertai matanya yang mulai memerah.

"Abang cari kerja. Siapa tahu ada rezeki untuk kebutuhan Abang. Lihatlah dua anak Abang ini. Mereka masih membutuhkan gizi yang baik untuk pertumbuhan." Aku menjelaskan panjang lebar.

Sekilas kulihat bang Jamal menoleh ke arah kedua anaknya itu. Lalu, dia memalingkan wajahnya seakan tidak peduli dengan nasib kedua anaknya tadi. "Kamu kan bisa minta sama ibumu!" Suara bang Jamal semakin meninggi. Aku kaget mendengar ucapan bang Jamal dan langsung menutup mulut lelaki itu. Takut kedengaran ibu dan ayahku.

Saat ini kami memang belum bisa memiliki rumah atau mengontrak. Tinggal bersama ibu dan ayahku adalah jalan satu-satunya bagi kami. Kami hanya menempati kontrakan ibu yang ada di bawah rumah.

"Malu pinjam uang ibu terus, Bang. Abang berhentilah berjudi dan minum-minuman keras. Dosa, Bang. Dosa!" Suaraku dibuat sekecil mungkin.

"Tahu apa kamu dengan dosa? Dosa itu tidak ada. Aku tidak merugikan orang lain!" tantang bang Jamal.

"Abang telah merugikan istri dan anak-anak. Abang jarang bermain dengan anak-anak. Abang sering pulang malam padahal mereka ingin bercanda dengan Abang. Abang ingat, Abang yang meminta cepat dapat anak. Setelah mereka ada, Abang mengabaikan mereka. Abang itu ayah mereka, tanggung jawab Abang di dunia-akhirat...." Suaraku tercekat di tenggorokan. Air mataku keluar bersamaan wejangan kepada bang Jamal, sedangkan lelaki itu berlalu meninggalkanku.

Kebiasaan bang Jamal berjudi dan mabuk sudah berlangsung hampir 4 tahun. Aku sendiri sudah berkali-kali meminta bang Jamal untuk berhenti dari perbuatan buruk itu. Pesangon yang diberikan oleh restoran tempatnya bekerja dulu hanya bertahan setahun. Untung saja sampai saat ini bang Jamal tidak pernah memukulku. Kalau saja bang Jamal berani memukulku, aku tidak segan-segan meminta cerai kepadanya. Namun, aku menahannya dan berdoa semoga bang Jamal berubah.

Di saat aku membutuhkan uang untuk menyambung kehidupan, diam-diam aku menjadi buruh setrika di rumah beberapa tetanggaku. Itu kulakukan saat bang Jamal sedang tidak di rumah. Aku ingin anak-anakku makan makanan yang halal.

"Kenapa Jamal tadi, Nisa?" Kedatangan Ibu mengejutkanku. Aku menyeka air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin beliau tahu bahwa aku sedang melawan diriku sendiri.

"Tidak ada apa-apa, Bu?" Aku berusaha menutupinya, tetapi ibu pasti sudah tahu keadaanku. "Ini, simpanlah. Ibu dapat rezeki hari ini. Kamu jangan terlalu capek ya. Pikirkan anak-anakmu," ucap ibuku sambil memelukku erat.

Ibu pasti sudah tahu pekerjaanku. Mungkin ada yang bercerita kepadanya bahwa aku menjadi buruh setrika. Padahal aku tidak pernah menceritakannya dan anak-anak selalu kuajak bila pergi bekerja.

"Maafkan Nisa, Bu." Hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan. Sekian tahun berada di bawah rumah ibu, aku belum bisa membahagiakannya. Bahkan sekarang aku menambah beban pikiran kedua orang tuaku. Malam harinya bang Jamal tidak pulang. Aku tertidur sampai fajar karena dikejutkan oleh ketukan pintu. "Ibu, ada apa?" tanyaku kaget melihat ibu yang pagi-pagi sekali sudah ada di depan pintu rumah.

"Jamal ditangkap polisi, Nisa!" ucap ibuku dengan bibir bergetar.

"Kenapa, Bu?" tanyaku penasaran. "Jamal ketahuan mengantongi narkoba sebanyak 11gr!" Aku terduduk lemas di muka pintu. Aku tidak pernah tahu bang Jamal berteman dengan narkoba. Pantas saja dia selalu minta uang. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhku lemas dan tak berdaya.

"Mungkin inilah saatnya kamu harus mengakhiri pernikahanmu, Nisa. Biar Ibu dan Ayah yang akan membantu kehidupanmu selanjutnya." Aku masih diam. Kepalaku berputar mencari cara untuk mengeluarkan bang Jamal dari hati dan kehidupanku. Namun, aku tidak menemukannya.

"Bu, biar kita tunggu bang Jamal. Semoga kali ini dia berubah."

***

Setelah mendekam di penjara selama 5 tahun, bang Jamal dinyatakan bebas. Selama itu pula aku terus berdoa semoga bang Jamal berubah. Aku ajak anak-anak untuk mendoakan ayahnya.

"Bu, maafkan Ayah ya," tangis bang Jamal pecah saat kami bertemu. Aku hanya bisa menganggukka kepala. Air mataku sudah tumpah membasahi kerudungku. Dia menciumku dan anak-anak berulang-ulang.

Kini wajahnya sudah berubah. Ada sirat keteduhan dari tatapan matanya. "Alhamdulillah ya Allah, suamiku sekarang sudah menjadi baik kembali. Penjara telah membuat suamiku menjadi lebih tampan."

"Bu? Apa maksudnya?" Bang Jamal menoleh ke arahku, lalu menciumku kembali. Tak kupikirkan senyum ayah dan ibu yang menemaniku saat itu. Aku benar-benar melihat bang Jamal jauh tampan dari sebelumnya.

"Eh, jangan-jangan Ibu mau anak lagi ya?" Goda bang Jamal. Aku memukul bahunya. Kami tersenyum malu. Penantian dan doa selama ini telah terjawab. Aku bertambah cinta kepada bang Jamal.

Ikuti tulisan menarik Meliana Aryuni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler