x

Iklan

Gansar Dewantara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 November 2021

Senin, 22 November 2021 19:30 WIB

Surat Berkisah

Maafkanlah aku jika keputusan untuk melayangkan cerita ini di lembar umum. Besar harapanku, agar kau membacanya atau setidaknya kau mengerti dari orang-orang yang saat ini dekat denganmu. Sungguh tak ada niat lain, kecuali supaya kau tak salah persepsi juga berkenan datang kepada kami. Secepatnya. Cerpen ini untuk diikutsertakan dalam "Sayembara Cerpen Indonesiana 2021"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Surat Berkisah

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

          Saat kutulis surat untukmu, sore belum tampak jingga. Namun, jauh sebelumnya, aku sudah sering menelponmu, tetapi hanya suara operator. Bahkan, dua kali aku bersilaturrahmi ke rumahmu, hanya keluh emak dan adikmu yang terdengar. Begitu juga Sam, gelisah mencarimu. Maka maafkanlah aku jika keputusan untuk melayangkan cerita ini di lembar umum. Besar harapanku, agar kau membacanya atau setidaknya kau mengerti dari orang-orang yang saat ini dekat denganmu. Sungguh tak ada niat lain, kecuali supaya kau tak salah persepsi juga berkenan datang kepada kami. Secepatnya.

Madama, bukankah kau masih ingat? Bahwa keakraban kita: aku, kau dan Sam kerap kali membuat iri teman-teman kita. Baik semasa sekolah menengah atas hingga di kampus. Sampai kita benar-benar dipisahkan oleh alur nasib. Aku diterima berkerja di kantor Perpajakan. Sam berdinas di kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai, dan kau di Bank kenamaan negara, kebetulan satu kantor dengan kakakku, Adib.

 

Dahulu sekali, jauh sebelum surat ini lahir, kita dipertemukan di lorong senja. Kemudian bibir pucatmu mengungkap, bahwa yang meracuni Kak Adib adalah kau. Spontan kepalan tanganku menghantam keras dadamu. Kau sempoyongan membentur tembok, lalu pingsan.

Di rumah sakit, aku sempat berniat menjebloskan kau ke penjara. Namun, niat itu aku batalkan setelah dokter menyampaikan kalau kau hamil 9 minggu.

“Siapa yang melakukannya, Madama! Siapa lelaki itu?”

Aku terus melontarkan pertanyaan-pertayaan dengan menekan suara. Namun, kau malah memukul-mukul perut yang belum kentara buncit seraya beteriak, “Dokteeer! Aborsikan kandungan saya! Gugurkan, Dok!”

“Jika kau gugurkan, akan kupenjarakan kau!” bentakku, pura-pura mengancammu, sejujurnya aku tak tega melihat kepedihanmu.

“Be … berani melaporkan ke Polisi, aku bunuh diri!” sahutmu gemetar dangan panah pandang yang runcing.

 

Lewat penjabaran Sam, yang waktu selang sehari juga hadir di kamar rawat inapmu, ternyata Kak Adib yang membuatmu seperti ini. Dia telah melakukannya sepihak, dengan memberimu obat tidur dosis tinggi. Dan itulah alasannya kau membunuh Kak Adib, sebab itu juga kau mulai menghindar dariku.

Aku tahu batinmu remuk. Maka untuk menebus dosa kakakku dan menutup aibmu, aku mencoba membalut robeknya jiwamu dengan setulus rasa yang selama ini tersimpan di relung hati, tetapi kenyataannya, kau menampik ajakanku menjalani hidup dalan satu atap keluarga sakinah.

 

Setelah peristiwa di rumah sakit itu, sepertinya kau menghilang dihempas angin. Akhirnya aku takluk pada keputusan orangtuaku. Menikah dengan mantan istri Kak Adib, hanya dengan alasan menyambung silaturahmi saudara jauh dari jalur ibuku.

Beberapa tahun selanjutnya, Sam menelponku, sebenarnya banyak cakap terlebih tentang dirimu. Kata Sam, kau akan datang memasrahkan alih asuh anak yang dulu kau kandung kepada kami. Sekian hari, omongan Sam terbukti.

Waktu itu siang tanpa panas. Setelah kau pasrahkan anakmu Kayla Madama pada kami, yang belakangan aku sapa Kay. Korneaku terakhir melihat jaketmu mengayun sebentar, lalu lenyap di tikungan kampung.Tangis Kay pecah, tidak hanya siang itu, Kay selalu melengkingkan tangis, memanggil-manggil dirimu.

“Maak...! Ikut maaak!”

Saat itu umur Kay baru tiga tahun dua bulan, katamu. Dan hanya kantuk yang bisa menghentikan tangisnya.

Upaya membuat Kay betah bersama kami–melupakanmu–sungguh kepontalan: ke paranormal, merekrut baby sitter, mengajaknya tamasya ke permainan anak-anak, dan air karomah dari ustaz Haji. Namun, semua usaha itu tak berefek sesuai harapan. Malah sering kali istriku mengeluh perihal rewelnya Kay. Maklum, bagi kami Kay adalah anak pertama. Itu pun kau tahu, sudah tiga tahun usia pernikahan kami belum juga dikaruniai momongan.

Sempat juga istriku berucap untuk memindah asuhkan Kay kepanti. Akan tetapi, setelah aku beri pengertian, “Bahwa sudah menjadi tabiat anak kecil itu bisanya cuma menangis, maka curahkan semua ketulusan rasa kasih sayangmu terhadap Kay. Dan ingat! Setiap rasa jengkelmu tersulut oleh Kay, maka cepat-cepatlah beristigfar, supaya mulutmu tak berucap kutukan atau tanganmu tak membuat Kay menjerit kesakitan.”

Pelan-pelan istriku mengerti bagaimana pentingnya peran seorang ibu terhadap anak, juga bagaimana hebatnya siraman kasih-sayang yang benar-benar tulus dari ruang jiwa? Ia sanggup melembekkan tandus dan kerasnya hati.

Alhamdulillah, Tuhan telah mengalirkan rasa kasih-Nya tepat diruang hati istriku. Ia jadi lebih perhatihan, lebih sayang terhadap Kay. Pernah kudapati mereka berdua bercanda cekikikan sebelum mimpi mekar di alam kenyenyakan. Kali pertama aku melihat Kay begitu damai, nyaman di rumah kami. Saat itu pula, awal aku disapa Kay dengan panggilan, “Ayah”.

 

Hari-hari yang tercipta bersama Kay begitu indah. Saban malam, istriku selalu menina bobokan Kay dengan dongeng-dongeng. Padahal setahuku ia tak pandai bercerita, seperti aku yang tak runtut merangkai kisah di surat ini, tidak semahir redaktur cerpen.

***

Madama.

Bukan hanya selarik cerita di atas yang perlu kau ketahui, tetapi masih ada rentetan kalimat di lembar surat berkisah ini yang aku kifayahkan untuk kau mengerti.

Kebahagiaan dan keselamatan adalah esensi sebuah cita-cita semua manusia. Hadirnya Kay adalah sebuah cahaya kebahagiaan dikehidupan kami. Kay sangat dekat dengan ibundanya (istriku), begitu sebaliknya. Kemana-mana berdua, hampir tak memerlukan pengawalanku, sekadar sopir pun tak.

Wajah dan tinggi postur tubuh Kay yang mirip istriku, wajar jika banyak orang mengira Kay adik istriku. Ia sama persis seperti tabiatmu yang tidak suka memanjangkan rambut ikalnya, tetap sepundak. Kedua mata yang sayu, hidung lancipnya menanda Kay gadis anggun. Dan hanya satu jejak bapaknya, kulit Kay putih.

Namun, di tahun yang lain, semenjak dokter menyatakan istriku menderita kanker endometrium, pijaran gumintang di langit rumah tanggaku pun perlahan redup. Tiga tahun jadwal kami berubah. Bolak-balik kerumah sakit, rawat inap, check up, kemoterapi, termasuk juga kepengobatan alternatif.

Tim medis dari rumah sakit menyarankan istriku harus mendapat perawatan paliatif, akhirnya istriku kembali dirawat di kamar bau obat, ditangani dokter spesialis onkologi. Dan Kay yang seharusnya meningkatkan belajarnya, sebab jadwal Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) SMA sudah di pelupuk mata, malah menjaga di samping ibundanya.

Saat berlangsungnya hari ujian sekolah. Di kamar bau obat itu, istriku yang terbaring layu di ranjang pasien mengungkap sebuah fakta sejarah.

“Kay, Putri Bunda,” panggil istriku serak.

“Ya, Bunda.”

“Jika Bunda perdengarkan satu kebenaran yang nyata pada penjuru hatimu, sanggupkah engkau menata kekuatan tabah di batinmu, Nak?”

Jujur, aku kaget dengan kalimat yang baru saja mampir di telingaku. Sejak kapan istriku paham kalimat ala prosa lirik itu?

Kay hanya mengangguk pelan, air matanya dibiarkan meleleh melintasi pipi lalu jatuh di daun keriput telapak tangan ibundanya.

“Lho, kok, nangis, Nak.” Kalimat istriku berjeda, bibirnya pucat gemetar, napasnya putus-putus. Ia sepertinya berat untuk melanjutkan. Namun, selang semenit, perlahan dan hampir tak terdengar, akhirnya kalimat itu pun di ujung finish.

“Meski Bunda tak mengandungmu, tetapi engkau lahir dari kerinduan Bunda dan kasih sayang Ayah, Nak.”

 “Tii ... tiidak, tidaaak! Bunda bohong!” Kay menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Kemudian menjatuhkan kepalanya di samping bundanya.

“Benar, Nak?”

Aku meyakinkan Kay seraya mengusap-usap punggungnya. Sepasang mata istriku pun basah dan napasnya tersengal-sengal.

Sekitar dua jam dari obrolan singkat itu, istriku memejamkan mata untuk selamanya, tepat ketika azan magrib berhenti. Tangis Kay pecah dan dadaku sesak. Aku lunglai.

***

 

           Madama. Usai acara pengajian mengirim doa kepada mendiang istriku yang kesekian kalinya, aku mengalihkan duka lara dengan menonton tivi dan seruput kopi buatan Bik Lis. Ia perempuan setengah baya sudah setahun membantu di rumahku.

Televisi itu memberitakan tentang jembatan Kandara-Jeddah. Tempat berkumpulnya perempuan-perempuan Indonesia yang gagal mengadu nasib di Saudi.

Aku saksikan dengan saksama berita itu. Satu per satu perempuan-perempuan apes Indonesia mengungkap kepiluan saat diwawancarai wartawan televisi tersebut.

 

Elis Nemi namanya, asal Jawa Barat, mukanya lebam-lebam. Ia stres berat, berteriak-teriak sendiri, memaki-maki, menyumpah serapahi majikannya. Kata perempuan yang duduk di sebelahnya. Ia habis disiksa dan diperkosa tiga pria, mungkin majikannya beserta teman majikan, kemudian dilempar di area sekitar jembatan Kandara.

Perempuan itu mengaku bernama Rukmini, asal dari daerah Jawa Tengah. Aku tidak tahu kesalahanku, tetapi tiba-tiba majikan wanita murka dan menyiramku dengan air mendidih dari belakang, begitu ungkapnya terbata-bata menjawab pertanyaan dari wartawan. Ia pun memperlihatkan lengan serta sekujur punggungnya yang melepuh.

Ada juga perempuan lain, tetapi sayang, mulutnya terkunci. Setiap ditanya wartawan, dia tak menjawab. Ia mematung dengan sorot mata ke depan, seperti baru saja mengalami peristiwa yang mengguncang jiwanya. Seperti kedua perempuan yang sudah diwawancarai wartawan televisi tersebut, semua wajah dibuat sedikit blur. Namun, setelah kubaca deretan huruf sebuah nama dan asal daerah Kranggan-JawaTimur, serta kamera wartawan menyorot tahi lalat segede biji jagung yang nangkring di atas jari jempol tangan, dadaku terentak. Spontan mulutku berteriak, “Madama!”.

Jantungku berdetak hebat, memoriku menguak masa silam. Masa kita masih gagah memakai jaket almamater. Kau telah menampar dunia di Kedubes Arab Saudi dengan teriakan kalimat sakti saat demo atas nama aktivis buruh migran.

“Tidak menjadi solusi mengubah strata hidup, jika perempuan Indonesia menjadikan dirinya budak di Arab Saudi! Tidak pernah ada catatan sejarah perempuan Indonesian kaya harta karena menjadi Tenaga Kerja Wanita! Tumpukan data mengatakan; diperkosa, disiksa dan dipenggal kepalanya!”

 Kenapa kau sendiri yang meruntuhkan keampuhan kalimat itu? Kenapa Madama! Batinku mengerutuki.

 

Kabarnya, seminggu setelah berita televisi itu. Pemerintah berjanji, segera membawa para TKW penghuni jembatan Kandara pulang ke Indonesia. Berhari-hari aku menunggu kepastian janji dari pemerintah, tetapi malah berita petir di siang panas yang kuterima. Bik Lis dengan suara gagap dan mukanya ditekuk, menyampaikan kalau Kay hamil. Dan lelaki yang wajib bertanggungjawab adalah teman sekolahnya, tetapi lelaki itu meninggal dunia sebab kecelakan parah saat konvoi coret-coret seragam kelulusan sekolah.

Seketika itu sekujur batinku remuk! Ya, remuk seremuk-remuknya, Madama. Saat itu pula aku limbung. Bahkan sudah mencoba mengakhiri hidup, tetapi Kay dan Bik Lis menyelamatkanku dari maut.

Demi menjaga reputasiku dan rasa malu, aku pindah rumah yang sengaja aku pilih satu kampung dengan tempat tinggalmu di Kranggan. Dan sampai surat ini aku kirim ke rubrik terbuka, aku tetap bungkam di setiap pertanyaan Kay menampar telingaku, “Ayah, siapa Ibu kandung Kay?”

 

Kay dan putrinya selalu menanyakan dirimu. Begitu pula rinduku kepadamu.[*]

 

Demak, 2021.

______

 

Ikuti tulisan menarik Gansar Dewantara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB