x

ilustr: pixels

Iklan

Bilqis Sigra Milir

Penulis
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Rabu, 24 November 2021 06:02 WIB

Lepaskan atau Ikhlaskan

Entah melepaskan atau pun mengikhlaskan. Keduanya merupakan keputusan yang sulit untuk kuambil. Sakitnya melepaskan juga sulitnya mengikhlaskan. Apakah tidak ada pilihan lain?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Deru kendaraan roda empat dan roda dua berlomba-lomba melewati gendang telinga gadis perempuan dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah mulai kumal. Teriakan pengemudi angkot dengan tatapan penuh emosi pada pengguna motor yang sudah pucat pasi sambil berusaha membangkitkan kendaraan motornya yang merebah di dekat angkot. Gemetar kakinya terlihat dari arah gadis perempuan putih abu-abu yang terdiam ikut menyaksikan peristiwa tabrak ditabrak setengah adegan, lalu melanjutkan langkahnya lagi ketika panas matahari semakin menembus tulang-tulang putihnya di balik kulit sawo matangnya itu. kedua kakinya ia ayunkan lebih cepat, mengejar waktu dan juga keterlambatan yang mungkin akan ia hadapi jika ia tidak memaksakan fisik lelahnya itu.

Suara klakson yang berbeda menyambutnya yang sudah berdiri dekat lampu merah. Pengendara-pengendara yang sebelumnya berhenti sekaligus menunggu lampu berubah hijau itu, kini saling berusaha untuk bisa mendahului satu sama lain. Entah siapa yang mengejar mereka hingga ketertiban tak mereka ciptakan. Sahutan klakson berhenti terganti dengan pekikan kompak dari seberang jalan. Netra gadis seragam putih abu-abu itu beberapa detik berkedip cepat lurus menangkap objek di seberangnya. Sebelah tangannya menutupi mulutnya yang sudah menganga namun tidak mengeluarkan suara apa pun. Kakinya gemetar dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Pengemudi mobil SUV, hibrid, dan pekerja kasar yang sedang makan di warteg seberang jalan, mengerumuni objek yang sedari tadi gadis putih abu-abu itu lihat. 

Gadis perempuan itu mundur perlahan dan menunduk untuk memperhatikan rok panjang yang sudah ia kenakan selama hampir tiga tahun ini. Ia terus memastikan bahwa rok yang ia kenakan memang benar-benar berwarna abu-abu, bukan warna merah juga warna abu-abu yang saling tumpang tindih dengan motif yang tidak beraturan seperti remaja perempuan di seberang sana. Kepalanya menoleh cepat pada tiang besi di sebelahnya yang sudah menunjukkan warna kuning. Kaki gemetarnya ia paksa melangkah cepat melewati jalanan aspal panas yang begitu terasa di telapak kakinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Badan sedangnya menerobos kerumunan orang yang nyatanya tidak membantu sama sekali. Mereka hanya bisa berjinjit lalu mencondongkan badannya dan berbisik untuk estafet informasi pada orang-orang di belakangnya apa saja yang terluka tanpa membantu untuk menelepon ambulance atau polisi atau siapa pun yang bisa mengantarkan remaja perempuan dengan darah di sekitar paha dan kepalanya. 

“Ran! Ran! Tolong bangun sebentar, Ran! Please!” alih-alih gemetar di kedua kakinya menghilang, sudut matanya sudah melelehkan air mata dengan ratapan penyesalan bergumul dalam mata itu. Lutut yang sudah berpaku pada aspal jalanan tak ia pedulikan sama sekali, panasnya aspal sudah tak ia rasakan. Kedua tangannya terus menepuk-nepuk kedua pipi berisi milik gadis dengan darah yang sudah ada di mana-mana ini. Kedua lututnya bergeser dan memangku kepala gadis seusianya itu dengan hati-hati. 

“Ran! Ayo bangun sebentar! Please, se—telah ambulance dateng lu boleh istirahat lagi. Ran! Please , alhamdulillah, buka mata lu Ran. Tahan ya” Tas hitam yang tadinya ia kenakan sudah terlepas dan dengan cepat ia jadikan bantalan kepala menggantikan kaki-kakinya yang dijadikan pangkuan. “Siapa pun tolong telepon ambulance sekarang!” teriakan frustasi yang terdengar nyaring itu mengagetkan beberapa orang yang masih saja berdiri di dekat kubangan darah yang mengalir lambat dari tubuh gadis berseragam sekolah itu. 

Kedua mata gadis berseragam putih abu-abu ini masih saja meneteskan air mata. Ia menarik cepat tas merah muda yang berjarak cukup jauh dari teman perempuannya ini yang sudah membuka kedua matanya, meskipun kesadarannya sangat tipis. Ia membuka tas merah muda dengan cepat dan membawa keluar kain bermotif bunga-bunga dengan warna yang hampir senada dengan tasnya, mukena. 

Sret... Sret... Sret...

“Lu keren, Ran. Mata lu pasti berat banget kan? Tapi please tahan sebentar lagi ya. Maafin gue kalo gue balutnya terlalu kenceng” pandangannya mengarah ke gadis berseragam yang juga menatapnya sambil tersenyum tipis. Tatapannya masih sayu. Mukena yang sudah tidak berbentuk mukena kini terikat rapih pada kepala dan paha sebelah kirinya. Motifnya kian dihalangi dengan darah yang masih juga mengalir.

Langit terlihat begitu cerah dan terik saat ini, namun ia sama sekali tak bisa merasakan rasa hangat ataupun rasa panas yang seharusnya menyengat permukaan kulitnya. Wajah khawatir dari sahabatnya membuatnya terkekeh dalam hati memikirkan masalah yang mereka hadapi beberapa hari ini. Telinganya tak menangkap suara apa pun termasuk ucapan yang dikomat-kamitkan oleh sahabatnya yang sepertinya berhasil mengikat luka yang ada di tubuhnya. Penonton yang sedari tadi mengganggu pemandangannya semakin menghilang dan beberapa orang berseragam biru mendekat dengan cepat ke arahnya, jangan lupakan tandu jingga yang turut dibawa. Sahabatnya, gadis dengan seragam putih abu-abu itu lantas berdiri dan mengambil alih tandu dengan cepat untuk disisikan di dekatnya. Ia tersenyum, ia berpikir untuk memejamkan matanya setelah menyadari tangannya tergantung di sisi tandu dan segera dinaikkan oleh pria berseragam biru dengan lembut.

“Makasih Nay” ucapnya sambil menatap gadis berseragam yang sudah menggenggam sebelah tangannya. Entah kalimat tadi ia ucapkan dengan cukup keras atau hanya terlintas dalam pikirannya saja. Yang ia tahu dan ia yakini ialah sahabatnya ini benar-benar menyayanginya. Matanya terasa kian mengajaknya untuk terpejam, sepertinya perlu ia turuti.

“Dok, apa dia baik-baik saja?” tanya gadis berseragam putih abu-abu dengan noda darah di beberapa titik pada seragam dan juga lengannya. 

“Mari kita berharap seperti itu. Terima kasih sudah mengikatnya dengan sempurna. Darahnya berhenti keluar dan itu membantu menyelamatkannya” ujar pria berseragam biru itu yang ternyata seorang dokter berkat nametag yang ada di dada kanannya. 

Gadis berseragam itu dengan cepat merogoh saku bajunya untuk mengambil ponsel dan segera menghubungi orang tua Rani, nama sahabatnya yang masih tertidur. Namun, nihil. Ponselnya tidak ada di dalam sakunya, begitu pun dengan keberadaan tas miliknya dan milik sahabatnya itu. Ia hanya berharap ada orang baik yang mengikuti ambulance ini dan mengantarkan barang-barang milik mereka. Jendela di sebelahnya memanggil dirinya untuk terus menatap jalanan luar yang disirami terik matahari. Dari tempatnya duduk, tidak terlihat ramai pengendara yang hendak menantangi kulit mereka untuk dibakar dengan ultraviolet yang dihasilkan matahari. 

Plang rumah sakit besar tampak terlihat dari jendela di sebelahnya. Segelintir orang duduk di bangku panjang dekat tanaman-tanaman cantik yang menghiasi taman rumah sakit. Beberapa orang lagi tampak disibuki dengan lembar hasil diagnosa, sibuk mengekspresikan perasaannya setelah membaca hasil diagnosa yang sepertinya tidak baik setelah melihat seseorang itu menunduk dalam-dalam. Pandangannya jadi teralih menatap sahabatnya yang masih terpejam dengan tenangnya.

“Maafin gue Ran, gue gak bisa tepati janji gue ke lu. Gue gak bisa dateng ke pernikahan kak Dewa, Ran. Gue itu cuma seorang Nayana yang gak bisa nyaksiin dia bahagia dengan yang lain. Gue harap setelah ini kita gak debat tentang itu lagi ya” ujar gadis berseragam itu yang bernama Nayana, (namanya memiliki arti sebagai seseorang yang menjadi dirinya sendiri). Genggamannya terlepas karena dokter Ari sudah menginstruksikan beberapa petugas medis untuk menurunkan brankar dan segera menanganinya dengan penanganan ekstra untuk luka di kepalanya.

“Kamu Nayana, kan?” tanya dokter Ari yang kini berjalan bersebelahan dengan Nayana, anggukan kepala Nayana tertuju menghadap dokter itu. 

“Sini ikut saya,” dokter Ari memegang pergelangan tangan Nayana dan membawanya berjalan melewati lorong lain dengan pintu berwarna putih di ujung lorong ini. Nayana tidak bisa menolak apalagi menyanggah. Baru saja ia hendak bertanya, dokter Ari sudah membawanya masuk ke ruangan itu, Nayana tidak bisa menduga dengan pasti ruangan apa ini. Tetapi, ia dikagetkan dengan banyaknya orang dengan seragam putih dokternya yang sedang bersantai atau bahkan sedang bermain ponsel dengan tenang. 

“Ris, ada baju ganti gak? Nayana kayaknya perlu ganti baju yang gak ada noda darahnya deh” ujar dokter Ari yang dibalas dengan lelucon menggoda yang dilayangkan teman sejawatnya karena membawa seorang gadis SMA ke ruangan se-pribadi ini.

Perempuan dengan jubah khas dokternya bangkit dari duduk dan memberikan pakaian yang terlipat rapi pada Nayana dengan senyuman yang begitu menawan di mata Nayana.

“Nih, dipake dulu aja, kamu gak ada yang terluka kan?” tanya dokter perempuan itu dengan suara yang sangat lembut. Nayana mengangguk kaku karena ia memfokuskan dirinya pada kecantikan dokter perempuan itu dan suaranya yang begitu lembut. 

“Oh iya, kasih tau dokter Dewangga, Rani jadi korban kecelakaan. Sekarang masih ditangani sama anak-anak gue” tukas dokter Ari yang mengagetkan Nayana, ia menatap dokter Ari dengan penuh selidik dan tidak memperhatikan raut wajah dokter lainnya dan juga respons yang diberikan oleh dokter Ris—entahlah nama aslinya.

Pikirannya meracau tak jelas, dirinya saja tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan oleh pikirannya sendiri. Banyak kenyataan yang baru ia temui sekarang. banyak pertanyaan yang mengudara di kepalanya. Ia menghadap kaca wastafel dan memperhatikan detail wajahnya yang terlihat bekas jerawat beberapa hari lalu, alis yang biasa saja, hidung yang tidak terlalu mancung tetapi tidak terlalu melesak, dan bibirnya yang tipis. Wajahnya sangat biasa saja, terlebih lagi kulit sawo matangnya yang layaknya kulit masyarakat Indonesia kebanyakan. Kedua tangannya menangkup air keran wastafel yang sengaja dinyalakan. Lantas ia gunakan untuk membasuh wajahnya dengan pelan dan hati-hati. 

Tok! Tok! Tok!

Nayana menatap pintu toilet yang sedang ia gunakan saat ini. Sepertinya ia sudah terlalu lama berpikir di dalam sini.

“Kamu baik-baik aja, Na?” teriak seseorang dengan suara lembutnya itu.

“Aku okay, kak dokter” jawab Nayana dan membasuh kembali wajahnya lalu membuka pintu toilet dengan cepat dan memasang senyuman segar yang bisa ia usahakan. Dokter perempuan itu menggandeng Nayana dengan lembut dan membawanya keluar.

“Rani udah sadar Na. Bunda Wanda dan Ayah Lingga baru saja sampai. Kamu mau ikut ketemu Rani atau mau makan siang dulu? Nanti kakak temani” kata dokter perempuan itu dengan lembut dan berjalan bersisian menuju ruang rawat Rani karena Nayana yang menolak untuk makan siang lantas lebih memilih bertemu dengan Rani dan juga keluarganya, termasuk bertemu dengan laki-laki yang ia sayangi. 

Ruang rawat dengan aroma yang khas menyambut Nayana dan Dokter Ris disertai suara lega dari seorang ibu paruh baya yang sudah berada di hadapannya. Dengan jilbab hitam yang menjulur hingga dada serta senyum lebar yang sudah terbiasa Nayana lihat.

“Kata Ari, kamu yang selamatin Rani? Terima kasih ya sayang selalu temani anak bunda” Ibu paruh baya itu memeluk Nayana dari samping dan menuntunnya untuk mendekat pada Rani yang kini sudah menatapnya sayu dan senyum yang masih terpatri. Nayana berdiri di sebelah Rani dan menggenggam jemari Rani perlahan.

“Gimana Ran? Ada luka jahitan?” tanya Nayana pelan menatap sahabat kecilnya yang merebah dengan lemas. Rani hanya menggeleng disertai senyum kecilnya.

“Rani baik-baik aja, Nay. Berkat kamu yang sigap banget kasih pertolongan pertama untuk dia. Bahkan dia hanya butuh 1 kantong darah” balas suara seseorang yang sangat ia rindukan itu. Suara itu berasal dari arah belakangnya, akan tetapi Nayana enggan berbalik ataupun berniat berbicara dengannya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum miris pada Rani. 

Nayana memperhatikan ruangan tempat Rani dirawat saat ini, begitu privasi dan segala fasilitas yang dibutuhkan tersedia. Sofa panjang, smart TV, kasur tambahan, dan dinding yang dicat berwarna putih dengan center line berwarna biru muda. Nayana akhirnya memilih duduk di sebelah Rani setelah Tante Wanda, ibu dari Rani memberikan satu kursi untuknya. Nayana memilih diam dan menatap Rani dengan pandangan tidak nyaman. Rani tahu apa penyebab sahabatnya menatapnya seperti itu. Tapi, dirinya sedang tidak bertenaga untuk membuat keluarganya berhenti membicarakan persiapan pernikahan kakak laki-lakinya itu, ditambah lagi ada calon kakak iparnya yang sepertinya membuat Nayana semakin inferior.

“Tante, Om, kak Dewa, kak Ris, Dokter Ari. Nayana pamit pulang dulu ya. Bunda juga pasti khawatir dengan Nayana yang belum kasih kabar ke mereka. Gue pulang ya, Ran. Cepet pulih ya, Rani Bawel” ucap Nayana cepat dan sangat terburu-buru. Bahkan matanya sudah tidak bisa menahan air mata yang sudah mengembang di kelopak mata bawahnya. Ia segera keluar ruang rawat dengan senyuman miris. 

Bagian paling menyesakkan ialah dokter Ris itu calon istri Dewa yang begitu menyakitinya. Ia mengusap kedua pipinya kasar karena air mata yang sudah mengalir dengan tidak berbelas kasih itu. 

“Nayana! Tunggu, ini tas kamu” teriak seorang dokter yang sejak beberapa jam lalu turut membantunya. Nayana berdeham sesekali dan berbalik menatap dokter Ari dengan senyuman lebar.

“Makasih ya Dokter Ari. Nayana pulang dulu” balas Nayana dengan suara tercekat meskipun senyumnya masih bertengger manis di wajahnya yang ayu.

“Terkadang kita perlu mengikhlaskan seseorang yang bukan untuk kita, Nayana. Sekeras apa pun kamu menampik kebenaran itu. Hati kamu akan terus terikat dan terus sakit. Ayo kita lepaskan dan biarin hati kita tidak merasakan sakit” sergah dokter Ari memegang lengan kanan Nayana. Netra coklat gelapnya menatap Nayana dengan tajam dan penuh kepastian. Bulir air mata kembali turun ke pipi Nayana seiring dengan anggukan cepat Nayana. Ya, lebih baik ia ikhlas atas semuanya. 

Ikuti tulisan menarik Bilqis Sigra Milir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler